Loading...
ANALISIS
Penulis: Trisno S Sutanto 13:54 WIB | Jumat, 22 Agustus 2014

PR Prabowo Pasca Keputusan MK

Prabowo Subianto menjenguk salah satu korban pasca keputusan MK (Foto: Istimewa/Facebook Prabowo Subianto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Akhirnya Kamis (21/08) kemarin, persidangan Majelis Kontistusi (MK) soal sengketa hasil pemilihan Presiden (Pilpres) pun berakhir. Hasil keputusannya, seperti sudah diduga dari semula, memperkuat kemenangan pasangan Presiden terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla.

Ada yang bilang, keputusan MK itu merupakan “kemenangan ketiga” Jokowi-JK. Pertama, mereka menang saat quick count 9 Juli; lalu, kedua, saat real count hasil rekapitulasi suara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanggal 22 Juli; dan, kini, political count oleh MK. Dengan itu, agenda transisi kepemimpinan nasional pun selesai. Kita sudah memiliki Presiden dan Wakil Presiden baru untuk periode 2014 – 2019. Tinggal menanti pelantikannya Oktober nanti.

Sementara itu kubu Prabowo-Hatta menanggapi kemenangan Jokowi-JK dengan dingin, bahkan menuduh bahwa keputusan MK tersebut “tidak mencerminkan keadilan yang substantif”. Ini ditegaskan Tantowi Yahya, juru bicara Koalisi Merah Putih yang mendukung Prabowo-Hatta saat membacakan pernyataan resmi koalisi pada konferensi pers pasca keputusan MK. “Sistem dan proses persidangan MK ternyata tidak mengindahkan pembuktian secara mendalam dan tidak mengungkap keterangan saksi yang jumlahnya jauh lebih banyak dari yang disetujui,” kata Tantowi. “Atas dasar itu, meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, belum tentu mencerminkan keadilan substantif bagi rakyat Indonesia.”

Sikap itu sebenarnya sudah bisa diduga, walau dirasa kurang pantas. Seperti pernah dianalisa sebelumnya, bagi mereka pertarungan di MK kemarin bukanlah titik akhir yang menyelesaikan sengketa pasca-Pilpres 2014. Bahkan jauh sebelum persidangan di MK dimulai pun, Koalisi Merah Putih pendukung Prabowo-Hatta sudah mencanangkan akan menempuh “jalan politik”.

Bukankah Prabowo sendiri kepada Zubaidah Nazeer, koresponden Indonesia dari The Strait Times yang mewawancarainya awal Juli lalu, mengaku tegas bahwa “losing is not an option”? Tampaknya sulit sekali bagi mantan menantu Soeharto yang karier militernya pernah melesat cepat, sebelum dipecat dan harus sempat mengasingkan diri ke Yordania, untuk mengaku kalah. Kata “kalah” agaknya tidak pernah dikenal Prabowo.

Itu sebabnya, saat MK mengambil keputusan untuk menolak seluruh gugatan tim hukum Prabowo-Hatta, tidak ada ucapan selamat yang diberikan kepada Jokowi-JK. Juga tidak ada “pidato pengakuan” (concession speech) yang biasa diberikan pihak capres yang kalah kepada lawannya. Dalam tradisi demokrasi yang beradab, pidato seperti itu merupakan praktik wajar dan berguna untuk mengobati keterpecahan masyarakat. Suatu langkah rekonsiliasi yang sangat dibutuhkan, setelah perbedaan pilihan politik menguras emosi dan memanaskan situasi.

Namun, agaknya, kubu Prabowo-Hatta tidak menginginkan proses rekonsiliasi itu. Bahkan Hashim Djojohadikusumo, pengusaha besar adik Prabowo yang sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, menegaskan kepada Tempo.co sebelum keputusan MK bahwa langkah itu tidak akan diambil. “Tidak ada rekonsiliasi. Enggak bakal,” katanya setelah konferensi pers Rabu (13/08) lalu. Saat ditanya alasannya, Hashim hanya melambaikan tangan ke atas dan langsung pergi diiringi para pengawalnya.

Prabowo sendiri, saat konferensi pers koalisi Merah-Putih kemarin, memilih tidak hadir. Ia justru membesuk massa pendukungnya yang dirawat di rumah sakit pasca bentrokan dengan aparat kepolisian. Ia seperti ingin memperlihatkan bahwa dirinya telah menjadi korban perlakuan tidak adil, sekaligus merawat dendam dan keterpecahan masyarakat pasca-Pilpres.

Misalnya, dalam laman Facebook-nya, Prabowo menampilkan foto saat ia membesuk seorang korban. “Baru saja saya ke RSPAD Gatot Subroto untuk menjenguk sahabat-sahabat yang siang tadi terluka saat mencari keadilan ke Mahkamah Konstitusi,” tulis Prabowo di situ. “Saya merasakan langsung begitu besar harapan yang mereka sampaikan kepada saya, saudara Hatta Rajasa dan Koalisi Merah Putih.”

Memang Prabowo juga menghimbau para pendukungnya agar menghormati keputusan MK itu. Tetapi ia berjanji tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan oleh para pendukungnya. “Di parlemen dan di setiap kesempatan yang ada saya bersama saudara Hatta Rajasa dan seluruh mitra Koalisi Merah Putih berkomitmen untuk terus berjuang untuk mewujudkan Indonesia yang ktia cita-citakan,” lanjutnya.

Dengan pernyataan itu, Prabowo dan Koalisi Merah Putih mengambil posisi sebagai oposisi terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Tentu saja ini pilihan sikap politik yang wajar dan patut dihormati. Sudah seharusnya dalam sistem demokrasi, setiap rezim perlu memiliki oposisi untuk mengawal jalannya roda pemerintahan. Namun di sini ada dua soal penting yang perlu diperhatikan: sejauh mana oposisi akan “produktif” dan “efektif” demi masa depan bangsa.

Pertama, oposisi yang produktif justru akan terbentuk jika tidak dilatari oleh syak wasangka, kecurigaan, apalagi dendam yang berlebihan. Suatu loyal opposition. Artinya, walau mengambil sikap sebagai oposisi, tetapi tetap mengakui pihak lawan sebagai pemegang kekuasaan yang sah. Di sinilah pentingnya rekonsiliasi pasca-Pilpres, agar masing-masing kubu – terutama pihak yang kalah – mampu mengatasi kecurigaan dan dendam. Betapapun perbedaan pilihan politik sudah membelah masyarakat, en toh siapapun yang terpilih akan menjadi Presiden bagi semua kelompok.

Kedua, oposisi yang efektif akan sangat tergantung pada bagaimana menjaga soliditas koalisi partai politik nanti di parlemen. Ini akan jadi PR terberat Prabowo: bagaimana menjaga Koalisi Merah Putih yang diduga tidak akan bertahan lama. Sebab tali yang mengikat koalisi itu lebih merupakan kepentingan taktis, dan bukan ideologis. Belum lagi banyak elite di dalamnya yang siap jadi “kutu loncat” untuk menyelamatkan kepentingan mereka.

Mungkinkah Prabowo menjaga koalisi pendukungnya? Sulit dijawab sekarang, karena peta konfigurasinya masih sangat cair, dan bisa berubah kapan saja. Toh politik memang merupakan seni menggalang kepentingan yang terus berubah...

Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home