Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 10:58 WIB | Senin, 16 Januari 2017

Puluhan Ribu Nyawa Diselamatkan Bila PLTU Baru di Asia Dibatalkan

Ilustrasi: pencemaran dari PLTU batubara membahayakan kesehatan dan mengakibatkan kematian. (Foto: Dok.satuharapan.com/greenpeace.org)

HONGKONG, SATUHARAPAN.COM - Sekitar 50.000 nyawa bisa diselamatkan setiap tahun hingga 2030, jika tidak ada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara baru dibangun di Asia Tenggara, Korea Selatan, Jepang dan Taiwan, menurut hasil penelitian terbaru dari para peneliti di Universitas Harvard dan Greenpeace Internasional.

Emisi polutan udara dari PLTU batu bara di wilayah tersebut saat ini menyebabkan sekitar 20.000 lebih kematian dini per tahun, meningkat menjadi 70.000 pada tahun 2030 jika PLTU batu bara yang saat ini direncanakan, atau dalam pembangunan tetap berlanjut. Mayoritas kematian ini (55.000 pada tahun 2030) akan terjadi di Asia Tenggara.

"Sementara polusi udara di Tiongkok dan India telah menarik banyak perhatian, termasuk dari kalangan akademik, dampak dari ekspansi penggunaan batubara pada PLTU-PLTU yang direncanakan akan dibangun di Asia Tenggara dan kawasan Asia Timur masih belum banyak diteliti," kata Shannon Koplitz, peneliti utama dalam proyek dari Harvard University , seperti dilansir situs greenpeace.org .

"Ketergantungan pada batu bara di negara-negara berkembang seperti Asia Tenggara, akan memiliki dampak yang cukup besar dan tahan lama terhadap kualitas udara dan kesehatan masyarakat. Kami memperkirakan bahwa puluhan ribu kematian dini, dapat dihindari melalui pilihan energi yang lebih bersih. Biaya kesehatan manusia ini harus dipertimbangkan secara serius ketika membuat pilihan tentang masa depan energi di Asia Tenggara."

Penulis dari kelompok pemodelan Sains Atmosfer Universitas Harvard , Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Harvard dan Greenpeace, memetakan emisi saat ini dari semua PLTU batu bara di wilayah tersebut, dan menggunakan model atmosfer canggih untuk menilai seberapa banyak tingkat polusi udara saat ini karena emisi batubara di lokasi yang berbeda di seluruh Asia.

Laporan ini, merupakan lanjutan dari laporan studi sebelumnya  oleh Universitas Harvard dan Greenpeace Asia Tenggara yang berjudul "Kita, Batu bara, dan Polusi Udara", yang memperkirakan 28.300 kematian dini setiap tahunnya dan menekankan perlunya peralihan segera menuju energi terbarukan di Indonesia. Sebuah laporan serupa menunjukkan bahwa PLTU batu bara di Vietnam menyebabkan sekitar 4.300 kematian dini per tahun sedangkan penelitian yang difokuskan di Thailand menunjukkan PLTU batu bara menyebabkan sekitar 1.550 kematian dini per tahun.

Jika proyek PLTU batu bara yang diusulkan tetap berlanjut, maka emisi dari batu bara di Asia Tenggara, Korea Selatan dan Jepang akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2030 dan bisa melebihi emisi batu bara total di AS dan Eropa, dengan konsentrasi peningkatan terbesar di Indonesia dan Vietnam.

PLTU batu bara bisa bertanggung jawab untuk 70.000 kematian dini di wilayah ini setiap tahun, menyaingi 100.000 kematian dini akibat kabut asap di Indonesia pada tahun 2015. Indonesia akan menderita jumlah tertinggi kematian dini, diikuti oleh Vietnam, disusul Myanmar yang akan mengalami kematian dini tertinggi keempat di tahun 2030.

"Ekspansi batubara yang direncanakan di Asia Tenggara memerlukan perhatian khusus karena standar emisi yang sangat lemah di negara-negara ini untuk pembangkit listrik. Semua negara di wilayah ini memungkinkan polusi berkali-kali lipat dari PLTU batu bara baru di Tiongkok dan India," kata Arif Fiyanto, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi, Greenpeace Asia Tenggara.

"Negara-negara di Asia Tenggara memiliki kesempatan sekarang untuk meninggalkan teknologi usang seperti batu bara dan pindah ke energi terbarukan. Vietnam sudah mengambil langkah pertama dengan membatalkan 17 PLTU batu bara yang besar, mengurangi dampak kesehatan hingga lebih dari seperempat dari dampak semula akibat rencana ekspansi batu bara negara tersebut. Pemerintah di setiap negara memiliki kesempatan untuk segera menggeser kebijakan energi mereka dan menyelamatkan puluhan ribu nyawa warga mereka."

Asia Tenggara merupakan salah satu daerah yang paling cepat berkembang di dunia, kebutuhan listrik di 2035 diproyeksikan meningkat 83 persen dari tahun 2011, lebih dari dua kali rata-rata global. Banyak negara di wilayah ini masih mengejar PLTU batu bara baru sehingga tertinggal dari Tiongkok dan India, yang justru meningkatkan energi terbarukan.

Di antara negara-negara maju, hanya Jepang dan Korea Selatan yang  terus menonjol sebagai satu-satunya negara untuk mengejar pembangunan PLTU batu bara baru, yang sangat bertolak belakang dengan komitmen iklim dan kekhawatiran mereka tentang kesehatan masyarakat.

Tiongkok, emitor karbon terbesar di dunia, terlihat melakukan penurunan secara keseluruhan konsumsi batubara dan emisi polutan sejak 2013 dan tren ini akan terus berlanjut, meskipun terjadi lonjakan tingkat polusi udara yang terjadi baru-baru ini. Beberapa pengurangan polusi udara Tiongkok bisa akan diimbangi dengan kenaikan di Asia Tenggara, sepertinya daratan Tiongkok akan terpapar polusi dan menyebabkan sekitar 9.000 kematian dini pada tahun 2030, karena polusi yang disebabkan oleh kenaikan emisi batu bara dari negara-negara tetangga.

 

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home