Loading...
ANALISIS
Penulis: Sabar Subekti 13:23 WIB | Rabu, 16 Oktober 2019

Radikalisasi Abu Rara dan Mickael Harpon

Menko Polhukam Wiranto (kedua kiri) ketika diserang oleh Abu Rara dan Fitri dalam kunjungannya di Pandeglang, Banten, Kamis (10/10/2019). ANTARA FOTO/Dok Polres Pandeglang/foc. (ANTARA FOTO/Handout)

TSATUHARAPAN.COM – Serangan dengan pisau dan gunting oleh dua orang suami-istri terhadap Menko Polhukam Wiranto beberapa waktu di Pandeglang, Banten, mungkin tidak ada hubungan yang langsung di antara pelaku dengan kasus serangan terhadap polisi di Paris, Prancis, sepekan sebelumnya. Namun keduanya memiliki kemiripan dan terkait munculnya cara baru serangan dengan senjata pisau.

Penyerangan terhadap Wiranto dilakukan oleh orang yang tampaknya dimotivasi oleh kebencian yang tertanam pada benaknya, terkait dengan kasus hukum yang menimpa gurunya, Abu Zee, pimpinan Jemaah Ansharut Daulah (JAD), Bekasi.

Pelaku,  Syahrial Alamsyah alias Abu Rara, dan istrinya, Fitri Andriana binti Sunarto, dan korban sebenarnya tidak mengenal secara pribadi, namun ada kebencian yang kuat yang mendorongnya melakukan tindakan kejahatan itu di alun-alun Kecamatan Menes, Pandeglang.

Berbeda dengan serangan suami istri asal Medan dan Brebes itu, Mickael Harpon (45 tahun), mengamuk dengan pisau di kantor polisi di Paris, Prancis tempatnya bekerja. Dia menewaskan tiga polisi dan satu perempuan petugas administrasi. Dia akhirnya tewas ditembak setelah aksinya itu.

Harpon juga menggunakan pisau untuk menyerang. Namun korbannya adalah teman sekerja dia yang dia kenal. Harpon sendiri bekerja sebagai spesialis teknologi informasi di kantor polisi itu, dan sebenarnya telah menunjukkan adanya penyimpangan-penyimpangan perilaku sebagai bagian dari kepolisian di negara itu.

Hal yang menunjukkan kesamaan adalah bahwa Harpon dan Abu Rara telah mengalami perubahan dengan tumbuhnya kebencian, yang satu kepada seorang menteri (yang sebenarnya juga berencana menyerang orang pemerintahan lainnya) terkait penahanan gurunya, dan yang satu lagi kebencian kelompok radikal Islam kepada kepolisian Prancis yang mereka anggap musuh.

Radikalisasi Harpon

Investigasi terhadap Harpon menunjukkan ada fakta-fakta tentang pria itu yang mengarah pada penyimpangan besar dalam aparat keamanan Prancis, bahkan lebih mengkhawatirkan. Pekerjaannya itu memberi Harpon izin keamanan tinggi dan akses ke komputer di departemen kepolisian yang bertugas memantau tersangka radikal Islam di Prancis, dan belakangan diketahui dia memiliki data sensitif.

Ketika polisi menggeledah rumahnya, penyelidik menemukan detail pribadi petugas polisi yang telah menyusup ke sejumlah masjid di Paris yang sering dikunjungi oleh orang-orang yang diduga radikal. Informasi itu berdampingan dengan video propaganda kelompok teroris Negara Islam (IS, sebelumnya ISIS).

Ini mengejutkan sekaligus menjengkelkan polisi Prancis. Bagaimana orang ini bisa melewati jaring pengaman?  Belum jelas, memang, apakah Harpon menyimpan informasi itu untuk dirinya sendiri atau menggunakannya untuk memperingatkan sesama Islamis. Namun temuan itu menegaskan Harpon sebagai bagian dari kelompok radikal Islam.

Kepolisian Prancis memang kewalahan harus menghadapi tuduhan kelalaian yang serius ini, terutama  Menteri Dalam Negeri Prancis, Christophe Castaner. Editorial surat kabar Le Figaro, bahkan menyebutnya "racun Islam radikal" menembus "jantung aparat negara."

Abu Rara dan Fitri

Yang dilakukan Abu Rara dan Fitri memang tidak menunjukkan dia mampu menembus langsung ke jaringan aparat keamanan negara. Dia bisa dikatakan berada di luar, dan keberaniannya melakukan serangan di depan banyak mata orang pada suatu acara, menunjukkan kebencian yang besar yang tertanam pada mereka.

Abu Rara dan Fitri memang tidak sampai pada tindakan yang menyusup sampai ke jaringan aparat keamanan. Namun kehadirannya yang “sepertinya tak mencolok” dan langsung menyerang pejabat, merupakan cara-cara yang harus dicermati.

Kepolisian di Indonesia juga tidak bisa menganggap remeh kasus ini. Bukan hanya target serangan mereka adalah pejabat pada level atas, tetapi juga kemungkinan upaya kelompok radikal menembus pada lembaga-lembaga negara dan pemerintahan. Jika kepolisian kita lengah, kasus Harpon sangat mungkin terjadi.

Berita di sejumlah media, termasuk CNN Indonesia, telah menyebutkan bahwa penahanan terhadap Abu Zee, pimpinan JAD, terkait kasus-kasus rencana serangan ke gedung Bawaslu, Mei lalu. Bahkan tujuh anggota JAD (SL, AN, MI, IF, EY, YM dan T) telah ditangkap. T, disebutkan  ditembak, karena melemparkan bom ke arah polisi.

Di antara mereka, EY disebutkan sebagai  tokoh penting JAD Bekasi, dan diduga yang mengajarkan meracik bom dengan daya ledak tinggi, dan menggunakan teknologi wifi untuk meledakkannya.

Ini menjunjukkan bahwa Abu Rara dan Fitri terkait dengan mereka yang oleh pemerintah disebut sebagai kelompok radikal. Serangannya, bisa jadi hanya sebuah fenomena pucuk gunung es.

Penanaman Kebencian

Kantor berita AFP menyebutkan Harpon masuk Islam sekitar sepuluh tahun yang lalu, dan dengan keyakinan agamanya itu dia menjadi lebih ekstrem. Telah terungkap bahwa dia melakukan kontak dengan orang-orang yang mencurigakan, termasuk seorang pengkhotbah yang diduga penganut Salafi. Salafisme adalah cabang Islam fundamentalis yang sangat terkait dengan ekstremisme.

Pejabat awalnya mengatakan perilaku Harpon di tempat kerja tidak menimbulkan kecurigaan. Menurut laporan media, misalnya, dia tidak akan mencium pipi kolega wanita, seperti kebiasaan di Prancis tetapi dilarang di bawah aturan pemisahan jender yang ketat dari hukum Islam Salafi.

Pada 2015, dia membela para penembakan media Charlie Hebdo dalam sebuah argumen dengan seorang kolega, mengklaim para korban yang menyerang. Sebuah penyelidikan diluncurkan pada saat itu, tetapi tidak ada rekan kerjanya yang secara resmi melaporkan Harpon.

Kementerian dalam negeri Prancis menyesalkan bahwa tanda-tanda radikal pada Harpon sebenarnya telah terlihat, baik cara berpakaian, kontaknya dengan pnceramah radikal, dan juga sikapnya pada perempuan

Sementara Abu Rara dan Fitri, makin jelas terlihat relasinya dengan kelompok JAD, dan orang-orang yang oleh pemerintah sendiri teridentifikasi sebagai kelompok radikal.

Akar masalahnya memang bukan hanya pada penyerangan itu, korban dan masalah keamanan yang ditimbulkannya, namun lebih dalam lagi pada penanaman kebencian dan radikalisasi.

Pertanyaan tentang apakah Harpon, Abu Rara, dan Fitri menjadi radikal dengan sendirinya? Bagaimana dan siapa yang mempengaruhi mereka menjadi radikal? Pertanyaan itu jauh lebih relevan untuk dicarikan upaya mengatasinya. Ada pihak yang membuat mereka menjadi radikal, dan menumbuhkan kebencian terhadap pihak lain, dan kenekatan mereka untuk menyerang.

Calon Wakil Presiden terpilih, KH Ma’ruf Amin, mengatakan bahwa yang harus dilawan adalah paham radikal. Ini mengisyaratkan bahwa yang diperlukan bukan hanya mengamankan pejabat dan warga dari serangan mematikan oleh orang-orang yang dibakar kebencian. Sebab, sumbernya adalah mereka yang menanamkan kebencian dan radikalisme.

Tentang ini, Mesir, khususnya kementerian pendidikan negara itu, telah mengambil langkah lebih lauh dan tegas: memecat lebih dari seribu guru yang terkait dengan organisasi Ikhwanul Muslimin yang dilarang di negara itu dan dianggap sebagai kelompok radikal. Ini adalah upaya untuk melindungi anak-anak sekolah dari radikalisasi. Bagaimana Indonesia?

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home