Loading...
INDONESIA
Penulis: Kartika Virgianti 19:43 WIB | Senin, 22 September 2014

Ray Rangkuti: Biaya Pilkada Langsung Tidak Mahal

(Dari kiri ke kanan) Wakil Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Girindra Sandino, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, Rohaniawan dan Pegiat Sosial, Romo Benny Susetyo. (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti berpendapat desain pemilu kembali ke DPRD dengan argumen biaya mahal, konflik sosial, dan alasan lainnya sebanyak 11 argumentasi itu tidaklah tepat. Hal tersebut dikatakan Ray telah ia pelajari, bahkan ia sudah membantah ke-11 argumen itu.

“Saya pernah mencoba hitung biaya pileg tahun 2004, berapa sebetulnya biaya yang dikeluarkan setiap warga negara untuk pemilu setiap lima tahun sekali, kira-kira saat itu kita menghabiskan Rp 13 triliun dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta. Setelah saya hitung, beban biaya yang dikeluarkan setiap individu di Indonesia terhadap pelaksanaan pemilu itu tidak lebih dari Rp 30.000 per kepala,” jelas Ray saat konferensi pers di Menteng Huis, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (19/9). 

Ray berpendapat kalau dilihat angka tersebut, biaya pemilu di Indonesia sebetulnya tidak mahal, hanya saja ketika  disodorkan angka Rp 13 triliun itu sepertinya besar sekali. Apalagi biaya pilkada di 400 kabupaten/kota, ditambah dengan 30 lebih kepala daerah, totalnya bisa lebih dari Rp 70 triliun.

“Kita membayangkan jumlah itu besar sekali, tetapi ketika jumlah itu dirasionalisasi dengan jumlah penduduk kita, per individu itu mungkin hanya menyumbang maksimal Rp 50.000, dan itu pun hanya lima tahun sekali,” ungkap direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ikut aktif terlibat dalam memantau pemilu, mengkritisi parlemen, serta memerangi korupsi tersebut.  

Oleh karena itu, asumsi biaya pilkada mahal pada tingkat tertentu tidak tepat. Terlebih jika dibandingkan dengan potensi kebocoran anggaran negara yang tidak dikelola dengan baik, misalnya kebocoran anggaran negara dari sektor laut mencapai Rp 100 triliun per tahun berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Itu baru satu sektor, hanya laut, kalau jika melihat ke sektor migas (minyak dan gas bumi), kebocorannya mencapai Rp 50 triliun per tahun, bayangkan dua sektor negara saja sudah bocor Rp 150 triliun setiap tahun.

“Pemerintah, DPR maupun partai politik tidak ada yang ribut soal kebocoran uang negara, dan tidak ada upaya yang serius untuk melacak kemana bocornya uang sebesar itu. Tetapi mereka meributkan sistem berbangsa dan bernegara hanya karena menghabiskan biaya Rp 70 triliun selama lima tahun sekali,” Ray menyesalkan.

Kalau saja pemerintah, DPR, partai politik serius mengejar kebocoran-kebocoran itu, Ray berpendapat bahwa uang 70 triliun makin tidak relevan untuk diperdebatkan, yang notabene merupakan sektor di mana rakyat terlibat langsung di dalamnya.

Maka, argumen pilkada langsung mahal terlalu mengada-ada, pada saat yang bersamaan mereka membiarkan para mafia menggerogoti uang negara dan tidak diadili.

Di sisi lain, ada partai politik yang berargumen bahwa pilkada langsung menimbulkan konflik sosial. Menurut Ray, lebih baik gagasan tersebut dilaksanakan terlebih dahulu oleh Koalisi Merah Putih (KMP) untuk intropeksi diri.

“Sejak diputuskannya Jokowi-JK menang pemilu, mereka (KMP, Red) sama sekali tidak terlihat mengucapkan selamat, itu artinya apa, publik bisa menilai sendiri. Padahal, rakyat yang dulunya pro Jokowi atau pro Prabowo, sekarang sudah baik-baik saja, tetapi para elit politiknya tetap memelihara dendam politik,” ungkapnya menyesalkan.

Bahkan yang lebih parah lagi, lanjut Ray, dendampolitik itu masuk ke dalam mengubah sistem, hanya demi sekedar ‘membonsai’ kekuasaan lawan politik, tetapi efeknya adalah ‘membonsai’ kedaulatan rakyat.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home