Loading...
OPINI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 18:56 WIB | Minggu, 21 Agustus 2022

Refleksi Kemerdekaan: Rumah Indonesia Kita

SATUHARAPAN.COM-Mari kita bicara soal rumah! Saya yakin Saudara sepakat, jika saya katakan bahwa rumah bukan sekadar tempat berteduh. Rumah menjadi signifikan—penting dan bermakna—karena menjadi titik orang bertolak pada pagi hari dan tujuan orang pulang pada malam hari. Kalau memakai istilah Jawa, rumah itu tak ubahnya sangkan paran ’asal dan tujuan’ manusia.

Karena itu, mudah dipahami mengapa orang berupaya menata rumahnya sesuai seleranya. Ini jugalah yang dilakukan Salomo (1Raj. 7:1-12). Ia menata rumahnya sedemikian hebat, terkesan lebih hebat dari Bait Allah. Jika Bait Allah didirikan paling lama empat tahun, untuk rumahnya sendiri Salomo menghabiskan waktu tiga belas tahun. Terlepas dari motivasi Salomo, jelaslah ia punya selera dan menjadikan rumahnya seturut dengan keinginannya.

Sekali lagi, mudah dipahami mengapa orang membuat rumahnya ”menjadi gua banget”. Bahkan, dari rumah seseorang kita bisa tahu jatidirinya. Nah, semuanya itu bertujuan agar rumah menjadi tempat yang membuat betah para penghuninya. Ya, buat apa rumah kalau membuat para penghuninya gerah.

Itu jugalah yang digambarkan lagu ”Rumah Kita” karya Ian Antono: ”Hanya bilik bambu tempat tinggal kita. Tanpa hiasan, tanpa lukisan. Beratap jerami, beralaskan tanah. Namun, semua ini punya kita. Memang semua ini milik kita sendiri.” Meski sederhana, rumah sungguh sesuatu bagi penghuninya.

Rumah Yesus

Mudah diduga jika setiap orang punya gambaran ideal berkait rumahnya. Pada titik ini, rasa kangen rumah mudah dimaklumi. Sebagus-bagusnya hotel, enggak ada orang yang kangen hotel.

Rasa kangen itulah mungkin yang dirasakan Yesus Sang Guru dari Nazaret. Dia hendak pulang ke rumah-Nya. Akan tetapi, rumah-Nya telah berubah jauh dari gambaran ideal. Bait Allah telah menjadi pasar.

Kenyataan itu membuat Yesus gerah. Bait Allah tidak lagi menjadi tempat di mana orang dapat bertemu Allah dalam kekudusan. Orang memang bertemu, tetapi tidak untuk beribadah, melainkan untuk berjual beli. Dan lazimnya jual beli, mungkin saja terjadi penipuan di sana. Bisa dimaklumi jika Yesus mengusir semua pedagang di situ sembari berkata, ”Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun” (Mat. 21:13).

Ya, Yesus mengusir semua pedagang dari Bait Allah. Dia tidak ingin rumah yang semestinya menjadi tempat doa itu malah menjadi tempat berjualan. Yesus punya gambaran ideal berkait rumah-Nya.

Yang menarik dalam catatan Matius setelah rumah itu dibersihkan, dari sarang penyamun, Bait Allah berubah menjadi rumah penyembuhan. Matius mencatat: ”Orang-orang buta dan lumpuh datang kepada Yesus di Rumah Tuhan, dan Ia menyembuhkan mereka” (Mat. 21:14).

Pembersihan sarang penyamun memungkinkan Bait Allah menjadi tempat penyembuhan. Dan tanda rumah penyembuhan adalah pujian kepada Allah. Dan memang benar, ketika Allah dimuliakan, manusia dihargai.

Rumah Indonesia

Indonesia juga rumah kita. Apakah gambaran Ideal kita tentang Indonesia? Apakah yang kita lihat sebulan belakangan ini? Mungkin tidak berlebihan kalau kita katakan Indonesia tak lagi menjadi rumah doa, kadang mirip sarang penyamun.

Sekadar contoh—dan tak perlu terjebak dalam gossip—peristiwa terbunuhnya Brigadir Yosua Hutabarat memperlihatkan betapa nyawa begitu murah harganya. Namun, yang layak membuat kita prihatin adalah berita di balik berita itu jadi ke mana-mana. Dan yang membuat kita geleng-geleng kepala adalah ketika ada segelintir orang yang mengait-ngaitkan dengan agama. Jelaslah banyak orang memancing di air keruh. Ini sekadar contoh.

Di tengah peringatan 77 tahun Rumah Indonesia kita ini, kita memahami betapa gesekan horisontal begitu mudah terjadi. Orang jadi seakan lupa bahwa kita semua sejatinya sebangsa dan se-Tanah Air. Indonesia adalah bagi semua orang yang memanggil dirinya menjadi Indonesia. Di Rumah Indonesia kita, kita semua adalah pendatang. Satu-satunya yang boleh bilang pribumi adalah Homo Soloensis. Ya, kita semua pendatang di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Dan karena itu, kita semua dipanggil untuk menghidupi kerinduan menjadi Indonesia.

Caranya? Muliakan Allah! Dan ketika Allah dimuliakan dalam diri masing-masing orang, kejahatan pun sirna. Jika bangsa kita masih berkubang dalam persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme, kemungkinan besar karena masih banyak orang yang enggan mencari tahu kehendak Allah. Yang dikedepankan bukanlah kehendak Allah, tetapi kehendak diri sendiri.

Jika keadaan negeri kita sekarang ini tampaknya enggan berubah, kemungkinan disebabkan karena masih banyak orang berpikir untuk kepentingannya sendiri atau golongannya sendiri. Nah, perubahan akan terjadi jika banyak orang yang berupaya mengubah fokus, dari diri sendiri kepada orang lain. Oleh karena itu, baiklah kita memperhatikan dengan saksama bagaimana kita hidup.

Ikhtiar Daud

Daud bisa menjadi patron dalam hal ini. Di awal Mazmur 101, Daud berikhtiar: ”Aku hendak menyanyikan kasih setia dan hukum, aku hendak bermazmur bagi-Mu, ya TUHAN” (Mzm. 101:1). Pertanyaannya: apa yang dimaksud dengan ”menyanyikan kasih setia dan hukum”?

Daud memang penyair, bisa jadi dia juga gemar bernyanyi. Mungkin yang dimaksud dengan ”menyanyikan kasih setia dan hukum” adalah menjalani kasih setia dan hukum dengan senang dan bukan beban. Pertanyaan yang mungkin kita ajukan: Bagaimana caranya memandang kasih setia dan hukum sebagai sesuatu yang menyenangkan?

Agaknya kita perlu memandang diri kita sebagai orang yang telah merasakan betapa berharganya kesetiaan itu sendiri. Bayangkan apa jadinya kita ketika ibu kita menolak menyusui kita sewaktu bayi karena alasan capek? Pikirkanlah apa jadinya nasib kita saat guru kelas tak begitu sabar mengajari kita? Lalu, apa jadinya diri kita jika pemilik perusahaan memecat dengan sewenang-wenang karena tak punya lagi dana untuk menggaji kita saat pandemi ini? Semua itu tidak terjadi karena ada unsur kesetiaan. Keberadaan kita sekarang ini sedikit banyak merupakan buah kesetiaan orang lain.

Mengenai hukum, baiklah kita mengingatnya sebagai peranti yang akan membuat hidup kita lebih manusiawi. Tanpa hukum semua jadi berantakan.

Misalnya: budaya antre menolong setiap orang merasakan bahwa keadilan ditegakkan. Ketika seseorang melanggarnya, orang lain yang tak suka akan melabraknya. Si pelanggar menjadi malu sendiri. Kalaupun enggak ada yang menegur, percayalah bahwa nilai diri si pelanggar telah jatuh di mata orang lain. Jika memang demikian, apa gunanya melanggar aturan? Menerapkan aturan akan membuat kita lebih percaya diri.

Nah, agaknya kita perlu belajar bertekad seperti Daud: ”Aku hendak memperhatikan hidup yang tidak bercela: Bilakah Engkau datang kepadaku? Aku hendak hidup dalam ketulusan hatiku di dalam rumahku” (Mzm. 101:2).

Marilah kita belajar hidup tulus, mulai dalam rumah kita sendiri—rumah fisik kita. Juga Rumah Indonesia kita. Karena bukan tanpa maksud Tuhan—saya pinjam istilah Gombloh—menitipkan kita di bumi Indonesia. Ya, Indonesia rumah kita!

Karena itu kita dipanggil pula menjadikan diri kita sebagai rumah doa. Ingat: Paulus pernah berkata bahwa tubuh kita adalah Bait Roh Kudus! Kalau setiap rakyat negeri ini menjadikan dirinya sebagai rumah doa, maka Indonesia pastilah menjadi rumah semua orang. Dan Indonesia bisa berubah menjadi Rumah Penyembuhan.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home