Loading...
INDONESIA
Penulis: Melki Pangaribuan 17:07 WIB | Kamis, 03 November 2016

Rektor Sunan Kalijaga: Intoleransi Muncul karena Orang Kalah

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Dr KH Yudian Wahyudi. (Foto: Melki Pangaribuan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Dr KH Yudian Wahyudi, menilai intoleransi beragama selalu muncul sebagai reaksi dari seseorang yang kalah dalam kompetisi politik.

Penilaian itu disampaikan Yudian menanggapi persoalan mengenai intoleransi beragama yang semakin meningkat di Indonesia, terutama di Yogyakarta dan di daerah Pulau Jawa.

“Ya tentu itu (intoleransi) menyedihkan sekali ya, yang begitu sedih. Tapi biasanya itu berangkat dari persoalan politik. Orang kalau saya baca begini, intoleransi itu selalu muncul sebagai reaksi karena orang itu kalah. Orang kalah reaksioner,” kata Yudian kepada satuharapan.com yang ditemui sebelum gala dinner International Peace Symposium, di Hotel Grand Aston Yogyakarta, hari Jumat (28/10) malam.

Guru Besar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu mencontohkan bila merujuk pada sejarah, Agama Islam tidak pernah menistakan tokoh agama karena posisi Islam saat itu selalu menang. Tetapi dalam perkembangkannya, lanjut dia, Islam mulai kalah melawan Barat dan kemudian umat Islam lemah di mana-mana.

“Kita baca dalam sejarah agama itu seperti itu. Mohon maaf saya cerita, mengapa umat Islam awal itu hampir tidak pernah menistakan tokoh agama. Anda baca, yaitu dilarang dari awal (sebenarnya). Kenapa? karena umat Islam selalu menang, tampil sebagai yang prima bisa menyelesaikan masalah sosial, bisa politik, bisa ekonomi, bisa pendidikan. Tetapi ketika umat Islam mulai kalah melawan Barat … maka umat Islam lemah di mana-mana. Nah di situ ngomongnya mulai ngaco dia,” kata dia.

Yudian menegaskan, semua orang yang kalah akan mengalami krisis dan dipastikan melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma pada umumnya.

“Sepertinya semua orang yang kalah, semua orang yang kalah, yang mengalami krisis, pasti kelakuannya tidak standar,” katanya.

“Jadi intoleransi itu lahir karena krisis tadi, karena kekalahan, pada umumnya karena kekalahan,” dia menambahkan.

Yudian mengatakan, "dari awal umat Islam itu tampil prima, di  mana-mana berhasil, makanya pikirannya sehat. Tidak ada soal menghina Nabi Muhammad tidak penting, soal-soal mengenai Allahnya ndak penting, bakar Quran tidak penting."

“Tapi sekarang, begitu kita kalah enggak punya apa-apa begini. Orang baru menafsirkan (surat) Al Maidah itu kan, ribut,” kata dia.

Yudian juga mencontohkan salah satu bentuk intoleransi dari persoalan politik di Indonesia yang tengah hangat mengangkat isu Suku Ras Agama dan Antar golongan (SARA).

“Misalnya begini, saya mohon maaf. Ahok, misalnya dia calon yang lemah, dia tafsirkan gitu (surat Al Maidah 51)? Sementara Agus atau Anis calon kuat, ribut ndak orang Islam? Enggak ributlah. Enggak ribut, paham ya? Enggak ribut karena ini bakal kalah. Tapi karena potensi Ahok akan menang? Nah?”

“Jadi persoalannya ada di sini, soal krisis kita, saya katakan kalah menang tadi. Karena Ahok diupayakan sudah sangat kuat, ngomong kaya gitu lah perlu diruntuhkan. Tapi beda ya kalau misalnya Ahok ini tokoh lemah, Agus atau Anis tokoh yang diunggulkan. ‘Ah… Apa lu sudah lemah, masih menghina. Sorrylah. Enggak usah ditanggapin,’ Nah itu selalu kalau bahasanya krisis.  Adanya krisis,” kata dia.

Yudian meminta semua umat beragama harus tetap memegang konstitusi atau Undang-undang Dasar sebagai dasar kerukunan umat beragama di Indonesia terlepas dari semua persoalan yang sedang dihadapi.

“Tapi terlepas dari semua itu, memang semua umat beragama harus memegang konstitusi,” dia menegaskan.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home