Loading...
INDONESIA
Penulis: Francisca Christy Rosana 17:24 WIB | Senin, 23 Maret 2015

Rektor UKI: Pergub Munculkan Kecurigaan Lebih Tinggi

Dr Maruarar Siahaan, Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI) yang juga mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) saat ditemui satuharapan di UKI, Cawang, Jakarta Timur, Senin (23/3) siang. (Foto: Francisca Christy Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dr Maruarar Siahaan, Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI) yang juga mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memandang kemelut yang terjadi antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menentukan hubungan antara eksekutif dan legislatif ke depan.

Setelah batal diterbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanaja Daerah (APBD) karena tidak ditemukan kesepakatan, Gubernur DKI pun harus mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) .

DPRD Senin (23/3) sore secara resmi telah menyatakan APBD 2015 disepakati menggunakan Pergub dan menggunakan pagu anggaran 2014.

“Akibat konflik ini, komunikasi keduanya menjadi tidak sehat. Saya kira meski anggaran bisa dipecahkan melalui Pergub, di peluang berikutnya akan timbul masalah-masalah baru. Misalnya DPRD sebagai pihak pengawas tidak melihatnya secara sama, tentu saja akan digali-gali masalah karena sudah ada masalah sebelumnya, bisa jadi menyangkut masalah prestise. Persoalannya bukan lagi ke persoalan administratif, tapi lebih ke persoalan politis,” kata Maruarar saat ditemui satuharapan di UKI, Cawang, Jakarta Timur, Senin siang.

Pergub menurut Rektor UKI ini tentu memiliki kelemahan karena sifatnya seperti hak yang ditetapkan secara sepihak, tetapi penyelenggaraan pemerintahan diselenggarakan bersama-sama sehingga dalam hal pengawasan, ada keumungkinan muncul kecurigaan yang lebih tinggi. Program yang dilakukan Pemprov bisa jadi akan sangat diawasi, bahkan tak dapat ditampik bila legislatif selanjutnya sangat subjektif.

“Ada saat di mana legislatif curiga dan selalu tidak percaya kepada eksekutif,” ujar Maruarar.

Pergub sebenarnya adalah  jalan keluar yang baik jika hubungan kedua pihak baik dan tidak ada masalah.

Dalam hal ini, menurut Maruarar, Pemerintah Pusat seharusnya berlaku sebagai penengah dan menjadi mediator untuk memperdamaikan kedua kubu. Selain itu, kepentingan rakyat harus menjadi acuan bagaimana pembangunan seharusnya dilakukan, apalagi untuk hal-hal yang mendesak.

“Maunya kedua belah pihak bisa melihat ini dari sisi kebutuhan rakyat,” Maruarar menambahkan.

Jika Pusat gagal melakukan mediasi seperti yang telah dilaksanakan beberapa pekan lalu, seharusnya dilakukan evaluasi terhadap kemungkinan komunikasi yang kurang tepat ini karena komunikasi eksekutif dan legislatif akan menentukan hubungan pemerintahan Jakarta mendatang. 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home