Loading...
EKONOMI
Penulis: Reporter Satuharapan 20:00 WIB | Senin, 10 April 2017

Resolusi Eropa Diskriminasi Minyak Sawit Indonesia

Ilustrasi. Hamparan perkebunan kelapa sawit membentuk pola terlihat dari udara di Provinsi Riau, Selasa (21/2). Pemerintah Indonesia berupaya menyempurnakan kebijakan moratorium sawit yang diberlakukan selama lima tahun sejak 2016 untuk menekan laju konversi hutan dan lahan gambut dengan tetap memperhatikan kelangsungan bisnis supaya produktivitas sawit meningkat dari luas perkebunan yang sudah ada. (Foto: Antara/FB Anggoro)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Indonesia menilai Resolusi Parlemen Eropa tentang "Palm Oil and Deforestation of Rainforests" yang disahkan melalui pemungutan suara pada sesi pleno di Strasbourg 4 April 2017 mencerminkan tindakan diskriminatif minyak kelapa sawit.

"Tindakan diskriminatif ini berlawanan dengan posisi Uni Eropa sebagai `champion of open, rules based free, and fair trade`," demikian pernyataan pers dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia di Jakarta, hari Senin (10/4) menanggapi Resolusi Parlemen Eropa tentang minyak sawit.

Menurut Pemerintah Indonesia, Resolusi Parlemen Eropa menggunakan data dan informasi yang tidak akurat dan akuntabel terkait perkembangan minyak kelapa sawit dan manajemen kehutanan di negara-negara produsen minyak sawit, termasuk Indonesia. Resolusi itu juga melalaikan pendekatan "multistakeholders".

Pemerintah Indonesia menekankan bahwa penanaman minyak sawit bukanlah penyebab utama kebotakan hutan atau deforestasi.

Berdasarkan kajian Komisi Eropa pada 2013, dari total 239 juta hektar lahan yang mengalami deforestasi secara global dalam kurun waktu 20 tahun, 58 juta hektar terdeforestasi akibat sektor peternakan (livestock grazing), 13 juta hektar akibat penanaman kedelai, delapan juta hektar dari jagung, dan enam juta hektar dari minyak sawit.

Dengan kata lain, total minyak sawit dunia hanya berkontribusi kurang lebih sebesar 2,5 persen terhadap deforestasi global.

Bahkan, minyak sawit menjadi bagian dari solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan berkontribusi positif pada peningkatan permintaan global biofuel sebagai pengganti bahan bakar fosil. Minyak sawit sejauh ini merupakan minyak nabati paling produktif dalam hal perbandingan luas lahan dan hasil produksi.

Mengesampingkan Hak Hidup Petani Kecil

Untuk itu, Pemerintah RI menilai bahwa skema sertifikasi tunggal yang diusulkan dalam Resolusi Parlemen Eropa berpotensi meningkatkan hambatan yang tidak perlu dalam perdagangan (unnecessary barriers to trade) dan kontraproduktif terhadap upaya peningkatan kualitas minyak sawit yang berkelanjutan.

Indonesia sudah memiliki "Indonesia Sustainable Palm Oil" (ISPO) yang bersifat mandatoris dengan fokus pada perlindungan dan pengeloaan lingkungan. Oleh karena itu, rekomendasi pengurangan secara bertahap (phasing out) penggunaan minyak sawit dalam resolusi parlemen Eropa itu dinilai bersifat proteksionis.

"Sangat aneh bahwa resolusi merekomendasikan promosi minyak rapeseed dan bunga matahari, yang berdasarkan data justru tidak lebih baik dari minyak sawit," kata pernyataan dari Kemlu RI.

Pemerintah Indonesia juga menilai bahwa resolusi parlemen Eropa itu mengesampingkan hak hidup petani kecil ladang sawit. Terdapat 16 juta orang yang secara langsung dan tidak langsung tergantung pada sektor kelapa sawit. Sebanyak 41 persen produksi minyak sawit dihasilkan oleh petani kecil di pedesaan.

"Resolusi itu juga mengabaikan upaya keras yang terus dilakukan Pemerintah dan pemangku kepentingan di Indonesia dalam menjaga dan menyeimbangkan isu pembangunan dan lingkungan hidup, termasuk moratorium ekspansi lahan kelapa sawit, skema kolaboratif antara pemerintah-swasta-masyarakat madani untuk restorasi gambut, praktik-praktik manajemen berkelanjutan dalam pengelolaan sawit," tulis pernyataan Pemerintah RI yang disampaikan oleh Kemlu RI. (Ant)

 

 

Editor : Melki Pangaribuan


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home