Revisi UU Anti-Terorisme, SETARA: Intoleransi Akar Terorisme
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah telah mengirimkan draf revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Repulik Indonesia. Badan musyawarah DPR pun telah sepakat pembahasan revisi UU yang bertujuan mencegah aksi terorisme terjadi di Indonesia itu dilakukan dalam panitia khusus (Pansus).
Artinya, revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme segera memasuki perdebatan politik di lembaga legislatif.
Lembaga swadaya masyarakat yang didedikasikan dengan gagasan setiap orang harus diperlakukan sama, SETARA Institute, mengapresiasi inisiatif Pemerintah merevisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun, mereka berharap, revisi UU itu tidak mengabaikan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) atau malah membuka celah lahirnya terorisme baru di Tanah Air.
Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos, memberikan catatan pada sejumlah pasal dalam draf revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Salah satunya, definisi ‘ancaman kekerasan’, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (5).
Dalam draf revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pasal 1 Ayat (5) berbunyi, “Ancaman Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat.”
Menurutnya, perubahan pada pasal itu bertujuan untuk memperkuat tugas kepolisian melakukan tindak pencegahan dini dalam penanganan terorisme. Namun, dia mengingatkan, ujaran kebenceian yang merupakan ekspresi intoleransi adalah tangga menuju terorisme. Sementara terorisme, adalah puncak intoleransi.
“Memahami terorisme harus melihat akar persoalannya. Selalu kami menegaskan yang pertama adalah intoleransi, kemudian melangkah pada tindak kekerasan dan terorisme,” kata Bonar dalam jumpa pers di Kantor SETARA Institute, Kawasan Bendungan Hilir, Jakarta, hari Kamis (3/3).
Pasal Anak dan Remaja
Lebih lanjut, SETARA Institute menyoroti pasal yang mengantisipasi potensi pelibatan anak dan remaja dalam tindak pidana terorisme, sebagaimana tercantm dalam Pasal 16A. dimana pada ayat (1) mengatakan ‘Dalam hal Tindak Pidana Terorisme dilakukan oleh anak, pidana yang dijatuhkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak.’
Kemudian pada ayat (2) menyatakan ‘Dalam hal pelaku Tindak Pidana Terorisme melibatkan anak, pidana yang dijatuhkan ditambah setengah dari pidana yang diancamkan.’
Bonar berpendapat, pasal tersebut menjadi alarm bagi masyarakat terkait ketertarikan kalangan anak dan remaja untuk bergabung dalam jaringan terorisme. Sebab, kata dia, berdasarkan hasil studi SETARA Institute pada tahun 2015, satu dari empat belas pelajar tingkat SMA di Kota Jakarta dan Bandung setuju dengan gerakan kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (Islamic State Iraq and Syria/ISIS).
“Meski demikian, proses peradilan atas tindak pidana terorisme yang melibatkan anak dan remaa tetap tunduk pada Sistem Peradilan Pidana Anak,” kata Bonar.
Editor : Eben E. Siadari
Partai Oposisi Korea Selatan Ajukan Mosi Pemecatan Presiden ...
SEOUL, SATUHARAPAN.COM-Partai-partai oposisi Korea Selatan, hari Rabu (4/12), mengajukan mosi untuk ...