Loading...
INDONESIA
Penulis: Endang Saputra 16:11 WIB | Rabu, 13 Januari 2016

Revolusi Mental Seharusnya Bukan Sekadar Jargon Kampanye

Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza UI Haq saat diskusi di Gedung Sinar Kasih, Jalan Dewi Sartika 136 D, Cawang, Jakarta Timur, hari Rabu (13/1).(Foto: Endang Saputra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza UI Haq mengatakan, Jargon revolusi mental Presiden Joko Widodo seharusnya bukan hanya saat kampanye di Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 lalu.

Melainkan, kata Fajar revolusi mental itu harus menjadi salah satu dari gerakan dan partisipasi dari publik untuk membangun pemerintahan dengan kelompok sipil—termasuk dunia usaha—menjadi kunci keberhasilan.

Fajar berpendapat dalam beberapa pertanyaan yang diterima oleh dirinya apakah lima tahun menjabat Presiden Jokowi bisa berhasil dengan gerakan-gerakan revolusi mental namun, kata Fajar pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu klise.

“Jadi memang jangka lima tahun presiden menjabat, karena satu gerakan akan tergantung pada pemerintahan mempunyai satu rezim, ganti pemerintah biasanya ganti konsep biasanya nah itu juga menjadi salah satu komitmen kita bagaimana agar ada kesinambungan dengan program ini,” kata Fajar saat diskusi di Gedung Sinar Kasih, Jalan Dewi Sartika 136 D, Cawang, Jakarta Timur, hari Rabu (13/1).

Selain itu, kata Fajar komitmen gerakan revolusi mental ini meskipun terjadi pergantian pemerintahan, misalkan Jokowi paling lama 10 tahun menjabat tentu jangka 10 tahun juga tidak cukup kalau berkaca kepada Korea Selatan (Korsel) atau Tiongkok karena mereka revolusi kebudayaan sudah dilakukan 20-30 tahun sebelumnya.

Menurut Fajar Presiden menjadi gelisah karena revolusi mental tersebut tidak semudah itu untuk menjadikan Bangsa Indonesia berubah dan berkualitas.

“Sekarang Korsel betul-betul luar biasa secara industri kebudayaan, teknologi begitu melesat dan jauh di atas kita, nah itu mungkin menjadi kegelisahan Pak Jokowi kenapa revolusi mental ingin kualitas bangsa kita punya lebih baik tetapi kenyataannya masih banyak tercecer dari belakang,” kata dia.

Menurut Fajar yang mengutip pernyataan Mohammad Sobary, akrab disapa Kang Sobary, seorang budayawan yang menilai Presiden Jokowi bukan seorang konseptor dan tidak suka yang rumit-rumit.

“Pak Jokowi ini bukan orang konseptor gak suka yang rumit dia berpikir revolusi mental sangat teknis sangat konkret, makanya kang Sobary mengatakan Presiden itu sangat simple dan komitmen pemerintah agar pelayanan publik ini lebih baik bisa melayani bagaimana bisa mengubah daulat raja menjadi daulat rakyat,” kata dia.

“Selama ini negara menjadi salah satu sentral dan paradigmanya daulat raja, pemerintah sebagai harus dilayani dan sekarang harus berubah paradigmanya bahwa daulat rakyat harus dikedepankan sehingga pemerintah sebagai pengayom, pelindung, apalagi pelayan masyarakat harus betul-betul terwujud nah itu terbayang oleh Jokowi ketika bilang harus revolusi mental beliau tidak terlalu berpikir kompleks soal filosofisnya, strategis kebudayaannya mungkin beliau tidak berpikir soal itunya,” dia menambahkan.

Menurut Fajar para pemikir di belakang Presiden Jokowi itu yang mencoba mendesain menstrukturkan bagaimana gerakan revolusi mental ini lending secara baik dan bisa diterima oleh birokrasi.

“Para pemikir di belakang itulah yang mencoba mendesain menstrukturkan bagaimana gerakan revolusi mental ini lending secara baik, dan juga bisa diterima oleh birokrasi,” kata anggota Kelompok Kerja Gerakan Nasional Revolusi Mental ini.

Selain itu, kata Fajar saat rapat dengan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Puan Maharani dirinya menyampaikan bahwa musuh yang paling utama yang dihadapi oleh Presiden yaitu soal birokrasi.

“Pada waktu rapat pertama kami di kumpulkan oleh Bu Puan yang anggota Pokja saya mengatakan musuh pertama Pak Jokowi kalau bicara Revolusi Mental yang pertama adalah birokrasi, itu musuh pertama memang beberapa birokrat pada ketawa kan, karena saya bilang masyarakat kita bagimanapun karakteristik kalau melihat contoh di atas kalau kepalanya busuk ya bagaimana mungkin ekornya mengikuti busuk juga oleh karena itu keteladanan menjadi kata kunci nah ternyata kemarin presiden melakukan evaluasi internal terhadap gerakan Revolusi Mental di tengah banyak kritik juga beliau berpikir memang birokrasi reformasi itu belum berjalan,” kata dia.

“Jadi kalau kita bicara soal gerakan itu revolusi mental kami melihat ada dua hal. Adalah reformasi birokrasi itu yang sangat fundamental yang kedua bagaimana aspek pendidikan menyangkut strategi soal kebudayaan karena tentu mengubah satu pola pikir itu perlu proses,” dia menambahkan.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home