Loading...
DUNIA
Penulis: Eben E. Siadari 10:33 WIB | Senin, 26 September 2016

RI Sesalkan Negara-negara Pasifik Angkat Isu Papua di PBB

Nara Masista Rakhmatia, salah seorang anggota delegasi Indonesia pada Sidang Umum ke 71 PBB di Washington saat menyampaikan respons yang mengecam negara-negara Pasifik yang mengangkat isu Papua di PBB (Foto: webtv.un.org)

NEW YORK, SATUHARAPAN.COM - Delegasi Indonesia menyampaikan kecaman dan penyesalan atas langkah sejumlah negara Pasifik yang mengangkat isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua dalam Sidang Umum ke-71 PBB di markas PBB di New York, 20-26 September.

Aksi itu menurut Indonesia melanggar Piagam PBB, memanipulasi sidang umum PBB yang terhormat demi agenda politik domestik serta mengalihkan persoalan yang dihadapi di dalam negeri negara-negara Pasifik itu. Langkah mereka dinilai berbahaya bagi keberadaan PBB, serta merupakan langkah mencampuri urusan kedaulatan dan integritas teritorial negara lain yang merupakan pelanggaran terhadap piagam PBB.

Ada enam negara yang mengangkat isu pelanggaran HAM Papua di sidang umum ke-71 PBB itu, dimana masing-masing pemimpin negara diberi kesempatan menyampaikan pidato. Enam negara itu adalah Solomon Islands, Vanuatu, Nauru, Marshall Islands, Tuvalu dan Tonga.

Dari kiri ke kanan (baris atas): Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai Tabimasmas, Perdana Menteri Solomon Islands, Manasseh Sogavare, Perdana Menteri Tonga, Samiuela 'Akilisi Pohiva, (baris bawah): Presiden Nauru, Baron Divavesi Waqa, Presiden Marshall Islands, Hilda Heine, Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sosene Sopoaga (Foto: webtv.un.org)

Enam negara di Pasifik tersebut,mengangkat isu Papua dalam pidato mereka terkait dengan desakan perlunya misi pencari fakta Perserikatan Bangsa-bangsa ke Papua untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang dituduhkan terjadi di sana, serta  tuntutan untuk diberikannya kesempatan menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua.
 
Presiden Jusuf Kalla memiliki kesempatan berbicara pada 23 September 2016 di forum ini. Namun, dalam pidatonya tidak sedikit pun ia menyinggung soal Papua atau merespons pernyataan negara-negara Pasifik itu. Respons dan bantahan justru datang dari salah seorang anggota delegasi, yaitu Nara Masista Rakhmatia, salah seorang pejabat permanent mission Indonesia di PBB.

"Indonesia ingin memanfaatkan haknya untuk menjawab apa yang dikatakan oleh Solomon Islands, Vanuatu,Nauru, Marshall Islands,Tuvalu dan Tonga terkait dengan masalah Papua, provinsi Indonesia," kata Nara Masista Rakhmatia, ketika membacakan pernyataan Indonesia, yang dapat juga disaksikan lewat internet televisi PBB.

"Indonesia terkejut mendengar, pada panggung yang penting ini ketika para pemimpin berkumpul untuk melaporkan implementasi awal Sustainable Development Goals (SGD), yang merupakan transformasi aksi kolektif kita, dan tantangan global lainnya, seperti perubahan iklim dimana negara-negara Pasifik terpengaruh paling banyak, para pemimpin yang disebutkan di atas memilih melanggar piagam PBB dengan mencampuri kedaulatan dan integritas teritorial negara lain," kata Nara Masista dengan intonasi tegas dan mencerminkan kemarahan.

"Kami secara ketegoris menolak insinuasi berkelanjutan dalam pernyataan mereka," kata dia.

Nara Masista mengatakan, pernyataan-pernyataan negara Pasifik tersebut mencerminkan kurangnya pemahaman sejarah dan kemajuan pembangunan di Indonesia, termasuk di Papua dan Papua Barat.

Ia menegaskan bahwa pernyataan-pernyataan negara-negara Pasifik tersebut merupakan retorika dan manuver politik, untuk mengalihkan perhatian dari masalah dalam negeri mereka. Pernyataan-pernyataan bermotivasi politik itu, kata dia, didesain untuk mendukung kelompok separatis yang telah terlibat dalam berbagai aksi terorisme bersenjata yang menyerang anggota masyarakat sipil dan militer.

Nara Masista dua kali mengulang tuduhannya bahwa negara-negara Pasifik tersebut telah melanggar piagam PBB yang melarang sesama anggota mencampuri kedaulatan dan integritas teriorial negara anggota lainnya.

"Sangat disesalkan dan berbahaya bila negara-negara itu menggunakan PBB dan sidang umumnya untuk membawa agenda domestik dan mengalihkan perhatian dari masalah dalam negeri mereka," ia menambahkan.

Nara Masista menegaskan bahwa tuduhan-tuduhan yang dilontarkan sejumlah negara Pasifik itu didasarkan pada data yang salah dan informasi yang difabrikasi.

Di bagian lain responsnya, Nara Masista  menjelaskan berbagai posisi Indonesia di berbagai lembaga HAM di dunia, termasuk menjadi anggota Dewan HAM PBB. Indonesia, kata dia, juga termasuk pendiri Komisi HAM Organisasi Kerjasa Islam (OKI).

"Mustahil terjadi pelanggaran HAM (di Indonesia) tanpa diketahui dan diteliti," kata dia.

Mekanisme penanganan HAM di dalam negeri Indonesia, tutur dia, berlangsung hingga ke level provinsi.

Ia juga menyindir negara-negara Pasifik itu dengan mengatakan Indonesia telah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen HAM internasional ke dalam undang-undang dalam negeri, sementara Solomon baru empat dan Vanuatu lima. Ditambahkannya pula bahwa Komnas HAM di Indonesia berjalan sangat aktif. Demokrasi berfungsi secara penuh pada semua level.

Di bagian akhir responsnya, Nara Masista mengungkapkan pepatah lama, yang berkata, kala satu jari menunjuk kepada yang lain, empat jari menunjuk kepada diri sendiri.

Pidato Enam Negara Pasifik

Sebelumnya, enam negara Pasifik memanfaatkan kesempatan berpidato dengan menyinggung secara singkat masalah Papua. Perdana Menteri Solomon Islands, ketika mendapat giliran berpidato di Sidang Umum PBB pada 23 September, mengatakan pelanggaran HAM di Papua untuk memperjuangkan penentuan nasib sendiri adalah dua sisi mata uang yang sama.

"Banyak laporan pelanggaran HAM di Papua menekankan melekatnya antara hak untuk menentukan nasib sendiri yang menghasilkan pelanggaran langsung HAM oleh Indonesia dalam upaya untuk meredakan segala bentuk oposisi," kata dia.

Hal yang sama disuarakan oleh Presiden Marshall Islands, Hilda Heine, yang mendesak Dewan HAM PBB melakukan investigasi kredibel dan independen atas pelanggaran HAM di Papua.

Dalam nada yang lebih lembut, Presiden Nauru, Baron Divavesi Waqa, menyerukan dilaksanakannya rekomendasi Pacific Islands Forum (PIF) yaitu mengadakan dialog konstruktif dengan Indonesia terkait dengan tuduhan pelanggaran HAM di Papua.

Hal yang sama disampaikan oleh Perdana Menteri Tonga, Samiuela 'Akilisi Pohiva. Ia mendesak adanya dialog konstruktif dengan pemerintah Indonesia terkait masalah HAM di Papua.

Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai Tabimasmas, menegaskan, PBB harus mengambil langkah konkret terkait keprihatinan atas pelanggaran HAM di Papua. Sementara Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sosene Sopoaga mendesak PBB mengambil langkah nyata menemukan solusi bagi otonomi penduduk asli Papua.

Menurut Sopoaga, prinsip penentuan nasib sendiri harus dihormati. Dan pelanggaran HAM di Papua akibat keinginan untuk mendapatkan hak penentuan nasib sendiri adalah realitas.

"Realitas ini tidak bisa terus-menerus diabaikan," kata dia.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home