Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 09:52 WIB | Sabtu, 23 April 2016

Rontek Bergerak Menyelamatkan Sumberdaya Air

Rontek Bergerak Menyelamatkan Sumberdaya Air
Water Crisis, sebuah karya rontek (round-tag) dalam pameran-lapak bergerak Move and Movement yang diselenggarakan oleh Komunitas Rontek Bergerak 22-30 April 2016. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Rontek Bergerak Menyelamatkan Sumberdaya Air
Bramantyo Prijosusilo, seniman teater Yogyakarta membuka acara pameran-lapak Komunitas Rontek Bergerak di N-Workshop Jl. Suryodiningratan No 37-B Yogyakarta, Jumat (22/4).
Rontek Bergerak Menyelamatkan Sumberdaya Air
Beberapa karya rontek yang mengangkat masalah air dan sampah dalam pameran-lapak bergerak Move and Movement.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menyambut Hari Bumi Sedunia seniman-perupa Yogyakarta yang tergabung dalam komunitas Rontek Bergerak menggelar pameran dan lapak bergerak dengan mengusung tema Move and Movement.

Acara yang berlangsung di N-Workshop, Jl. Suryodiningratan 37-B Yogyakarta dibuka pada Jumat (22/4) malam oleh Bramantyo Prijosusilo seniman teater dari Sekaralas Ngawi. Di masa lalu sebelum digunakan untuk N-Workshop, bangunan tersebut digunakan pihak Karta Pustaka sebagai salah satu penyedia literatur dan buku-buku kuno/sejarah di Yogyakarta.

Rontek Bergerak merupakan sebuah gerakan seni yang terdiri dari beberapa komunitas seni di Yogyakarta, berawal dari Festival Mata Air (FMA) di Salatiga pada 20-21 Februari 2016. FMA sendiri berangkat dari  keprihatinan seniman dan pegiat lingkungan bersama masyarakat atas banyaknya mata air di Salatiga yang rusak.

Dalam sambutannya, Bramantyo menyoroti tentang ambisi besar dari Rontek Bergerak dengan membandingkan panji-panji keramat sejarah perjalanan bangsa di nusantara. Tahun 1920 panji/rontek Kyai Tunggul Wulung digunakan untuk ritual mengusir wabah pes yang ada di wilayah Yogyakarta. Dalam sudut pandang yang sedikit berbeda, Bramantyo berharap pameran Rontek Bergerak dengan mengangkat permasalahan sosial-lingkungan terutama masalah air dan sampah dapat memberikan dampak yang nyata bagi kehidupan masyarakat.

"(Sumberdaya) Air dan sampah adalah masalah penting dan krusial yang belum dikelola dengan baik. Ambil contoh saja, (sampai saat ini) sampah di Istana (negara) belum tentu (sudah) dikelola dengan cerdas," jelas Bramantyo. Lebih lanjut Bramantyo mencontohkan saat masa pencalonan presiden beberapa waktu lalu seorang capres mendeklarasikan pencalonannya di TPA Bantar Gebang dan berjanji akan membenahi pengelolaan masalah sampah. "Setelah 10 tahun lebih, terbukti janji tersebut tidak terealisasi," kata Bramantyo.

Ada kritik dari Bramantyo terkait acara/festival yang mengangkat masalah lingkungan, apakah event-event ini sebatas acara yang selesai bersamaan dengan selesainya acara ataukah ada langkah-langkah lanjutannya dengan melibatkan ritual didalamnya? Upacara bersih desa misalnya, dengan prosesi yang ada harus berdampak secara sosial, ekonomi, produksi, sebagai sebentuk representasi kesejahteraan yang berlanjut. "Ini yang kadangkala lepas dari pencermatan para seniman-pegiat lingkungan. Adanya acara-acara tersebut seharusnya ada dampak setelahnya. Ada perubahan kebudayaan di masyarakat," kata Bramantyo lebih lanjut tentang harapan dari penyelenggaraan acara-acara/festival yang mengangkat masalah sosial-lingkungan.

Rontek, Identitas sebuah Bangsa

Bendera/panji atau rontek sejak lama telah menjadi identitas bangsa di dunia. Bendera/panji bagi raja merupakan sebuah simbol dari kekuasaan dan penguasaan suatu wilayah taklukannya. Bangsa Mesir menggunakan bendera-bendera pada kapal-kapalnya sebagai batas dari satu wilayah yang telah dikuasainya.

Pada awal perang Islam, sebuah panji berwarna hitam dengan tulisan warna putih "Laa ilaha Ill-Allah, Muhammad rasulullah" dikenal dengan panji ar-Rayah. Di jaman modern, Napoleon I dan II menggunakan panji dengan lambang garuda di pucuk tiangnya. Bangsa Punisia dan Yunani menggunakan bendera/panji yang sederhana untuk kepentingan perang atau menunjukkan kehadiran raja/pejabat tinggi.

Di nusantara, penggunaan panji sudah lama dilakukan. Salah satu relief di dinding Candi Borobudur terdapat pataka dengan tiga orang pengawal membawa bendera yang berkibar. Raja Jayakatwang Kediri saat melakukan pemberontakan melawan Singasari menggunakan panji berupa kain berwarna merah-putih sebagai identitasnya.

Pasukan Adipati Palembang Ario Dillah membawa panji berlambang 'Lebah Emas' saat membantu tentara Demak dan Cirebon pada abad ke-15. Kasultanan Demak sendiri menggunakan panji hitam yang terkenal dengan Kyai Tunggul Wulung untuk dikibarkan di puncak-puncak gunung sebagai tanda syiar Islam. Selain berfungsi sebagai identitas kekuasaan, Tunggul Wulung sekaligus simbol religius.

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki panji Kanjeng Kyai Tunggul Wulung yang dikeramatkan sejak Sri Sultan Hamengku Buwana I, berwarna biru tua kehitam-hitaman dengan hiasan warna emas.

Penggunaan rontek yang diadopsi dari bahasa Inggris Round-Tag pada saat ini lebih bersifat umum sebagai elemen artistik untuk menambah hiasan dan keramaian. Masyarakat di wilayah pantai utara Jawa mengenal istilah rontek dalam bentuk lidi yang dibungkus sisiran kertas warna-warni menyerupai bunga kelapa (manggar) biasanya digunakan untuk mengiringi mempelai pengantin laki-laki atau untuk acara-acara desa. Dalam bisnis periklanan, rontek bisa diidentikkan dengan mini banner sebagai media promosi. Dalam fungsi sebuah mini banner ternyata tidak artistik semata, namun sekaligus bisa berupa promosi, kampanye, hingga propaganda.

Dalam konteks ini, rontek sebagai media mengalami alih rupa-fungsi. Dan dengan fungsi tersebut, rontek gaya baru masih menjadi media yang efektif untuk menyampaikan banyak hal: gagasan, pemikiran, kritik, pun propaganda.

Rontek Bergerak Menjaga Alam

Di tangan seniman-pegiat lingkungan, bentuk rontek direka ulang dalam media dan berbagai teknik pengerjaan untuk menyampaikan gagasan dalam membangun prakarsa dan kesadaran bersama atas berbagai realitas sosial yang tumbuh di masyarakat: perebutan sumberdaya alam, ketidakadilan, kerusakan alam-lingkungan, ketimpangan sosial, hingga upaya mewujudkan kesejahteraan sosial.

Alam-lingkungan adalah pihak pertama kali yang mengalami ketidakadilan perilaku manusia melalui eksploitasi yang berlebihan, kesenjangan dan ketimpangan penguasaan SDA, di sisi lain belum tumbuhnya pengelolaan SDA yang terencana secara berkelanjutan menjadi pemandangan sehari-hari di masyarakat: pencemaran lingkungan akibat sampah domestik-industri, menurunnya kualitas-kuantitas air bersih bagi kehidupan, bencana alam-kemanusiaan. Pada tahap berikutnya, ketidakadilan perilaku tersebut berdampak pada ketidakadilan-kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat.

"Rontek Bergerak terbuka bagi pihak manapun untuk bergerak bersama-sama menyelamatkan lingkungan dan kehidupan melalui berbagai kegiatan. Kita bisa berbagi ide-pemikiran secara bersama untuk mewujudkannya," kata Toni, salah satu penggagas Rontek Bergerak kepada Satuharapan.com di sela-sela pembukaan pameran-lapak Rontek Bergerak Jumat (22/4) malam.

Pameran dan workshop yang berlangsung dari 22-30 April 2016 memamerkan karya visual round-tag 37 seniman-perupa Yogyakarta dalam bentuk umbul-umbul dari kain berukuran 60 cm x 100 cm dalam berbagai teknik yang mengangkat isu sosial lingkungan semisal Tanam Pohon Tangkap Air, U can't Drink Your Money, Tanam atau Punah, No water-no life-no blue-no green, our forest our future, Air dan kekayaan alam untuk kesejahteraan bersama!!!.  Kelompok musik Sisir Tanah dan Dendang Kampungan memeriahkan acara pembukaan pameran dengan lagu-lagu yang berisi tentang kritik sosial dan kampanye penyelamatan lingkungan.

Saat Rontek sudah ditancapkan, saat itulah tanda bahwa kita harus segera sadar: daya dukung dan daya tampung lingkungan harus segera dirontekkan agar indah secara visual dan indah secara fungsional.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home