Rusia Memulai Referendum di Wilayah Ukraina Yang Diduduki
Warga dipaksa memberikan suara. Barat dan Ulkraina menyebutkan itu palsu dan tidak akan diakui secara internasional.
KIEV, SATUHARAPAN.COM-Pemungutan suara dimulai pada hari Jumat (23/9) di bagian Ukraina yang dikuasai Rusia dalam sebuah referendum yang diperkirakan akan digunakan Rusia untuk membenarkan pencaplokan empat wilayah, dengan seorang pejabat Ukraina melaporkan bahwa pemungutan suara adalah wajib.
“Pemungutan suara telah dimulai dalam referendum di wilayah Zaporizhzhia yang menjadi bagian dari Rusia sebagai entitas konstituen Federasi Rusia! Kami pulang! Insya Allah, teman-teman!” kata Vladimir Rogov, seorang pejabat di pemerintahan yang didukung Rusia di wilayah itu.
Referendum telah secara luas dikutuk oleh Barat sebagai tidak sah dan merupakan awal dari aneksasi ilegal.
Serhiy Gaidai, gubernur Ukraina di wilayah Luhansk, mengatakan bahwa di kota Bilovodsk yang dikuasai Rusia, kepala satu perusahaan mengatakan kepada karyawan bahwa referendum itu wajib dan mereka yang menolak untuk memilih akan dipecat dan nama mereka diberikan kepada dinas keamanan.
Dia mengatakan bahwa di kota Starobilsk, pihak berwenang Rusia melarang penduduk meninggalkan kota sampai hari Selasa pekan depan dan kelompok-kelompok bersenjata telah dikirim untuk menggeledah rumah dan memaksa orang keluar untuk mengambil bagian dalam referendum.
Pemungutan suara di empat wilayah provinsi Luhansk, Donetsk, Kherson dan Zaporizhzhia, yang mewakili sekitar 15 persen wilayah Ukraina, dijadwalkan berlangsung dari Jumat (23/9) hingga Selasa (27/9).
Pemungutan suara dilakukan setelah Ukraina bulan ini merebut kembali sebagian besar wilayah dalam serangan balasan, tujuh bulan setelah Rusia menginvasi dan melancarkan perang yang telah menewaskan ribuan orang, membuat jutaan orang mengungsi dan merusak ekonomi global.
Referendum telah dibahas selama berbulan-bulan oleh otoritas pro Moskow, tetapi kemenangan Ukraina baru-baru ini mendorong para pejabat untuk segera menjadwalkannya.
Dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, juga mengumumkan pekan ini rancangan militer untuk merekrut 300.000 tentara untuk berperang di Ukraina, Moskow tampaknya berusaha untuk mendapatkan kembali keunggulan dalam konflik tersebut.
Rusia berpendapat bahwa ini adalah kesempatan bagi orang-orang di kawasan itu untuk mengekspresikan pandangan mereka. "Sejak awal operasi ... kami mengatakan bahwa orang-orang di wilayah masing-masing harus memutuskan nasib mereka, dan seluruh situasi saat ini menegaskan bahwa mereka ingin menjadi tuan atas nasib mereka," kata Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov pekan ini.
Ukraina mengatakan Rusia bermaksud untuk membingkai hasil referendum sebagai tanda dukungan rakyat, dan kemudian menggunakannya sebagai dalih untuk aneksasi, mirip dengan pengambilalihan Krimea pada tahun 2014, yang belum diakui masyarakat internasional.
Membenarkan Pembelaan Diri
Dengan memasukkan empat wilayah ke dalam Rusia, Moskow dapat membenarkan eskalasi militer yang diperlukan untuk mempertahankan wilayahnya. Putin pada hari Rabu (21/9) mengatakan Rusia akan “menggunakan semua cara yang kami miliki” untuk melindungi dirinya sendiri, sebuah referensi yang jelas untuk senjata nuklir. "Ini bukan gertakan," katanya.
“Perambahan ke wilayah Rusia adalah kejahatan yang memungkinkan Anda untuk menggunakan semua kekuatan pertahanan diri,” kata Dmitry Medvedev, yang adalah presiden Rusia dari 2008 hingga 2012, mengatakan dalam sebuah posting di Telegram.
Hasil referendum yang berpihak pada Rusia dianggap tak terelakkan. Pemungutan suara di Krimea pada tahun 2014, dikritik secara internasional sebagai kecurangan, memiliki hasil resmi 97 persen mendukung aneksasi formal.
Referendum telah dikecam oleh para pemimpin dunia termasuk Presiden Amerika Serikt, Joe Biden, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, serta NATO, Uni Eropa dan Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE).
"Referensi palsu" adalah "ilegal dan tidak sah," kata NATO. OSCE, yang memantau pemilu, mengatakan hasil pemilu tidak akan memiliki kekuatan hukum karena tidak sesuai dengan hukum Ukraina atau standar internasional dan wilayahnya tidak aman.
Tidak akan ada pengamat independen, dan sebagian besar penduduk sebelum perang telah melarikan diri.
Rusia sudah menganggap Luhansk dan Donetsk, yang bersama-sama membentuk wilayah Donbas yang sebagian diduduki Moskow pada 2014, sebagai negara merdeka.
Ukraina dan Barat menganggap semua bagian Ukraina yang dikuasai pasukan Rusia diduduki secara ilegal. Rusia tidak sepenuhnya mengendalikan salah satu dari empat wilayah tersebut, dengan hanya sekitar 60 persen wilayah Donetsk berada di tangan Rusia.
Ukraina mengatakan referendum adalah tanda bahwa Rusia sedang ketakutan. "Keputusan apa pun yang mungkin diambil oleh pemimpin Rusia tidak mengubah apa pun untuk Ukraina," kata Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, Kamis (22/9).
“Yang menarik bagi kami adalah tugas-tugas di depan kami. Ini adalah pembebasan negara kita, membela rakyat kita dan memobilisasi dukungan dunia (opini publik) untuk melaksanakan tugas-tugas itu.”
Putin mengatakan Rusia sedang melakukan “operasi militer khusus” untuk mendemiliterisasi Ukraina, menyingkirkannya dari nasionalis berbahaya dan membela Rusia dari NATO.
Kyiv dan Barat menyebut tindakan Rusia sebagai upaya imperialis yang tidak beralasan untuk merebut kembali negara yang menyingkirkan dominasi Rusia dengan pecahnya Uni Soviet pada 1991.
Kerugian Dialami Rusia
Staf Umum Ukraina mengatakan Rusia telah meluncurkan serangan di wilayah Donetsk dan bahwa penembakan oleh Ukraina telah melukai seorang jenderal Rusia di wilayah Luhansk. “Musuh terus menderita kerugian, khususnya di kalangan kepemimpinan,” katanya pada hari Jumat (23/9).
Rusia dilaporkan telah kehilangan beberapa komandan berpangkat tinggi selama perang tujuh bulan.
Pemimpin separatis yang didukung Rusia di Donetsk mengecam serangan Ukraina sebagai "penembakan sinis barbar" yang dimaksudkan untuk menyebabkan kerusakan sebanyak mungkin bagi warga sipil.
“Itulah mengapa kami ingin bertindak cepat dan dengan tekad yang lebih besar dengan langkah-langkah seperti menggelar referendum,” kata Denis Pushilin. (Reuters)
Editor : Sabar Subekti
Hamas dan Fatah Hampir Sepakat Siapa Akan Mengawasi Gaza Pas...
KAIRO, SATUHARAPAN.COM-Para pejabat Palestina mengatakan kelompok Palestina Fatah dan Hamas hampir m...