Loading...
INDONESIA
Penulis: Melki Pangaribuan 08:03 WIB | Jumat, 21 Februari 2020

RUU Ketahanan Keluarga, Perlukah Norma Dijadikan UU?

Ilustrasi (Foto: pixabay)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Draf Rancangan Undang Undang (RUU) Ketahanan Keluarga membahas hal-hal yang selama ini menjadi bagian dari norma masyarakat, seperti kewajiban suami dan istri untuk saling mencintai, suami wajib menjadi kepala keluarga yang bertanggungjawab hingga istri wajib mengatur urusan rumah tangga.

Perlukah hal yang selama ini jadi norma untuk diatur dalam Undang Undang?

Psikolog Sani Budiantini Hermawan mengatakan munculnya RUU ini bisa jadi disebabkan oleh banyaknya kasus seputar masalah keluarga di Indonesia.

“Karena keluarga tangguh akan membuat ketangguhan nasional, ketahanan keluarga itu ketahanan nasional,” kata Sani saat dihubungi Antara, dilansir hari Kamis (20/2).

Meskipun begitu, dia menegaskan pentingnya menelaah kembali bagaimana implementasi konsekuensi hukum kelak bila RUU Ketahanan Keluarga disahkan.

"Jangan sampai UU jadi ganggu kerukunan keluarga.”

Sementara itu, Psikolog sosial Juneman Abraham mengatakan norma bisa dimasukkan ke dalam UU hanya bila masyarakat memang menginginkan ada peningkatan kualitas keadilan sebesar-besarnya dari pelaksanaan norma.

“Sebagai contoh, sebelum UU PKDRT terbit, ‘memukul istri untuk mendidiknya’ pernah menjadi norma sebagian masyarakat kita, dan dianggap sebagai urusan domestik. Pelaku kekerasan tak dapat dijangkau,” tulis Juneman melalui surel saat dihubungi Antara.

Ketika itu terjadi, rumah tangga jadi tak seimbang dan perlu upaya hukum untuk menjamin kesejahteraan seluruh warga, baik itu perempuan maupun laki-laki.

Dalam RUU Ketahanan Keluarga, ada pasal yang mewajibkan pasangan suami istri saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain.

Keadilan apa yang ingin diukur dan dijamin untuk hal seperti itu masih jadi pertanyaan. Dia berpendapat cinta bersifat privat dan bukan masalah keadilan yang perlu diselesaikan dalam ruang publik.

Ia melanjutkan, hukum adalah alat intervensi sosial yang dimiliki oleh kekuasaan sehingga penting untuk menjamin proses pembuatan hukum benar-benar adil bagi publik.

Pembuat hukum harus bebas kepentingan dan punya argumen ilmiah serta transparan dalam menghadirkan setiap pasal dan ayat dalam UU.

“Menurut hemat saya, apabila kedua kondisi di atas tidak terpenuhi —pertama, kualitas keadilan yang diinginkan meningkat oleh publik; kedua, evidence/research-based policy— tidak perlu dipaksakan diadakan hukum.”

Jika hukum yang dibuat belum bisa mengakomodasi ragam kemungkinan praktik di lapangan, dikhawatirkan yang terwujud justru kekacauan pada tingkat psikologis dan sosial.

Misalnya, dalam RUU Ketahanan Keluarga terdapat daftar pembagian kewajiban istri dan suami yang kaku. Padahal, dalam kenyataannya bisa saja ada pertukaran tugas di mana istri yang memberikan keperluan hidup berumah tangga, sementara suami mengatur urusan rumah tangga.

“Ragam kemungkinan yang tidak terantisipasi dengan baik ini, jika memiliki implikasi sanksi pidana, akan membuat kehidupan sosial menjadi lebih rumit lagi. UU menjadi sangat berjarak dengan kenyataan sosial.”

Selain itu, akan ada banyak kejadian saling lapor. Sepanjang proses hukum, bisa muncul penderitaan psikologis maupun sosial.

Oleh karena itu, bila norma ingin dimasukkan ke dalam Undang Undang, perlu dipastikan UU tersebut sanggup mengakomodasi norma-norma etis dalam bangsa plural, serta punya mekanisme menjamin pemulihan harmoni sosial sesegera mungkin, papar dia.

Dia menambahkan, sebaiknya tak ada hukum yang tidak perlu dan membuat kehidupan masyarakat jadi kaku karena dapat membuat manusia mengingkari kemanusiannya.

“Manusia adalah makhluk yang bermain (homo ludens). Manusia bermain termasuk dengan kehidupan sosial-budayanya, justru untuk meningkatkan kualitas hidupnya, dan manusia menginsafi berbagai “aturan main” dalam batas-batas sosial-budayanya itu.” (Ant)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home