Loading...
HAM
Penulis: Endang Saputra 07:57 WIB | Sabtu, 17 September 2016

Satgas Perlindungan Anak Minta Negara Jamin Kehidupan Anak Eks Gafatar

Eksekutif Koordinator Satgas Perlindungan Anak (PA), Ilma Sovriyanti . (Foto: Endang Saputra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Eksekutif Koordinator Satgas Perlindungan Anak (PA), Ilma Sovriyanti, mengatakan keberadaan anak yang sedang tumbuh dan berkembang harus mendapatkan jaminan dan perlindungan dari negara, tak terkecuali anak-anak eks Gafatar.

Menurut Ilma, amanat itu juga termaktub dalam Human Rights Reference yang menyebutkan anak sebagai kelompok rentan. Pasal 5 ayat (3) Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menyatakan bahwa “setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”.

“Indonesia sebagai negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak, memilki kewajiban menerapkan empat prinsip umum yang menjadi dasar dan acuan negara saat melakukan kewajibannya memenuhi, menghormati, dan melindungi hak-hak anak,” kata Ilma di Kantor Komnas Perempuan Jakarta Pusat, hari Jumat (16/9) sore.

Prinsip-prinsip umum itu meliputi Prinsip Non-diskriminasi, prinsip kepentingan terbaik bagi anak, prinsip keberlangsungan hidup dan perkembangan, dan prinsip penghargaan terhadap pendapat anak. Terlebih, setiap terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang menimpa sekelompok masyarakat, dapat dipastikan pelanggaran HAM tersebut juga menimpa anak-anak.

Demikian pula jika terjadi tindakan diskriminatif yang menimpa sekelompok masyarakat, dipastikan anak akan mengalami hal yang serupa. Namun rentanitas penderitaan korban diskriminasi tersebut akan lebih diderita oleh anak-anak.

“Karena bisa saja terjadi dalam pada setiap kelompok yang mengalami diskriminasi, anak juga menjadi korban tindak diskriminatif oleh anggota kelompok tersebut,” kata dia.

Menurut Ilma, situasi itu terjadi karena perlindungan dan pemenuhan hak asasi anak bergantung pada lingkaran-lingkaran di luar diri anak sebagai  lingkungan sosiologis dan sekaligus pihak-pihak tempat anak tersebut menggantungkan hidup dan kehidupannya. Namun, dengan banyaknya kasus yang mengancam hak-hak anak terjadi di Indonesia, pemerintah hanya diam dan membiarkan. Hal itu membuktikan Pemerintah abai melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

Keberadaan anak-anak merupakan mayoritas di negeri ini. Karena itu, menurut Ilma, diperlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya.

Satgas PA, kata Ilma, mencatat hak asasi anak belum sepenuhnya terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya. Berbagai bukti empiris menunjukkan masih dijumpai anak-anak yang mendapat perlakuan yang belum sesuai dengan harapan. Kendalanya antara lain, kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah, belum terlaksananya sosialisasi dengan baik, dan kemiskinan yang masih dialami masyarakat.

Padahal, posisi anak dalam Undang-Undang Dasar 1945, terdapat dalam Pasal 28 B ayat (2), yaitu setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Mereka juga berhak mendapat pendidikan sebagai bahasa peradaban paling fundamental untuk menjadikan tata dunia lebih baik.

“Pendidikan adalah hak asasi yang tidak mungkin disangkal. Penyangkalan adalah pengingkaran atas kemanusiaan itu sendiri. Hak pendidikan ini melekat pada semua orang, membawa harapan bagi anak-anak, masa depan bangsa dan bahkan hak universal seluruh umat manusia,” kata dia.

John Stuart Mill dalam karyanya, Principles of Political Economy and Liberty, mengemukakan pendidikan disadari sangat dibutuhkan setiap anak sebagai bekal kehidupannya kelak, maka orang tua mempunyai kewajiban menyiapkan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan anaknya tersebut. Karena itu, memberikan pendidikan yang layak sudah seharusnya menjadi kewajiban yang berlipat ganda bagi sang orang tua, baik itu terhadap anak-anaknya maupun terhadap masyarakat secara keseluruhan.

Hal yang dialami oleh kondisi anak-anak yang memiliki orang tua terstigma, mendapat tantangan berat dalam hubungan sosial kemasyarakatan salah satu yang dihadapi adalah fasilitas pendidikan. Karena orang tua terstigma, anak pun menanggung berat beban sosial sehingga banyak penolakan dari program sosial pemerintah juga sekaligus mencabut hak dalam pemenuhan hak-hak dasarnya.

Selain itu, akses untuk mendapatkan pendidikan sering kali mengalami hambatan. Hal ini dialami dengan alasan demi keamanan, penolakan di lingkungan sosial oleh kelompok mayoritas, menerima perlakuan kekerasan sehingga anak memilih untuk keluar dari lingkungan tersebut.

“Sehingga anak-anak ini mendapat pengasuhan dan didikan dari keluarga terutama orang tua dengan memerankan perlindungan anak," katanya.

Sebagaimana yang dimaksud pendidikan wajib diberikan orang tua kepada anaknya. Maka setiap orang tua dalam situasi tersebut akan melakukan perlindungan untuk anak-anaknya. Seharusnya negara menghormati hal tersebut di atas, dengan landasan sebagai hak-hak yang dimiliki anak.

Sebagai manusia, Ilma mengatakan, anak-anak juga mempunyai hak asasi yang harus dihormati oleh orang dewasa. Hak-hak yang dimiliki anak tersebut di antaranya: hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Demikian juga hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan kepribadian dan bakat.

Secara khusus pengembangan kepribadian terkait dengan pendidikan agama, pendidikan moral atau pendidikan kewarganegaraan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan pembelajaran di sekolah masih memiliki kelemahan yang amat mendasar. Anak-anak lebih banyak memperoleh pembelajaran dalam ranah kognitif tentang agama, moral dan kewarganegaraan dengan cara menghapalkan, ketimbang dengan memperoleh pengalaman efektif tentang nilai-nilai yang membentuk kepribadian anak.

Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik Pasal 18 pada Poin 4 mengatakan, Negara pihak dalam kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinannya.

Sementara, itu anak-anak eks Gafatar telantar dari pendidikananya. Padahal untuk jangka panjang, ini berakibat fatal. Karenanya, koalisi advokasi hak anak Indonesia, meminta agar semua elemen menghormati anak akibat orang-orang yang berstigma.

“Berikan akses untuk anak. dalam penanganan masalah anak, harus terpisah dari kepentingan-kepentingan orang dewasa," katanya.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home