Loading...
RELIGI
Penulis: Reporter Satuharapan 12:42 WIB | Selasa, 24 November 2015

Sejarah Kekristenan di Aceh

Asfinawati (kanan) saat memberi keterangan pers di Kantor LBH, Jakarta, hari Jumat (27/2/15), mendesak Bareskrim Polri mengadakan gelar perkara khusus terhadap kasus yang dituduhkan kepada Wakil Ketua nonaktif KPK Bambang Widjojanto. Asfinawati adalah tim pengacara Bambang Widjojanto. (Foto: Antara/Ismar Patrizki)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Penginjilan di Provinsi Aceh terjadi pada Tahun 1930, ratusan anggota masyarakat yang sebagian besar beragama Kristen dari Sumatera Utara dan Jawa,  melakukan migrasi untuk bekerja di PT Socfindo Lae Butar yang berada di Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Selatan.

Hal ini dikutip dari Pendapat Hukum (Legal Opinion) Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Asfinawati, yang diterima satuharapan.com hari Rabu (18/11).

Dia menjelaskan migrasi besaran-besaran yang terjadi dilihat oleh para penginjil dari Desa Salak Pakpak Bharat. Salah satunya, Evangelis I.W. Banurea, yang  melakukan penginjilan dengan menerobos hutan ke daerah Kuta Kerangan yang penduduknya masih menganut animisme.

Penginjilan tersebut diterima dengan sukacita oleh masyarakat dan menjadi agama baru bagi mereka.

"Di tahun 1932 evagelis melakukan kerja sama dengan PT Socfindo Lae Butar mendirikan gereja, kemudian satu demi satu desa-desa yang menganut animisme itu dikunjungi dan terbentuklah gereja-gereja. Pasca pendirian gereja, toleransi terjadi hingga tahun 1960 yang dilakukan oleh Gereja Kuta Kerangan. Selain itu seorang haji yang merupakan anggota masyarakat Aceh membangun beberapa gereja yang terbuat dari kayu di daerah tersebut," demikian antara lain dilaporkan dalam Pendapat Hukum itu.

Disebutkan pula bahwa "seorang raja beragama Islam dari desa Lipat Kajang, yang merupakan desa terdekat, setiap tahun baru 1 Januari mengunjungi gereja dan menyampaikan salam bagi orang Kristen agar hidup rukun dan bekerja keras."

Dia juga menjelaskan bahwa camat Simpang Kanan mengeluarkan surat tentang batas Kabupaten Tapanuli dan Provinsi Aceh. Sebelumnya,Domar Tumanggor, salah seorang penduduk, diminta untuk membantu membawa daerah dan warga masyarakat -- mulai dari Sikoran, Tembiski, Simergarap, Lae Mbalno, La Gambir dan sekitarnya -- untuk masuk ke dalam pemerintahan Aceh.

Dalam dokumen tersebut juga terdapat 3 janji camat Simpang Kanan. Dalam dokumen tersebut, yang aslinya masih menggunakan ejaan Bahasa Indonesia lama, dikatakan sebagai berikut: "Mengenai tanah milik adat tetap menjadi hak milik perorangan maupun bersama-sama dari masyarakat adat setempat. Mengenai anggota masyarakat banyak yang beragama Kristen itu tidaklah menjadi masalah utama karena di Simpang Kanan juga masyarakatnya banyak yang beragama Kristen, yang perlu, dapat menghargai agama Islam, adat istiadat kebiasaan setempat tetap dijalankan sebagai mestinya. Pemerintah Aceh dan masyarakatnya tetap menghormati dan menghargai adat setempat, karena Aceh pun sifatnya menegakkan adat yang tinggi dan kuat, serta menghargai adat orang lain di sekitarnya." (bob)

Editor : Eben E. Siadari

Ikuti berita kami di Facebook


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home