Loading...
DUNIA
Penulis: Dewasasri M Wardani 01:00 WIB | Kamis, 31 Oktober 2019

Sekjen PBB: Ogata Merupakan Panutan Bagi Kemanusiaan

Sadako Ogata Komisioner Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi disambut oleh para pengungsi Rwanda di Kongo pada Februari 1995. (Foto: japantimes.co.jp)

NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Sekjen PBB Antonio Guterres, mengeluarkan sebuah pernyataan atas meninggalnya mantan Komisioner Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) Sadako Ogata.

Pejabat pemerintah Jepang mengatakan, menurut Japan Times, Ogata meninggal  dalam usia 92 tahun, pada Selasa 22 Oktober 2019, dan pemakamannya telah dilakukan  di sebuah gereja di Tokyo. Penyebab kematiannya tidak diketahui.

Sekjen PBB mengatakan, ia sangat sedih dengan kematian Ogata dan menyebutnya sebagai seorang yang memiliki rasa kemanusiaan serta merupakan panutan bagi orang-orang di seluruh dunia.

Ia mengatakan, Sadako Ogata menetapkan standar untuk membantu para pengungsi: memiliki prinsip, berbelas kasih dan efektif. Gutteres menambahkan Ogata tak kenal rasa takut ketika mengadvokasi orang-orang, melakukan aksi kemanusiaan dan mengeluarkan solusi politis.

Gutteres mengatakan, bahwa Ogata merupakan perempuan pertama yang menjabat sebagai Komisioner Tinggi untuk Urusan Pengungsi, dan merupakan pelopor dalam menyoroti tidak hanya dampak dari kekerasan terhadap perempuan,  tetapi juga melibatkan peranan perempuan dalam solusinya. Kontribusinya berlanjut terus setelah Ogata menyelesaikan tugas sebagai Komisioner Tinggi, terutama dalam menyampaikan konsep mengenai keselamatan manusia.

Profil Sadako Ogata.

Ogata,  lahir di Tokyo pada 1927 sebagai cicit mantan perdana menteri Jepang Tsuyoshi Inukai. Ia menghabiskan masa kecilnya di luar negeri karena ayahnya adalah diplomat.

Dia melanjutkan untuk tinggal dan belajar di luar negeri, memperoleh gelar master dari Universitas Georgetown di Washington DC, dan doktor dari Universitas California di Berkeley.

Sebelum bergabung dengan PBB, ia adalah seorang akademisi melayani sebagai dekan fakultas studi asing di Universitas Sophia di Tokyo pada tahun 1989, di mana ia telah menjadi profesor sejak 1980.

Pada tahun 1991, ia menjadi wanita Jepang pertama, dan akademisi pertama yang menjabat sebagai Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).

Dalam beberapa minggu setelah memulai pekerjaannya, dia dihadapkan dengan salah satu krisis terbesar pada 1990-an, di mana jutaan pengungsi Kurdi telah melarikan diri ke Iran setelah Perang Teluk.

Dalam bukunya, The Turbulent Decade Confronting the Refugee Crises of the 1990s, dia menggambarkan tugasnya di PBB sebagai periode krisis kemanusiaan yang konstan.

"UNHCR bekerja seperti pasukan pemadam kebakaran di seluruh benua di dunia," tulisnya.

Dia sangat dihormati oleh seluruh staf PBB dan para pemimpin dunia, dan digambarkan oleh rekan-rekannya sebagai "raksasa lima kaki" karena keterampilan negosiasi yang tangguh dan kemampuannya untuk menghadapi faksi-faksi yang bermusuhan.

"Kekhawatiran saya selalu terpusat pada penyediaan keamanan bagi para pengungsi, dan memberi mereka kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih bahagia," katanya.

"Dia akan digambarkan sebagai orang yang peduli," Johan Cels, seorang staf UNHCR kepada Japan Times. "Dia pertama-tama akan mendengarkan suara para pengungsi dan kemudian bernegosiasi dengan para pemimpin politik lokal."

Dari 2003 hingga 2012, Ogata menjabat sebagai Presiden Agensi Kooperasi Internasional Jepang, yang mengawasi upaya untuk memberikan bantuan kepada pengungsi di negara-negara berkembang.

"Saya sering ditanya dari mana saya mendapatkan energi saya," katanya dalam sebuah artikel di tahun 2015.

"Saya sering memikirkan semua pengungsi yang saya temui di kamp-kamp, ​​di desa-desa, di pusat-pusat penerimaan, di kota-kota kumuh.

"Saya percaya bahwa apa yang membuat saya terus maju adalah,  keyakinan bahwa upaya kolektif kita dapat mengubah teror dan rasa sakit di pengungsian, menjadi kekuatan dan dan kesatuan keluarga dan teman-teman." (nhk.or.jp/bbc.com)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home