Sembilan Anak Timor Leste Pulang ke Tanah Kelahiran Mereka
DILLI, SATUHARAPAN.COM - Moses Xavier akhirnya pulang ke Timor Leste setelah 36 tahun. Dengan emosi yang meluap ia memeluk erat hampir semua orang yang menyapanya.
Moses Xavier telah lama tidak bertemu kakaknya. Ia dengan spontan mencari bekas luka di kaki yang ia ingat dulu pernah terluka oleh bom saat konflik. “Kami bisa hidup lagi,” ia merenungkan, “bisa melihat dan menginjak bumi tanah kelahiran kami sendiri.”
Selama 3 hingga 8 Desember 2018, Asia Justice and Rights (AJAR) dan Kelompok Kerja dari dua negara mempertemukan kembali sembilan anak yang diambil paksa dari keluarga mereka di Timor Leste. Anak-anak itu sekarang telah dewasa.
Mereka diambil secara paksa dari keluarga mereka dan dibawa ke Indonesia. Kebanyakan dilakukan militer Indonesia, organisasi keagamaan, dan amal, selama konflik pada masa lalu. Dalam rilisnya, disebutkan AJAR telah mempertemukan kembali anak-anak itu dengan keluarga mereka di Timor Leste sejak 2013.
Direktur AJAR Timor Leste, José Luis de Oliveira, menjelaskan, “Reuni ini adalah hasil dari pencarian panjang anak-anak yang hilang di Indonesia serta keluarga mereka di Timor Leste. Pertemuan keluarga ini merupakan harapan panjang yang akhirnya dapat terwujud. Kedua negara harus mendukung penuh upaya yang telah dimulai masyarakat sipil. Pemerintah Indonesia dan Timor Leste harus konsisten untuk menjalankan rekomendasi laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) di tahun 2008. Terutama membentuk Komisi Orang Hilang sebagai wujud pemenuhan hak atas kebenaran bagi anak-anak yang dipisahkan secara paksa."
Perwakilan dari kedua pemerintah hadir dalam menyambut anak-anak itu di kantor Centro Nacional Chega! (CNC), sebuah lembaga yang memiliki mandat untuk mengimplementasikan rekomendasi dari Komisi Kebenaran Timor-Leste (CAVR). Direktur CNC, Hugo Fernandez, menyatakan ini “sebagai momen bersejarah”.
Lanjutnya, ”CNC memiliki kewajiban untuk melacak keberadaan anak-anak Timor yang terpisah dan menyatukan kembali dengan keluarga mereka.”
Minister Counsellor Kedutaan Besar Indonesia di Timor-Leste, Widoratno Rahendra Djaya, lebih lanjut menekankan, “Intinya adalah upaya hak asasi manusia, bukan politik, sehingga ada upaya utuh dua pemerintah pascakonflik tempo hari, sebagai negara tetangga. Harus saling berhubungan baik.”
Dalam waktu dekat, Timor-Leste akan memperingati 20 tahun referendum 1999, Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste memiliki tanggung jawab mendesak untuk mengambil tindakan yang lebih konkret dalam mengatasi pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, serta untuk menyatakan komitmen mereka secara jelas untuk mencegah keberulangan terjadi.
AJAR dan kelompok kerja meminta pemerintah dari kedua negara untuk mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi kedua komisi kebenaran, CAVR dan KKP, terkait dengan situasi anak-anak yang diambil paksa.
Editor : Sotyati
Bangladesh Minta Interpol Bantu Tangkap Mantan PM Sheikh Has...
DHAKA, SATUHARAPAN.COM-Sebuah pengadilan khusus di Bangladesh pada hari Selasa (12/11) meminta organ...