Loading...
INDONESIA
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 17:41 WIB | Selasa, 14 Juni 2016

Setara: Adakah Perda Intoleran dan Diskriminatif Dibatalkan?

Ilustrasi. Setara: Adakah Perda Intoleran dan Diskriminatif Dibatalkan? (Foto: setarainstitute.blogspot)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan bahwa Kemendagri telah membatalkan 3.143 peraturan daerah (Perda) yang bermasalah. Namun, Setara Institute menilai pembatalan  hanya berfokus pada perda-perda yang berhubungan dengan pajak, retribusi, dan aturan lain yang pada intinya melemahkan daya saing dan memperumit birokrasi bisnis.

Sementara itu, perda-perda yang diskriminatif dan intoleran atas dasar agama, keyakinan, peran jender, dan diskriminatif terhadap perempuan luput dari perhatian Kemendagri.

“Adakah perda intoleran dan diskriminatif dibatalkan? Jikapun Kemendagri pada bulan Mei 2015 mengklaim membatalkan perda tentang larangan keluar malam bagi perempuan Aceh di atas pukul 23.00, tapi pada faktanya, ketentuan tersebut tidak diatur dalam perda Aceh (qanun), melainkan Intruksi Walikota Banda Aceh Nomer 2 Tahun 2015, yang bukan merupakan obyek pembatalan,” kata Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, dalam siaran pers, hari Senin (13/6).

Sementara, lanjut dia, dalam kelompok 3.143 perda yang baru dibatalkan, Kemendagri tidak merilis detail jenis perdanya.

Jokowi menyebutkan bahwa jenis perda tersebut adalah meliputi perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi, perda yang menghambat proses perizinan dan investasi, perda yang menghambat kemudahan berusaha, dan perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

“Apakah pembatalan ini mencakup 21 perda diskriminatif yang pernah dikaji Mendagri? Atau apakah mencakup 365 perda diskriminatif yang dikaji Komnas Perempuan? Dan 53 perda diskriminatif atas dasar agama yang dicatat oleh Setara Institute?,” kata Ismail.

Besarnya jumlah perda yang dibatalkan menunjukkan bahwa kualitas legislasi daerah sangat rendah dan mekanisme preventif dalam pembentukan perda yang seharusnya dijalankan oleh Kemenkum HAM dan Kemendagri tidak berjalan optimal.

“Di tengah solidaritas dan kecaman atas dampak perda diskriminatif di Kota Serang yang menimbulkan korban, seharusnya Kemendagri lebih bergegas. Tidak hanya berorientasi pada penghapusan faktor penghambat daya saing ekonomi tapi juga penghapusan pelembagaan intoleransi dan diskriminasi dalam perda-perda diskriminatif yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebab, perda-perda tersebut nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara RI 1945,” kata dia menambahkan.

Di atas semua itu, Setara Institute memandang reformasi mekanisme legislasi daerah dan mekanisme yang memungkinkan adanya konsistensi pembentukan peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi termasuk dengan konstitusi dan Pancasila merupakan kebutuhan nyata dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia.

Pembatalan sebanyak 3.143 perda memecahkan rekor praktik pembatalan perda yang sejak diberlakukannya otonomi daerah terus berlangsung.

Sebelumnya, dari tahun 2002-2009 sebanyak 2.246 perda dibatalkan. Berikutnya pada tahun 2010-2014 sebanyak 1.501 perda dibatalkan. Dan pada bulan November 2015 hingga bulan Mei 2015 sebanyak 139 perda dibatalkan. Jika ditotal maka sejak tahun 2002 hingga saat ini terdapat 7.029 perda telah dibatalkan.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home