Loading...
INDONESIA
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja 20:44 WIB | Rabu, 29 April 2015

Setara: Penundaan Hukuman Mati Buktikan Buruknya Peradilan

Mobil ambulan yang membawa peti berisikan jenazah Raheem Agbaje Salami meninggalkan dermaga penyeberangan Wijaya Pura, Cilacap, Jateng, Rabu (29/4) dinihari. Eksekusi mati terhadap delapan terpidana mati dilakukan pada pukul 00.35 WIB, dengan menunda pelaksanaan eksekusi terhadap mary Jane Veloso. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Lembaga pemerhati demokrasi dan perdamaian Setara Institute menyatakan penundaan eksekusi hukuman mati terhadap terpidana Mary Jane Veloso, membuktikan buruknya sistem peradilan di Tanah Air.

"Penundaan eksekusi Mary Jane patut diapresiasi. Tetapi perubahan sikap itu mengirimkan pesan pengakuan bahwa peradilan Indonesia masih buruk dan tidak adil, memenuhi standar peradilan sebagaimana ditetapkan dalam kovenan dan konvensi internasional HAM," kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi di Jakarta, Rabu (29/4).

Dia menilai penundaan eksekusi mati atas Mary Jane Veloso sama sekali tidak menunjukkan pembelaan Jokowi atas kemanusiaan, yakni hak untuk hidup, karena nyatanya delapan orang lainnya tetap dieksekusi.

Dia memandang eksekusi mati gelombang II yang menyasar delapan terpidana mati merupakan kali kedua eksekusi mati pada era pemerintahan Jokowi. Artinya, kata dia, selama enam bulan menjabat 14 orang telah dibunuh oleh alat negara dengan alasan penegakan hukum dan kedaulatan hukum sebuah negeri.

"Suatu alasan yang tidak berlaku dalam konteks kemanusiaan dan hak asasi manusia yang bersifat universal. Jokowi akan terus dicatat sebagai Presiden RI yang  melanggar hak asasi manusia, karena ketidakmampuannya menghentikan praktik hukuman mati," kata dia.

Hendardi mengingatkan persoalan narkoba tidak akan selesai setelah eksekusi mati ini dijalankan. Dia menyarankan Jokowi sebaiknya berkonsentrasi memastikan bagaimana aspek pencegahan dan reformasi kepolisian dalam menangani narkoba ketimbang menumpuk daftar pelanggaran HAM. 

Menurut dia, dugaan berbagai pihak yang menggambarkan bahwa potensi kolusi aparat penegak hukum dengan isu narkoba ini harus menjadi perhatian Jokowi, karena di sana lah masalah narkoba yang sesungguhnya.

Secara pararel, Jokowi juga dipandang mesti menyusun agenda yang jelas menuju penghapusan hukuman mati baik dalam reformasi KUHP maupun produk perundang-undangan lain.

"Yakinlah, bahwa hukuman mati bukan satu-satunya cara menghentikan bahaya dan peredaran narkoba. Apalagi eksekusi mati ini sekali lagi, lekat dengan praktik politik pencitraan untuk menghimpun dukungan politik rakyat yang mulai memudar," jelas dia.

Institute for Criminal Justice Reform

Senada dengan Setara Institute, peneliti dari lembaga kajian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengatakan penundaan eksekusi mati terhadap Mary Jane menjadi bukti lemahnya hukum di Indonesia.

"Kasus yang terjadi pada Mary Jane menunjukkan secara spesifik bahwa peradilan pidana Indonesia tidak layak menerapkan hukuman mati," kata Anggara dalam keterangan tertulis di Jakarta.

Menurut ICJR, selama masa peradilan, Mary Jane tidak mendapatkan bantuan hukum yang memadai, tidak mendapatkan penerjemah yang layak, dan tidak mempertimbangkan posisi perempuan asal Filipina tersebut sebagai korban penjebakan dan perdagangan manusia.

Adanya indikasi Mary Jane merupakan korban "trafficking" karena oknum yang mengaku merekrut dan menjebak Mary Jane telah menyerahkan diri di Filipina, lanjut Anggara, merupakan "tamparan keras" terhadap sikap Mahkamah Agung (MA) yang membatasi peninjuan kembali (PK).

"Kami prihatin terhadap eksekusi mati tersebut karena hukum acara yang digunakan Indonesia dalam memproses hukum para terpidana mati tidak kuat, terutama dari `fair trial`-nya," tutur Anggara. (Ant)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home