Loading...
OPINI
Penulis: Dr. Andreas A. Yewangoe 00:00 WIB | Senin, 17 Agustus 2015

Setelah 70 Tahun Merdeka

SATUHARAPAN.COM – Setelah 70 tahun merdeka adakah kita makin matang sebagai bangsa? Adakah kita semakin dewasa di dalam menjalani hari-hari kita sebagai negara yang merdeka dan berdaulat? Adakah kita makin siuman sebagai manusia Indonesia? 

Mestinya begitu. Bukankah itu cita-cita proklamasi sebagaimana diungkapkan secara sangat khidmat dalam Pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.” Itulah alinea pertama yang sangat visioner dan sekaligus membebaskan, tidak saja secara secara fisik, melainkan juga secara mental-spiritual. Artinya, di manapun kita melihat penjajahan di atas bumi ini, mestinya kita ikut gelisah, dan kalau perlu ikut berjuang. 

Inilah juga sebuah kalimat profetis, yang menuntut adanya pembaruan setiap kali, sebagaimana dituntut oleh para nabi. Sebagai demikian, kalimat profetis ini seyogianya juga mengarah kepada diri kita sendiri. Artinya sikap introspeksi dibutuhkan setiap kali. Adakah kita benar-benar sudah dibebaskan secara mental-spiritual? Ataukah kita masih dipenjarakan di dalam cara berpikir sempit dan picik, yang masih mempersoalkan hal-hal remeh temeh, dan belum mampu berpikir mengenai hal-hal besar. 

Pertanyaan-pertanyaan ini rasanya bukan mengada-ada, karena 70 tahun merdeka mestinya telah membuat kita “tinggal landas”, bukan saja dalam hal-hal yang bersifat fisik, melainkan juga dalam hal-hal agung bagi kemaslahatan seluruh umat manusia. Untuk menyebut sebuah contoh, sudah adakah di antara orang Indonesia yang memperoleh hadiah Nobel? Kalau kita berbicara mengenai Nobel, maka tidak bisa tidak kita harus mencatat dengan sedih, kita masih berada pada taraf tidak lebih dari sekadar konsumer ilmu dan temuan-temuan yang ditemukan orang lain. Kita belum mampu “naik kelas” ke aras penemu dan inovator. 

Bagaimana mungkin kita bisa menjadi bangsa yang inovatif dalam ilmu kalau kita masih sibuk dengan ijazah dan gelar-gelar palsu, yang tanpa malu-malu kita sandang. Ini lalu menjadi bahan tertawaan setiap orang yang sadar mengenai martabat ilmuwan. Tetapi kalau kesadaran itu tidak ada, kita tidak akan pernah mampu merasa malu. Bahkan pun kalau orang menertawakan di depan kita, kita tetap “bangga” saja. Bahkan makin getol menambah deretan gelar-gelar palsu, baik di depan maupun di belakang nama kita.  

Itu juga yang terlihat ketika para koruptor di tangkap, mereka bukannya merasa malu, malah dengan bangganya mengacungkan huruf V di depan kamera televisi. Lalu ketika mereka bebas dari hukuman, yang biasanya tidak terlalu lama, mereka disambut bak pahlawan. Kita tidak akan pernah menjadi bangsa yang inovatif, apabila biaya-biaya untuk melakukan riset dialokasikan paling kecil di antara biaya-biaya lainnya, itu pun tidak luput dari manipulasi.

Dalam kehidupan ekonomi, kita masih terpasung dalam penjara neo-kapitalisme dan liberalisme, yang tangan-tangannya laksana oktopus menguasai segala sesuatu yang menjadi hajat hidup orang banyak. Sampai sekarang kita masih menghadapi mafia-mafia dalam segala bidang. Mahakuasa betul mafia-mafia ini. Semua ini merupakan tantangan besar bagi Presiden Jokowi yang berjanji mewujudkan Trisakti dan Nawacita. 

Saya melihat, selama kita belum mampu menahan diri dari gaya hidup mewah dan konsumptif, itupun dinikmati hanya oleh sebagian kecil masyarakat, agaknya sulit kita bergerak maju ke depan. Kalau sebagian besar rakyat hanya menikmati sebagian kecil kekayaan yang disediakan negeri ini, maka kita menghadapi persoalan besar di bidang keadilan sosial, yang imbasnya akan kemana-mana: politik, sosial, agama, dan seterusnya. Di bidang hukum pun kita masih belum keluar dari karut-marut, “tajam ke bawah tumpul ke atas”. Hukum dipakai sebagai pelampiasan dendam politik, bukan demi penegakan keadilan. Perbuatan inipun dilakukan tanpa malu-malu, seakan-akan rakyat Indonesia itu begitu bodohnya sehingga tidak mampu melihat “kiat-kiat buruk” dari penegak hukum. Kalau ini terus dijalankan, maka kita akan terbelit dalam “rancune politiek”, politik balas dendam, yang telah berkali-kali saya ingatkan.

Bagaimana di dalam bidang agama? Adakah agama membebaskan, ataukah malah makin memperbudak kita? Sejatinya agama membebaskan, dengan menampilkan nilai-nilai yang merawat kemanusiaan dan kebersamaan. Dalam praktiknya tidak selalu demikian. Kita masih terbelit dalam formalisme, legalisme, dan dogmatisme. Kita masih dikuasai oleh sikap “benar sendiri” sekan-akan kita, karena menyeru “Tuhan-Tuhan” sudah memegang “Kebenaran” di dalam tangan kita sendiri. Ketika anggapan ini menguasai kita, maka dengan sangat mudah kita melihat kekurangan orang lain, bahkan tanpa malu-malu kita “mengkafirkan” mereka. 

Ada ucapan Yesus di dalam Injil: “Hari Sabat diciptakan untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat.” Artinya, andaikata diperhadap-mukakan dengan pilihan, “memuliakan hari Sabat” (yang bersifat formal), dan “menolong manusia yang sedang menderita”, maka mestinya kita memilih yang terakhir ini. Sikap formalistis, dogmatistis dan legalistis ini ditolak oleh Yesus sebagai perbuatan munafik. Yesus pernah ditegur oleh kaum Farisi dan ahli Taurat karena menyembuhkan seseorang pada hari Sabat. Tetapi Yesus kembali menengking mereka dengan menunjukkan kemunafikan mereka, sebab di dalam kenyataannya mereka juga akan menolong keledai mereka yang jatuh ke dalam sumur. 

70 tahun merdeka, mestinya makin membuat kita dewasa dalam hal beragama. Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog abad ke-20 yang dihukum mati oleh Hitler karena suara profetisnya yang melampaui masanya, pernah berkata mengenai “religionless society”, artinya sebuah masyarakat tanpa nilai-nilai agama yang mengungkung. Bonhoeffer bukan seorang ateis. Ia malah dihukum mati karena iman percayanya kepada Tuhan. Maka ia tidak bermaksud menafikan keberadaan Allah. Namun demikian, Allah yang  diinterpretasi oleh agama (dalam hal ini Kristen), yang menempatkan manusia pada perbudakan baru, tidak dibutuhkan oleh masyarakat yang sedang menjelajahi masa depan yang sangat penuh dengan tantangan. Itulah dunia yang dewasa, der mondige Welt, menurut istilah Bonhoeffer. 

Tulisan ini sepertinya sangat pesimis dan bersifat mengecam. Tetapi saya dengan sengaja melakukan itu, supaya kita makin siuman dan bangkit dari keterpurukan kita. Selamat merayakan Proklamasi ke-70. Dirgahayu Indonesia! Merdeka!

Penulis adalah mantan Ketum PGI (2004-2014), Ketua Majelis Pertimbangan PGI (2014-2019), Pendeta (Emeritus) gereja Kristen Sumba.

 

BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home