Loading...
SAINS
Penulis: Reporter Satuharapan 11:38 WIB | Rabu, 30 Mei 2018

Siswa Pemenang Lomba Karya Berkesempatan Tampil di Intel ISEF di AS

Ilustrasi. Latifah Maratun Sholikhah dari SMA Negeri 1 Teras, Boyolali, Jawa Tengah, pada tahun 2017 meraih penghargaan di ajang kompetisi ilmiah internasional Intel International Science and Engineering Fair (Intel ISEF) di Los Angeles, California, Amerika Serikat. Latifah adalah juara I LKIR LIPI kategori ilmu sosial pada 2017, melalui karya penelitian “Anak-Anak yang Terabaikan: Studi Kasus Sikap Masyarakat terhadap Anak Penderita HIV/AIDS di Enam Kecamatan di Surakarta”. Selain penghargaan utama, Latifah juga memperoleh penghargaan sebagai Honorable Mentions dari American Physiological Association. (Dok satuharapan.com/lipi.go.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sebanyak 18 pelajar Indonesia pemenang  Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, berkesempatan terbang ke Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat pada 13-18 Mei lalu. Mereka unjuk kemampuan di ajang Intel International Science and Engineering Fair (Intel ISEF) 2018.

Sepekan berkompetisi bersama sekitar 1.800 pelajar seluruh dunia, mereka tiba kembali di Indonesia pada Selasa (22/5) malam lalu. Laman resmi LIPI, lipi.go.id, membagikan pengalaman mereka.

Kesempatan berkompetisi di kompetisi sains terbesar di dunia menjadi pengalaman berharga bagi semua peserta. Bahkan bagi beberapa di antara mereka, Intel ISEF adalah momen pertama pergi ke luar negeri. “Kami tidak bisa membayangkan bisa ke luar negeri dan pergi ke Amerika Serikat. Proposal penelitian lolos verifikasi saja kami sudah sangat bersyukur,” ungkap Putri Azizah Malik, pelajar SMAN 2 Purbalingga.

Bersama rekannya, Tara Belinda, mereka menjadi pemenang ketiga LKIR LIPI tahun 2017 bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan dengan penelitian berjudul “Pamong Praja (Papa Momong Mama Kerja): Studi Kasus tentang Pola Asuh Bapak kepada Anak yang Ditinggal Kerja Ibu”.

Keduanya mengungkapkan, Intel ISEF mampu menempa diri mereka untuk berkompetisi di tingkat yang lebih tinggi lagi. “Kami bertemu pelajar-pelajar seusia kami yang punya proyek penelitian melampaui usianya. Membuat kami belajar banyak untuk mengembangkan proyek penelitian, juga menempa mental untuk berkompetisi secara ketat,” Tara menjelaskan.

Mereka tengah merencanakan untuk melanjutkan studi di bidang psikologi dan hubungan internasional. “Kami sedang mendaftar di Universitas Diponegoro, Semarang. Rencananya kami akan memperdalam lagi penelitian ini,” ujar Tara.

 

Momen Seru

Dengan peserta yang berasal dari 81 negara, Intel ISEF bukan hanya menjadi ajang kompetisi sains semata. Ajang itu juga mampu menjadi melting pot bagi pelajar-pelajar cerdas di seluruh dunia.

“Ada agenda bernama Pin Exchange, seluruh peserta dikumpulkan di satu auditorium besar untuk saling bertukar pin,” kata Christopher Mulya, pelajar SMA Santa Laurensia, Tangerang Selatan. Menurutnya, momen bertukar pin ini menjadi tempat untuk bertukar pikiran mengenai proyek penelitian. “Kami berkumpul tidak hanya bertukar pin, tapi juga ngobrol  tentang proyek masing-masing dan akhirnya jadi ajang memperluas koneksi,” ungkapnya.

Senada dengan Christopher, Devina Grisella yang menjadi rekan penelitiannya dalam proyek berjudul “Pengembangan Butiran Cangkang Kerang Hijau (Perma viridis) Tersalut Bahan Aktif dari Kayu Bakau (Rhizopora mucronata ) sebagai Koagulan Alami Limbah Kation dan Anion” itu, menjelaskan kesempatan tersebut tidak bisa didapatkan jika hanya berkompetisi di ajang skala lokal saja. “Kami bertemu peserta dari negara maju. Belajar dan mendapat jaringan baru. Nggak bisa didapatkan kalau berkompetisi di negara sendiri saja,” ujarnya.

Keduanya berkesempatan melanjutkan studi di University of British Columbia di Kanada. “Kami ingin mengembangkan riset sehingga bisa diaplikasikan dan bermanfaat buat masyarakat,” kata Devina.

Impian Membangun Daerah

Mengikuti kompetisi berskala global menjadi bekal penting bagi Zahira Amalia dan Nur Bella Turcica Anibah dari SMAN 2 Bengkulu Selatan. “Intel ISEF menjadi modal penting bagi kami untuk memikirkan apa yang bisa kami perbuat untuk membangun Bengkulu,” ujar Zahira.

Keduanya mengungkapkan, kondisi Bengkulu saat ini masih tertinggal dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain. Bahkan di Sumatera, merujuk pada data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2017, Bengkulu menjadi provinsi termiskin di Sumatera dengan angka kemiskinan mencapai 17,03 persen dan 653 desa dalam status tertinggal.

“Bertemu dengan teman-teman sebaya dari seluruh dunia membuat kami ingin  mengembangkan hasil riset supaya dapat diaplikasikan dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat Bengkulu,” kata Bella.

Mereka adalah pemenang pertama kategori Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan di LKIR 2017. Karya penelitiannya berjudul “Hubungan Dukungan Sosial Terhadap Kondisi Psikologis dan Kualitas Hidup pada Cancer Survivors di Bengkulu Selatan”.

Mereka memang belum berhasil mendapatkan penghargaan. Namun setidaknya, mereka memberi harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik lagi. (lipi.go.id)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home