Loading...
HAM
Penulis: Dewasasri M Wardani 18:20 WIB | Senin, 11 November 2019

Soal Perkebunan, Masyarakat Adat Papua Mengadu ke Jakarta

Perwakilan masyarakat adat dari sejumlah wilayah di Papua saat menggelar konferensi pers di kantor Amnesty International Indonesia di Jakarta, Jumat (8/11/2019). (Foto: Voaindonesia.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sekitar 30 orang yang mewakili masyarakat adat dari berbagai wilayah di Papua mengadu ke Jakarta, karena merasa dirugikan dengan adanya usaha perkebunan di wilayah mereka.

Tiga puluhan orang yang menjadi perwakilan masyarakat adat mengadu ke sejumlah lembaga negara selama sepekan di Jakarta. Mereka berasal dari sejumlah wilayah yakni Kabupaten Merauke, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Tambrauw, dan Kabupaten Teluk Wondama.

Perwakilan Suku Malind, Distrik Ngguti, Merauke, Elisabet Mahuse Ndiken mengatakan, hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka tergusur, ketika ada perusahaan perkebunan kelapa sawit masuk ke wilayah mereka. Selain itu, kata dia, anak-anak mereka yang sudah sarjana juga tidak dapat bekerja di perusahaan perkebunan tersebut.

"Yang dulu kami punya hutan, segala macam sudah tersedia di hutan. Karena kami masyarakat adat, kami tidak tinggal di rumah. Kehidupan kami sehari-hari di hutan. Kami mencari makan dan bisa berburu semua ada di hutan," kata Elisabet di Jakarta, Jumat (8/11/2019).​

Perkebunan Kelapa Sawit Juga Picu Konflik Horizontal Antarmarga

Elisabet menambahkan, keberadaan perkebunan kelapa sawit di Merauke juga membuat konflik horizontal antarmarga di sana. Konflik tersebut muncul dikarenakan perusahaan hanya meminta izin pembukaan usaha perkebunan kepada beberapa marga saja.

Akibatnya antara marga yang menolak perkebunan dengan marga yang sudah memberikan izin terjadi perselisihan. Hal tersebut seperti yang disampaikan perwakilan Suku Awyu, Distrik Fofi, Boven Digoel, Frangky Hendrikus Woro.

"Perusahaan mulai masuk itu dengan cara manipulasi data atau mengatasnamakan marga-marga tertentu, tanpa sepengetahuan marga-marga yang lain. Dan menandatangani surat persetujuan hak ulayat adat untuk dimiliki areal perusahaan," kata Frangky.

Frangky menambahkan, pihaknya sudah menyampaikan surat penolakan terhadap perusahaan perkebunan di wilayahnya ke pemerintah daerah setempat. Namun, belum ada respons dari pemerintah setempat terkait aspirasi mereka.

Ia juga menuntut, pemerintah pusat agar tidak memberikan tanah-tanah masyarakat adat yang belum dikelola kepada perusahaan perkebunan. Selain itu, mereka juga meminta izin usaha perkebunan dan izin-izin usaha lainnya, seperti pembalakan kayu dan pertambangan yang sudah habis waktunya agar dikembalikan ke masyarakat adat.

Sebagian Besar Pemberian Izin Usaha Perkebunan Diberikan pada Era SBY

Sementara Direktur Yayasan Pusaka, Franky Simparante, yang mendampingi masyarakat adat, mengatakan pihaknya telah bertemu dengan sejumlah lembaga negara selama masyarakat adat Papua di Jakarta. Antara lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria, DPR, Ombudsman, dan Komnas HAM.

"Kita juga bertemu dengan KPK dari komisi pencegahan. Kami juga menyampaikan isu-isu terkait dengan dugaan korupsi dalam pemberian izin dan permasalahan tata kelola dari usaha perkebunan dan kehutanan," kata Franky.

Franky menjelaskan, pemberian izin usaha perkebunan di wilayah sebagian besar diberikan pada saat era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara sisanya diberikan pada era Presiden Joko Widodo.

Terkait aduan ini, Direktur Pengaduan Pengawasan dan Pengenaan Sanksi Administrasi Ditjen Gakkum KLHK Sugeng Priyanto mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan lintas direktorat yang menangani persoalan perkebunan di Papua. Termasuk kata dia, pihaknya juga akan mengundang pemerintah daerah untuk membahas persoalan ini. (voaindonesia.com)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home