Loading...
LAYANAN PUBLIK
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 23:23 WIB | Senin, 06 Juni 2016

Soekarwo: Rasionalisasi PNS Tak Produktif Masuk Akal

Ilustrasi. Pejabat DKI Jakarta saat dilantik oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Balai Kota DKI Jakarta. (Foto: Diah A.R)

SURABAYA, SATUHARAPAN.COM - Gubernur Jawa Timur Soekarwo menilai rencana Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) melakukan rasionalisasi terhadap pegawai negeri sipil tidak produktif merupakan sikap masuk akal dan perlu mendapat dukungan.

"Rasionalisasi terhadap PNS yang berkinerja buruk menurut saya sangat masuk akal," ujarnya kepada wartawan di Surabaya, hari Senin (6/6).

Menurut dia, PNS yang dianggap tidak produktif akan membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Pakde Karwo, sapaan akrabnya, mengaku belum mengetahui secara teknis rasionalisasi, namun jika melihat dari perkembangan di media massa tentang rencana tersebut ia mengaku setuju sebatas dilakukan terhadap yang tak produktif.

Dari perundang-undangan, kata dia, pengertian tidak produktif adalah mereka yang tak memiliki kompetensi, misalnya tenaga-tenaga administrasi yang kemudian tenaganya bisa digantikan dengan teknologi informasi.

"Sedangkan PNS produktif seperti tenaga kesehatan dan pendidikan sehingga tidak mungkin dirasionalisasi, terlebih pihaknya kini tengah mengalami kekurangan tenaga guru dan medis," ucapnya.

Sebenarnya, lanjut dia, jika wacana rasionalisasi ini benar diwujudkan maka akan menimbulkan polemik sendiri di publik.

"Dulu waktu ada pengangkatan pegawai, bagi honorer yang tidak punya kompetensi ini karena kasihan. Judulnya itu kasihan, terus diangkat. Masak mau pecat lagi," ujarnya.

DPR Tolak Rasionalisasi PNS

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy mengungkapkan 12 alasan menolak rencana Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi merumahkan satu juta Pegawai Negeri Sipil hingga 2019.

"Pertama, tidak termasuk dalam delapan agenda reformasi birokrasi seperti Manajemen Perubahan, Penataan Perundangan, Penataan dan penguatan organisasi, Penataan ketatalaksanaan, Penataan sistem manajemen SDM Aparatur, Penguatan pengawasan, Penguatan akuntabilitas kinerja, Penguatan kualitas pelayanan publik," kata dia di Jakarta, hari Senin (6/6).

Dia menjelaskan alasan kedua, terkait agenda ketiga reformasi birokrasi programnya itu adalah efisien kelembagaan dan organisasi bukan personalia.

Menurut dia, kalau soal agenda keempat programnya adalah soal penggunaan teknologi agar terjadi efisiensi, sedang agenda yang kelima lebih kepada program rekruitmen dan assesmen jabatan.

"Jadi ketiga agenda reformasi birokrasi menyangkut aparatur tersebut tidak ada yang berkenaan dengan rasionalisasi jumlah pegawai, atau PHK dini PNS. Sebagai pembuat UU ASN, tidak ada dari satu pasal ke pasal lain yang berencana untuk PHK dini PNS, apalagi dengan alasan efisiensi," ujarnya.

Ketiga, rencana PHK itu tidak pernah dipresentasikan kepada Komisi II DPR RI, sebagai sebuah rencana jangka pendek, menengah atau panjang. Dia menilai itu merupakan program dadakan padahal ada kewajiban bagi pemerintah untuk mendapatkan persetujuan DPR, jika kebijakannya menyangkut perubahan terhadap UU dan berkenaan dengan eksistensi Anggaran Negara.

"Kalau kebijakan PHK dini PNS ini hanya cantolannya peraturan menteri, tidak kuat apalagi Permen bertentangan dengan UU atau Peraturan Pemerintah, atau minimal tidak sejalan dengan peraturan perundangan tersebut," ujarnya.

Kelima, menurut dia, kebijakan pengangkatan PNS adalah kebijakan negara untuk memenuhi dua dimensi, yaitu dimensi aparatur birokrasi sebagai alat negara untuk memberikan pelayanan kepada rakyatnya dan dimensi memberikan pekerjaan dan penghidupan yang layak kepada rakyatnya.

Keenam, di dalam konstitusi Indonesia, kebijakan efisiensi tidak berdiri sendiri tetapi diikuti dengan keadilan, efisien tetapi tidak adil hanya akan mendorong menjadi negara liberal bukan negara pancasila.

"Ketujuh, pilihan PHK dini PNS seharusnya pilihan terakhir setelah pilihan yang lain dilaksanakan, bukan prioritas atas nama efisiensi. Pilihan itu baru ditempuh ketika tidak ada lagi pilihan lain," katanya.

Menurut dia, poin kedelapan, di tengah masyarakat yang sedang mengalami kesulitan hidup, PHK swasta dan pabrik-pabrik, seharusnya Pemerintah tidak melakukan hal yang sama. Hal itu akan mendorong multiplyer effect yang mengganggu stabilitas politik dan ekonomi.

"Sembilan, walaupun ada kebijakan `uang tolak` tetapi secara psikologis di PHK dini, atau tidak ada status pekerjaan jauh lebih berat bagi rakyat dibanding punya gaji kecil tetapi punya status sebagai PNS," katanya.

Ke-10, secara sosiologis kebijakan ini termasuk prematur, karena tidak memperhitungkan struktur masyarakat yang masih percaya bahwa PNS itu warga kelas satu, sehingga dampaknya akan luas dan sangat mengganggu sosiologi masyarakat.

Alasan ke-11, menurut dia, pemerintah sekarang sedang bekerja mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan memperkecil kesenjangan pendapatan, bahkan rela menganggarkan besar puluhan triliun dana desa agar memberikan kontribusi terhadap hal tersebut.

"Sebanyak 75 persen PNS itu ada di daerah, maka implikasinya akan luas secara ekonomi, sehingga akan mengganggu target pertumbuhan dan memperkecil gini ratio. Sehingga 1 juta PNS yang di-PHK dini berkenaan dengan minimal nasib 4 juta orang Indonesia," katanya.

Alasan terakhir dirinya menolak kebijakan itu, secara faktual setiap tahun rata-rata ada 120.000-an PNS yang pensiun secara otomatis, sehingga selama tiga tahun paling tidak hampir 500 ribu orang.

Menurut dia, konsisten dengan moratorium pengangkatan baru saja sudah melakukan efisiensi secara gradual tanpa harus merilis memPHK 1 juta orang yang berdampak menimbulkan kegaduhan baru.

Sebelumnya, Kemenpan-RB menyatakan rasionalisasi akan dilakukan terhadap PNS yang berkinerja buruk.

"Tidak ada rencana PHK/pemecatan/dirumahkan bagi PNS. Istilah tersebut dikembangkan oleh media. Yang benar adalah rencana rasionalisasi PNS bagi PNS yang kualifikasi dan kompetensinya rendah, serta yang kinerja dan disiplinnya buruk sehingga mengganggu pelayanan publik," ujar Kepala Biro Hukum, Komunikasi dan Informasi Publik Kemenpan-RB Herman Suryatman di Jakarta.

Ia menyampaikan Rasionalisasi PNS tersebut merupakan bagian dari program percepatan penataan PNS, sekaligus wujud konkret rencana pokok reformasi birokrasi 2015-2019 untuk birokrasi yang bersih dan akuntabel, birokrasi yang efektif dan efisien, serta memiliki pelayanan publik berkualitas.

Di sisi lain, belanja pegawai dan pensiun pada APBN dan APBD tahun 2015 mencapai Rp 707 triliun dari total belanja sebesar Rp 2.093 triliun atau 33,8 persen sehingga jumlah tersebut lebih besar dari belanja modal dan belanja barang jasa. (Ant)

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home