Studi Klaim Polusi Udara dapat Sebabkan Bipolar dan Depresi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal PLOS Biology, menunjukkan bahwa polusi udara berkontribusi terhadap perkembangan gangguan bipolar dan depresi. Temuan itu pun menambah daftar masalah kesehatan terkait dengan polusi, seperti kanker paru-paru dan stroke.
Peneliti menemukan bahwa di wilayah Amerika Serikat yang kualitas udaranya buruk, terdapat 27 persen lebih banyak kasus gangguan bipolar dan 6 persen untuk depresi. Sementara studi terpisah di London, China, dan Korea Selatan, juga menunjukkan peningkatan kasus kesehatan mental di wilayah berpolusi, seperti dilaporkan National Geographic, yang dikutip Medical Daily, pada Rabu (21/8).
Pada studi terkini, para peneliti mengumpulkan informasi dari asuransi kesehatan 151 juta orang yang melaporkan gangguan kejiwaan di AS dan Denmark. Tim juga melihat data tentang kualitas udara, air, dan tanah di setiap negara bagian AS.
"Temuan ini menambah bukti saat ini dari studi sebelumnya tentang kemungkinan hubungan antara polusi udara dan gangguan kejiwaan," kata Ioannis Bakolis, ahli epidemiologi dari King’s College London, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.
Polusi udara juga dikaitkan dengan skizofrenia. Mayoritas orang yang memiliki masalah kesehatan mental adalah penghuni wilayah dengan tingkat polusi udara yang tinggi sejak mereka masih kanak-kanak.
Para peneliti mengemukakan, kualitas udara yang buruk dapat berkontribusi terhadap gangguan mental karena peradangan pada saluran pernapasan. Peradangan seperti itu menyebar ke seluruh tubuh dan juga mempengaruhi otak.
Penyebab potensial lain adalah beberapa polutan udara dapat masuk ke otak melalui hidung dan secara langsung menyebabkan peradangan dan kerusakan, seperti diwartakan The Guardian, pada Selasa (20/8).
Diperlukan lebih banyak penelitian untuk mendukung hubungan antara polusi udara dan gangguan neurologis. Tetapi, para peneliti mengatakan upaya di masa depan mengkonfirmasi temuan mereka, komunitas medis dapat mengubah cara memperlakukan dan mencegah masalah kesehatan mental.
"Tidak seperti kecenderungan genetik, lingkungan adalah sesuatu yang dapat kita ubah," kata Andrey Rzhetsky, penulis studi dan ahli genetika di University of Chicago. (Antaranews.com)
Pidato Penerima Nobel Perdamaian: Korban Mengenang Kengerian...
OSLO, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria Jepang berusia 92 tahun yang selamat dari pengeboman atom Amerika...