Loading...
ANALISIS
Penulis: Padmono Sk. 00:00 WIB | Rabu, 18 Mei 2016

Suap, Mahar dan “Suwito” dalam “Wulang Reh”

Majunya Ahok lewat jalur non-partai disambut antusias oleh anak-anak muda. Mereka berharap, Ahok tak lagi menjadi "Suwito".

SATUHARAPAN.COM – Semakin hari semakin terkuak, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menerima suap. Entah sudah berapa puluh anggota yang harus menjadi pesakitan KPK. Terakhir Budi Supriyanto, anggota DPR dari Fraksi Golkar yang terpaksa dijemput KPK dan langsung masuk ke ruang tahanan. Semua itu adalah wakil-wakil rakyat yang dalam pemilihan umum mewakili partai politik.  

Kini ketika Basuki Tjahaja Purnama yang biasa dipanggil Ahok mencalonkan diri untuk Pilkada 2017 melalui jalur perseorangan, banyak pemimpin partai galau, merasa dilecehkan, merasa tersinggung bahkan terhina, seolah-olah kekuasaan mereka di partai tidak diakui, dan seterusnya. Lalu dimunculkan wacana memperberat syarat perseorangan untuk maju dalam pilkada. Aneh memang, tetapi itulah perilaku banyak politisi di Indonesia: kotor, jorok, dan tidak rasional!

Ketika Ahok mengemukakan alasan bahwa dia tidak punya uang untuk mahar, banyak pula pimpinan parpol yang kebakaran jenggot. Komentar mereka pun sama, parpol tidak pernah meminta mahar dari orang yang akan dicalonkan. Padahal semua tahu, untuk mendapatkan rekomendasi dari pimpinan pusat parpol yang akan digunakan untuk menjadi peserta dalam pilkada, memang dibutuhkan biaya. Bahkan ada yang berani bertanya secara terbuka: wani piro?

Biaya itu disebut mahar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah; atau disebut juga mas kawin!

Walau soal mahar itu dibantah, tetapi banyak calon peserta pilkada dari pelosok nusantara yang mengaku, untuk mendapatkan rekomendasi pimpinan pusat parpol seseorang harus membayar mahal. Itu yang disebut mahar! Bukan hanya untuk pilkada, untuk maju sebagai caleg pun banyak orang harus mengeluarkan uang mahar, dengan berbagai alasan. Namun setelah mendapatkan jabatan orang tersebut harus tetap menjalankan kebijakan partai.

Kondisi itu tidak jauh berbeda dengan sistem pemerintahan kerajaan di jaman dulu, di mana para punggawa kerajaan pada dasarnya hanyalah mengabdi pada raja atau yang dalam bahasa Jawa disebut suwito. Para wakil rakyat dan kepala daerah yang berasal dari partai politik itu pada dasarnya hanya suwito. Mereka mengabdi kepada kepentingan parpol, serta  menjalankan kebijakan partai di lembaga-lembaga perwakilan dan pemerintahan. Dalam bahasa PDIP, mereka adalah petugas partai. Itu sebabnya anak-anak muda yang menggalang dukungan bagi Ahok untuk maju dalam pilkada 2017 ingin Ahok berdiri tegak sebagai seorang pribadi pemimpin, bukan sekadar petugas partai yang suwito kepada parpol.

Celakanya, untuk menjadi petugas partai orang masih diharuskan membayar mahar,  harus mengikuti kebijakan partai dan suwito. Karena itu tidak mengherankan banyak pejabat dan wakil rakyat yang kemudian menjadi pesakitan KPK. Sebab kalau untuk memperoleh jabatan harus membayar mahar, maka yang dilakukannya ketika sudah menjadi pejabat adalah bagaimana mengembalikan uang senilai mahar yang telah dikeluarkan itu.

Gambaran tentang pejabat yang Negara yang korup itu digambarkandengan menarik dalam Serat Wulang Reh, karya Pakubuwono IV, Raja dari Kraton Surakarta Hadiningrat  (1788-1820). Dalam pupuh X (kumpulan tembang) Asmaradana ayat 17-19 dikatakan demikian:

(17) awit dadi priyayi sapa kang gawe ing sira tan eling ing wiwitane, amung weruh ing witira, dadine saking ruba. Mulane ing batingipun pengetunge lir wong dagang;

(18) mung mikir gelise mulih, rerubanira dhuk dadya, ing rina wengi ciptane kepriye lamun bisaa males sihing bendara, lungguhe lawan tinuku. Tan wurung angrusak desa;

(19) pamrihe gelise bathi, nadyan besuk pinocota picisku sok wusa mulih, kepriye lamun tataa polahe salang tunjang padha kaya wong bebruwun, tan ngetung duga prayoga”.

Terjemahan bebasnya, (17) ketika menjadi pejabat tidak ingat siapa yang mengangkatnya (memilih), tidak mau menyadari siapa dirinya sesungguhnya, dan yang diingat hanyalah, bahwa dia menjadi pejabat karena membayar, sehingga dalam hatinya selalu menghitung seperti pedagang; (18) Yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana uang yang telah dikeluarkan itu cepat lunas atau kembali dan siang malam berpikir bagaimana bisa membalas budi tuannya (pemimpin yang memberi kesempatan) karena jabatan yang disandangnya diperoleh dengan membeli. Akhirnya hanya akan merusak desa (daerahnya); (19) tujuannya segera kembali modal, sehingga nantinya kalau sudah selesai menjabat, semua modalnya sudah kembali. Karena itu selama menjabat tingkah polahnya seperti perampok, tidak pakai etika.

Gambaran mengenai pejabat seperti yang ditulis oleh Pakubuwono IV itu bisa menjadi renungan kita di jaman sekarang. Memang menjadi pejabat kerajaan adalah mengabdi kepada raja, dan menjadi pejabat Negara di jaman sekarang (seharusnya) mengabdi kepada kepentingan Negara dan rakyat!

Hal yang menarik adalah kenyataan bahwa pejabat kerajaan di jaman dulupun banyak yang memperoleh jabatannya dengan cara membeli, atau memberi suap kepada pejabat yang di atasnya. Artinya jabatan itu diperoleh dengan membeli. Karena itu setelah memperoleh jabatan, yang dipikirkan hanya bagaimana memperoleh kembali uang telah dikeluarkan sebelumnya. Dalam alam pikiran seperti itulah maka segala sesuatu dilakukan dengan transaksi.

Kenyataan seperti itu tidak berbeda dengan yang terjadi sekarang. Politik mahar semakin marak dan terbuka setelah reformasi politik. Di jaman pemerintahan Soeharto, sistem yang berlaku mirip sebuah kerajaan, memberi upeti kepada atasan. Bedanya, upeti diberikan ketika seseorang menjabat sedangkan mahar diberikan untuk meraih jabatan.

Kini kerajaan itu telah bermetamorfosa menjadi partai politik. Karena itu apabila banyak pejabat dan wakil rakyat yang korupsi, karena mereka mengejar kembalinya uang yang sudah dibayarkan sebagai mahar. Karena itu ketika menjabat “polahe salang tunjang padha kaya wong bebruwun, tan ngetung duga prayoga” (tingkah lakunya malang melintang seperti perampok tidak memperhatikan etika dan tatakrama). 

Kenyataan seperti itulah yang nampaknya mendorong anak-anak muda menyatukan tekadnya menjadi TemanAhok, mengusung Ahok sebagai calon perseorangan dalam Pilgub DKI tahun 2017. Mereka ingin menghapuskan budaya mahar itu, dan mereka tidak mau Ahok suwito kepada para raja di parpol.

Selamat berjuang kawan.

 

Penulis adalah mantan wartawan dan penggiat budaya Jawa.

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home