Loading...
MEDIA
Penulis: Prasasta Widiadi 05:46 WIB | Selasa, 17 Februari 2015

Sudan Selatan Larang Wartawan Wawancara Pemberontak

Nyaman Joak, 35 tahun, dan anaknya Boum, 16 bulan, tiba di Pagak, pintu masuk di perbatasan Sudan Selatan dengan Ethiopia untuk mendaftar sebagai pengungsi. Dia berjalan kaki selama 10 hari dari rumahnya di negara bagian Nile Utara,Sudan Selatan. Tiga dari anak-anaknya meninggal dalam konflik, dan dia tidak tahu di mana suaminya. (Foto: un.org/WFP / Lisa Bryant)

JUBA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Sudan Selatan melarang wartawan  menyiarkan wawancara dengan pemberontak, yang terlibat dalam perang saudara.

"Kami akan menutup media  jika mewawancarai pemberontak mana pun di sini untuk menyebarkan rencana serta kebijakannya di Sudan Selatan," kata Menteri Penerangan Michael Mauei, Senin (16/2), seperti tertuang di AFP.

Tanggapan itu dibuat pemerintah setelah stasiun radio setempat menyiarkan wawancara dengan pemimpin oposisi.

"Jika sebuah stasiun radio bisa mewawancarai pemberontak dan menyebarkan pikiran kotor mereka serta meracuni otak masyarakat, itu agitasi negatif," kata Mauei.

Kelompok hak asasi manusia berulangkali memperingatkan bahwa pasukan keamanan telah menekan jurnalis, membungkam debat mengenai bagaimana mengakhiri perang sipil yang telah menewaskan ribuan orang dalam 14 bulan terakhir.

"Anda bisa bergabung dengan mereka, atau kami akan menempatkan Anda di tempat dimana Anda tidak bisa bicara," kata Mauei dalam ancaman terbaru terhadap kebebasan pers di negara termuda itu.

Wartawan Tanpa Batas merilis data Februari 2015 yang mengatakan peringkat Sudan Selatan dalam hal kebebasan pers turun enam tingkat, sehingga menempatkannya pada posisi ke 125 dari 180 negara dengan tingkat kebebasan pers paling parah.

Organisasi tersebut mengatakan perang "menjadi pukulan keras bagi kebebasan pers," dan menekankan bahwa "media pemberitaan diperingatkan untuk tidak meliput isu-isu keamanan dan jurnalis tidak bisa bekerja dengan baik karena perang itu".

Pertempuran pecah di Sudan Selatan pada Desember 2013 ketika Presiden Salva Kiir menuduh mantan wakilnya Riek Machar berupaya melakukan kudeta, sehingga memicu serangkaian aksi pembunuhan balas dendam di seluruh negeri.

Perang terus berlanjut meski sudah ada sejumlah kesepakatan gencatan senjata.

Lebih separuh dari 12 juta penduduk negara itu membutuhkan bantuan, demikian dilaporkan PBB, yang juga memberikan perlindungan bagi sekitar 100 ribu warga sipil yang terjebak dalam kamp dikelilingi kawat berduri, dan tidak berani keluar kamp karena takut dibunuh. (Ant/AFP).

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home