Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 00:21 WIB | Kamis, 06 Desember 2018

“Suikerkultuur” Jogja yang Hilang

“Suikerkultuur” Jogja yang Hilang
Pameran foto Suikerkultuur “Jogja yang Hilang” di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No. 2 Yogyakarta, 4 -12 Desember 2018. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
“Suikerkultuur” Jogja yang Hilang
Repro foto dokumentasi pabrik gula Klaci yang saat ini digunakan sebagai bangunan sekolah SMKN 1 Godean-Sleman.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Produksi gula di Jawa sudah ada sejak lama diperkirakan pada masa kerajaan Hindu di Jawa dalam bentuk produksi gula rumahan yang dikelola rakyat. Ketika itu kebutuhan gula sudah terpenuhi dari usaha gula rakyat yang diolah secara tradisional dengan menggunakan alat sederhana terbuat dari kayu untuk menggiling tebu dengan bantuan helaan kerbau.

Industri gula di Jawa mencapai puncaknya sekitar tahun 1925 saat 179 pabrik gula yang beroperasi di seluruh Pulau Jawa menghasilkan sebanyak 2 juta ton/tahun. Awal mula pabrik gula di Jawa dimulai pada tahun 1637 saat Gubernur Jenderal Van Diemen memberikan ijin produksi gula selama 1- tahun kepada Jan Kong. Dalam setahun Jan Kong mampu memproduksi gula sebanyak 3.000 picol dengan harga ƒ 18/picol.

Perkembangan pabrik gula di wilayah Vorstenlanden dengan dua keraton Yogyakarta dan Surakarta mencapai 19 pabrik gula pada rahun 1921 di wilayah Yogyakarta, sementara di Surakarta sebanyak 13 pabrik. Gula merupakan komoditas unggulan dari Hindia-Belanda dan menjadi ututan pertama diantara komoditas tanaman lainnya, pada tahun 1840 saja industri gula sudah mencapai 77% dari nilai total ekspor. Di Pulau Jawa industri gula terpusat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Repro dokumentasi foto-arsip sembilan belas pabrik gula (PG) yang ada di Yogyakarta dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) mengangkat tajuk “Jogja yang Hilang.” Pameran dibuka pada Selasa (4/12) malam.

“Rencananya mau dibuat buku (tentang pabrik-pabrik gula yang hilang). Saat ini dalam proses mengumpulkan data, informasi, dokumentasi foto, dan data pendukung lainnya. Dari sembilan belas pabrik gula, dokumen-nomenklatur pabrik Klaci tidak ada. Sebagian besar bangunan pabrik sudah rusak bahkan hilang tersisa pondasi, beralih fungsi menjadi bangunan sekolah, gereja tempat peribadatan, serta markas tentara,” jelas pengelola BBY Yunanto Sutyastomo kepada satuharapan.com.

Lebih lanjut Yunanto menjelaskan bahwa keseluruhan bangunan-sisa tapak bangunan berada di Sultan-Pakualaman ground, yang masih relatif utuh adalah bangunan PG Medari yang digunakan sebagai pabrik tenun, bangunan PG Padokan saat ini menjadi PG Madubaru, dan bangunan PG Wono Catur yang difungsikan sebagai Museum Dirgantara.

“Jika PG tersebut difungsikan kembali, setidaknya ketergantungan impor gula bisa dikurangi. Diluar itu masih banyak dialektika yang masih dipelajari dalam penyusunan buku tersebut,” kata Yunanto.

Jogja Yang Hilang

Sepuluh pabrik gula di Yogyakarta pada awalnya adalah pabrik pewarna kain menyatu dengan perkebunan nila (Indigoplanter). Penemuan pewarna sintetis menyebabkan harga nila sebagai bahan warna indigo jatuh. Salah satu pengusaha gula Erven Weijnschenk mengubah perkebunan dan pabriknya menjadi pabrik gula (suikerfabriek) Barongan diikuti dengan Klaci, Cebongan, Padokan, Rewulu, Sedayu, Randu Gunting, Gesikan, Pundong, Sewu Galur.

Sebelumnya wilayah Vorstenlanden Yogyakarta telah memiliki sembilan PG yakni Beran, Bantul, Wono Catur, Sendang Pitu, Kedaton-Pleret, Tanjung Tirto, Medari, Gondang Lipuro, Demak Ijo.

“Keseluruhan PG terhubung dalam jaringan kereta api. Di Pundong misalnya ada area untuk memutar lokomotif penggerak penarik lori. (Jaringan kereta api tebu) paling utara berada berada di Tempel,” Yunanto menjelaskan.

Krisis ekonomi global yang bermula dari jatuhnya saham di Wall Street membuat banyak PG menghentikan operasionalnya bahkan tutup pada rentang tahun 1931-1935. Tidak terkecuali PG di wilayah Yogyakarta diperparah dengan masuknya militer Jepang ke wilayah Nusantara. Kekalahan Jepang pada Perang Dunia Kedua tidak membuat PG yang sempat berhenti menjadi lebih baik. Agresi Militer Belanda disikapi taktik bumi hangus pada akses jalan-jembatan dan struktur-struktur bangunan besar membuat ke-19 PG di Yogyakarta musnah, rata tanah, dan tanpa jejak.

Yogyakarta yang pernah mengalami masa kejayaan dengan “Land of Sugar” dari beroperasinya ke-19 pabrik gulanya hilang tak berbekas saat terjadinya Agresi Militer Belanda yang kedua tahun 1949. Kondisi tersebut berlanjut dengan ditutupnya PG selain Padokan yang berubah menjadi PG Madubaru. Yogyakarta sebagai Land of Sugar pun akhirnya hilang hanya menyisakan serpihan-serpihan cerita.

Tentang Jogja yang Hilang, hari-hari ini sepertinya bukan hanya bangunan pabrik gula saja yang mengalaminya. Ada banyak bangunan bersejarah yang “hilang” dari khasanah bangunan bersejarah Yogyakarta. Sebutlah bangunan SMA “17” 1 Yogyakarta yang menjadi Markas Tentara Pelajar pada masa kemerdekaan RI dan saat ini berubah bentuk dan fungsi ketika dikalahkan dalam sengketa kepemilikan. Wilayah Kotabaru yang banyak kehilangan bangunan-bangunan kuno tidak hanya sebatas fasadnya, ataupun bangunan-bangunan bersejarah peninggalan masa lalu yang banyak tersebar di wilayah Yogyakarta yang terancam hilang akibat upaya pelestarian yang kalah cepat dibanding keinginan mengubah wajah kota yang terus berlari mengejar mimpi sebuah kota modern, motif ekonomi, investasi, dan motif-motif lainnya.

Jogja yang Hilang bisa dijumpai di banyak sudut-sudut wilayahnya. Jalanan sebagai salah satu panggung kehidupan di Yogyakarta dengan berbagai kontestasi kehidupan hari-hari ini menjadi gambaran ke mana Yogyakarta sedang berlari. Semuanya seolah diukur seberapa besar mampu menghasilkan uang dan perputaran roda ekonomi.

Jogja yang Hilang bisa dijumpai saat akhir pekan, ataupun musim liburan. Kemacetan jalanan di Yogyakarta yang semakin meningkat durasi serta sebaran waktunya menjadi gambaran bagaimana Yogyakarta perlu banyak berbenah diri. Jalanan menjadi potret perebutan ruang publik sekaligus ruang aktivitas ekonomi yang jika tidak diperhatikan akan menyingkirkan masyarakat dari ruang rupa sebuah kota. Kota hanya akan menjadi sebuah dialog mekanis aktivitas ekonomi dimana hanya yang kuat dan mampu membelinya yang akan bertahan di sana.

Jogja yang Hilang meninggalkan banyak pekerjaan bersama dari para pihak untuk segera berbenah agar perkembangannya tidak semakin anonim bagi penghuninya. Mengutip ungkapan mendiang pakar Perencanaan Tata Kota Eko Budihardjo “Kota tanpa bangunan tua sama saja manusia tanpa ingatan. Manusia tanpa ingatan sama dengan orang gila, kota tanpa ingatan sama saja dengan kota gila.”

Pameran foto  SuikerkultuurJogja yang Hilang” akan berlangsung hingga 12 Desember 2018 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No.  2 Yogyakarta.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home