Loading...
OPINI
Penulis: Padmono Sk. 00:00 WIB | Senin, 04 Juli 2016

Surat Terbuka Kepada Presiden: Mari Saling Memaafkan!

Momentum Idul Fitri, ketika pintu maaf terbuka lebar, sebaiknya dimanfaatkan oleh pemerintah Jokowi-JK untuk meminta maaf kepada korban HAM masa lalu.

SATUHARAPAN.COM - Bapak Presiden yang saya hormat, saya ucapkan selamat idulfitri 1437 H. Dalam suasana hari raya idulfitri ini, kita mendapatkan kesempatan untuk saling memaafkan. Inilah saatnya kita sebagai merenungkan kembali keberadaan manusia dan membuka diri untuk meminta maaf atas kesalahan di masa lalu.

Meminta maaf dan memberikan maaf yang dilakukan dengan tulus akan meringankan langkah kita menjalani hidup di masa mendatang. Berkaitan dengan itu, saya mau menyoroti salah satu kebijakan yang ditunggu-tunggu banyak orang yaitu janji Anda untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM, termasuk dalam peristiwa pasca 1965. Tidakkah indah bila saat yang seperti ini kita maknai dengan maaf-memafkan? Kita memberi maaf sekaligus kita meminta maaf kepada orang-orang sebangsa yang bersuara nyaring selama ini.

Bapak Presiden yang saya hormati, saya akan memulainya dengan peristiwa simposium beberapa waktu lalu. Anda telah menunjuk Agus Widjojo sebagai Gubernur Lemhannas dan kemudian ia ditugaskan untuk membedah tragedi 1965. Ia juga bertindak sebagai Ketua Panitia Simposium Nasional, Membedah Tragedi 1965 dengan pendekatan sejarah.

Menurut saya, simposium itu menjadi langkah awal untuk membangun rekonsiliasi bangsa. Memang ada pihak-pihak yang tidak mendukung kebijakan  Anda itu. Menteri Pertahanan RI yang seharusnya mendukung kebijakan Anda, malah melakukan “perlawanan”. Bahkan pimpinan TNI AD melakukan sweeping dan penangkapan terhadap rakyat yang menggunakan simbol palu arit atau singkatan PKI. Seorang pencinta Kopi Indonesia pun ditangkap karena singkatannya PKI.

Tindakan ini sangat berlebihan. Tidak tahukah mereka bahwa hunian yang Pantai Indah Kapuk itu pernah menjadi perdebatan. Menurut tatabahasa yang benar seharusnya Pantai Kapuk Indah. Tetapi oleh pejabat di jaman pemerintahan Soeharto tidak diperbolehkan karena kalau disingkat menjadi PKI. Maka jadilah hunian itu seperti sekarang, PIK walaupun itu menyalahi tatabahasa baku karena tempat berada di wilayah Pantai Kapuk.

Perlawanan terhadap kebijakan Anda mengenai peristiwa 1965 itu dilakukan dengan berbagai cara. Beberapa purnawirawan mengadakan symposium tandingan dengan mengundang ormas-ormas Islam. Seorang pensiunan jenderal TNI AD bahkan telah melontarkan tuduhan bahwa kabinet yang bapak pimpin ini telah disusupi PKI. Inilah salah satu kegaduhan di masa pemerintahan Anda. Terlalu banyak orang yang secara terang-terangan melawan kebijakan Anda, termasuk menteri. Ini yang dalam kitab Kalatidha karya Ranggawarsita dikatakan sebagai penyebab datangnya kalabendu, Negara morat-marit karena para pejabat tidak satu kata. Mereka saling bertentangan secara terbuka, berlawanan dengan kebijakan Anda sebagai presiden.

Bapak Presiden yang saya hormati, simposium itu harus diikuti langkah-langkah yang arif. Tuntutan korban peristiwa 1965 agar Negara meminta maaf kepada para keluarga korban telah banyak dibahas. Dalam surat ini saya ingin memberi masukan soal maaf memaafkan ini.

Kita semua tahu situasi bangsa pasca peristiwa tahun 1965 itu dibawah rezim Soeharto. Bahkan peristiwa 1965 itu sendiri menurut berbagai sumber, berada di bawah kendali Soeharto. Banyak orang menjadi korban pada waktu itu, dan banyak orang menjadi tahanan politik. Mereka tidak pernah diadili dan tanpa pernah tahu kesalahannya di depan hukum! Itu salah satu yang dianggap sebuah pelanggaran HAM.

Apakah pelanggaran HAM itu dapat ditimpakan kepada Pemerintahan Jokowi – JK dan seharusnyakah mereka diminta meminta maaf?  Tentu saja tidak! Pemerintahan Jokowi – JK adalah hasil sebuah koreksi atas pemerintahan Soeharto yang dianggap melakukan banyak kesalahan. Namun tidak dapatkah hal itu diatasi dengan sebuah kearifan? Maksud saya begini, tidak arifkah bila pemerintahan Bapak Presiden sekarang ini menempatkan diri sebagai anak dalam sebuah keluarga yang ditinggal mati oleh bapaknya, lalu memintakan maaf bagi orang yang meninggal dari orang-orang yang datang melayat? Seperti ketika kita datang melayat di sebuah rumah duka, kita akan disambut oleh anak-anaknya atau anggota keluarga dengan sapaan, “maafkan bapak ya om?”.

Itu maksud saya, pemerintahan Bapak menempatkan diri sebagai anak-anak yang berdiri di depan rumah menyambut para pelayat yang datang dan menyapa, “tolong maafkan mereka yang telah melakukan kesalahan di jamannya”. Dengan cara itu, tidakkah para pelayat akan memaafkannya?

Bapak Presiden Jokowi yang saya hormati, apakah makna dari permohonan maaf anak-anak atas kesalahan yang telah dibuat oleh orang tua atau saudaranya yang meninggal itu? Dalam pemahaman keagamaan, kata maaf itu dibutuhkan bagi mereka yang meninggal agar dilapangkan jalannya ke alam baka! Di situ para pelayat akan dengan ikhlas memberi maaf.

Dalam konteks politik dan peristiwa 1965, pentingnya Pemerintahan Bapak memintakan maaf bagi pemerintahan sebelumnya adalah agar jalan mereka dilapangkan! Pernahkah kita membayangkan, kalau para pejabat yang berkuasa bersama Soeharto itu tidak dimintakan maaf dari mereka yang menjadi korban, dan para korban itu tidak memberi maaf? Apakah arwah Soeharto dan para pejabat masa itu akan lapang jalannya? Menurut pemahaman Jawa, arwah yang tidak memperoleh jalan yang lapang itu akan seperti arwah Kumbokarno dalam lakon Wahyu Makutha Rama dalam pagelaran wayang purwa. Arwah itu bergentayangan sambil terus mengaduh, mencari tempat berlindung dan pengayoman. Betapa menderitanya arwah yang seperti itu. Untunglah dalam lakon itu Kumbokarno mendapat pengayoman dari Bima, maka arwah itu tidak lagi bergentayangan.

Kini,  coba kita bayangkan kalau orang-orang dalam Pemerintahan Soeharto itu tidak dimintakan maaf dan para korban itu tidak memaafkan. Arwah mereka akan bergentayangan di alam Nusantara ini sambil terus mengaduh dan mengganggu kehidupan bangsa? Apakah bangsa ini tega membiarkan arwah itu berteriak-teriak,  mengaduh, mencari pengayoman? Nah, dalam perspektif inilah Bapak Presiden bisa memintakan maaf atas kesalahan pemerintahan Soharto di masa lalu. Tujuannya justru memuliakan Soeharto dan para pejabatnya agar agar dilapangkan jalannya ke alam baka.

Pertanyaan berikutnya adalah: kepada siapa Bapak harus meminta maaf? Menurut pendapat saya, orang-orang yang harus dimintai maafnya adalah mereka yang telah menjalani hidup sebagai tahanan politik puluhan tahun tanpa pernah ada kejelasan mengenai kesalahan mereka secara hukum.

Saya mengenal salah satu dari mereka. Namanya Kartjono. Pada waktu peristiwa tahun 1965 itu meletus, ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Ia bukan PKI. Ia GMNI, onderbouw PNI, pendukung Soekarno yang setia. Oleh pemerintahan Soeharto ia ditangkap dan ditahan selama 15 tahun tanpa kejelasan. Ia telah di-PKI-kan.

Ketika dibebaskan, kami pernah berbincang-bincang. Hebatnya Kartjono bisa memaafkan mereka. Ia berkata, “sudahlah dik, ini masalah politik. Dia yang menang, saya kalah. Biarlah itu menjadi catatan sejarah”. Kalimat itu sederhana tetapi sangat mendalam. Ia memaafkan masa lalunya dan dengan begitu ia justru terbebas dari belenggu sejarah. Kini ia telah almarhum.

Bapak Presiden yang saya hormati, banyak orang yang telah di-PKI-kan dan mereka menjadi korban kerakusan kekuasaan. Ada seorang guru seni suara di sebuah sekolah dasar. Karena ingin berkesenian lalu bergabung dengan satu-satunya lembaga kebudayaan yang ada di kampungnya. Kebetulan lembaga itu bernama lembaga kebudayaan rakyat (Lekra). Pasca 1965 ia ditangkap dan dianggap PKI. Padahal ia hanya seorang seniman musik, yang ingin mengembangkan jiwa seninya. Ia bukan pembunuh, ia bukan pemberontak. Bahkan memberontak dan membunuh tidak pernah terlintas di pikirannya. Yang ada di pikirannya hanya bagaimana berkesenian, bernyanyi dengan baik. Karena ia anggota Gereja, ia ingin memuji Tuhan dengan lebih baik. Tetapi ia di-PKI-kan dan menjalani sebagai tahanan politik tanpa pernah diadili.

Ada yang lebih ironis lagi. Seorang perwira TNI AD bernama Pranoto Reksosamodra yang bertugas di Mabes AD. Ia adalah teman Soeharto sejak jaman perjuangan di Jogjakarta. Tahun 1960-an Pranoto adalah Kasdam ketika Soeharto menjadi Pangdam Diponegoro Jawa Tengah. Ketika Soeharto ketahuan korupsi dan dicopot dari Pangdam, Pranoto yang menggantikannya. Pasca 1965, Pranoto menjadi perwira di Mabes AD. Agaknya Soeharto dendam pada dirinya dan menuduh Pranoto sebagai orang yang melaporkan tindak korupsi yang dilakukannya di Jawa Tengah,. Maka Pranoto jabatan dipreteli dan ia ditahan sebagai tahanan politik hingga 15 tahun. Ia di-PKI-kan!

Bapak Presiden yang saya hormati, kepada orang-orang seperti itulah Bapak bisa memintakan maaf bagi Pemerintahan Soeharto. Saya mempunyai keyakinan mereka akan dengan tulus ikhlas memberi maaf.  Di dalam keyakinan agama saya ada tertulis dalam Kitab Suci, bahwa seseorang yang memberi maaf kepada saudaranya itu tidak hanya 7 kali tetapi 7 X 70 kali. Artinya memberi maaf adalah tindakan yang mulia, karena Allah hanya akan mengampuni mereka yang bisa mengampuni atau memaafkan sesamanya. Dengan memberi maaf seseorang akan melepas beban sejarah. Almarhum Kartjono telah membuktikan hal itu.

Lalu apakah cukup dengan langkah maaf memaafkan? Menurut saya masih ada satu lagi yang harus Bapak Presiden lakukan. Di awal pemerintahan SBY tahun 2009, Pemerintah berencana membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun komisi itu hingga kini tidak pernah terdengar kabarnya. Pemerintahan SBY yang berjalan 10 tahun juga tidak pernah menyinggung masalah ini.

Karena itu saya berharap Bapak Presiden Jokowi dapat mengambil langkah yang bijak menyikapi hal ini. Gubernur Lemhannas Agus Widjojo sudah memberi isyarat akan dilakukannya rehabilitasi. Langkah itu menurut saya sangat bijak dan tepat. Merehabilitasi para korban akan membuat keluarga korban kembali memperoleh kehormatannya sebagai warga bangsa. Dengan maaf memaafkan dan rehabilitasi, maka saya percaya akan tercipta sebuah rekonsiliasi bagi bangsa ini.

Selamat idulfitri 1 Syawal 1437 H.-

 

Penulis adalah mantan wartawan.

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home