Sutradara Film dari Afghanistan Mengungsi ke Prancis
PARIS, SATUHARAPAN.COM-Sebagai seorang sutradara film, Shahrbanoo Sadat, menyaksikan dengan penuh kekagetan saat para pejuang Taliban mengambil alih kotanya dan massa yang ketakutan memenuhi jalanan. Tetapi sebagai seorang perempuan Afghanistan, dia juga menyaksikan pemandangan itu melalui prisma lain dan tahu: sudah waktunya untuk melarikan diri.
Setelah keluarganya melarikan diri dari Kabul, Sadat sekarang memperingatkan pemerintah dunia: "Taliban adalah kelompok teroris dan dunia harus menyadari bahwa mereka berbahaya," katanya kepada The Associated Press (AP) di Paris pada hari Minggu (5/9).
“Saya kehilangan kepercayaan saya pada demokrasi, pada hak asasi manusia, pada hak-hak perempuan,” katanya, karena dia merasa bahwa negara-negara Barat tidak berbuat cukup untuk mempertahankan hal-hal ini di Afghanistan.
Sadat, yang film pertamanya "Wolf and Sheep" memenangkan penghargaan terkait dengan Festival Film Cannes tahun 2016, dan sembilan anggota keluarganya termasuk di antara ribuan orang Afghanistan yang dibawa oleh pemerintah asing sebelum pasukan Amerika Serikat terakhir ditarik pekan lalu.
Mereka menghabiskan 72 jam dalam antrean di bandar udara Kabul, berjuang untuk keluar. Malam pertama, pasukan Afghanistan “sangat agresif, menembak dari jam enam sore sampai jam 10 pagi. Kami tidak bisa maju, bahkan hany untuk beberapa meter.” Jadi keluarga mencoba gerbang lain.
"Kami tidur dalam antrian, bergerak setiap lima menit beberapa sentimeter," katanya.
Pasukan Taliban mengeluarkan mayat 11 orang yang telah dijahar hingga tewas di tengah kerumunan yang putus asa, katanya.
Minta Barat Bertindak Lebih
Begitu tiba di Prancis, dia dibawa ke sebuah bangunan terbengkalai di pinggiran kota Paris yang dengan tergesa-gesa diubah pemerintah menjadi tempat penampungan sementara bagi mereka yang melarikan diri dari Afghanistan.
“Selama tiga hari, kami dikarantina total sehingga kami tidak bisa pergi ke mana pun. Saya tidak punya internet," katanya. “Ketika mereka membebaskan kami, kami hanya punya waktu dua jam dan saya berlari ke toko ponsel untuk mendapatkan kartu SIM. Tetapi orang lain, mereka pergi ke Menara Eiffel,” katanya.
"Saya marah karena... kami kehilangan negara dan orang-orang menurut saya sangat ceroboh," berpikir tentang pariwisata daripada Tanah Air mereka, katanya. “Tapi di sisi lain, kita sudah kehilangan, jadi apa gunanya menangis?”
Sadat bergabung dengan protes pada hari Minggu (5/9) oleh kelompok-kelompok bantuan dan lainnya menuntut agar pemerintah Barat berbuat lebih banyak untuk membantu mereka yang tertinggal dan menekan Taliban. Beberapa warga Afghanistan yang telah berjuang selama bertahun-tahun untuk mendapatkan suaka bergabung dengan demonstrasi, bersama dengan mereka yang baru saja tiba.
Sadat khawatir tentang kerabatnya yang masih di Afghanistan, dan tentang salah satu aktornya, yang tinggal di provinsi asalnya, Panjshir, untuk mencoba mempertahankan kantong perlawanan terakhir Afghanistan yang tersisa terhadap Taliban, yang meningkatkan serangannya di wilayah itu hari Minggu.
Taliban telah berusaha untuk mengubah diri mereka menjadi berbeda dari ketika mereka memerintah pada 1990-an, ketika mereka memblokir perempuan dan anak perempuan dari pekerjaan dan pendidikan dan melarang televisi dan musik. Tetapi banyak yang skeptis bahwa itu akan benar dipenuhi.
Sadat mengatakan perbedaan sangat terasa sebelum dia pergi. Dia menggambarkan seorang penjual menolak untuk menjual es krimnya karena pejuang Taliban berdiri di dekatnya, menikmati es krim yang sama yang dia tolak.
"Mereka tidak melihat saya tapi saya melihat mereka... seperti seorang sutradara film melakukan casting," katanya. “Tetapi sebagai individu, saya sangat takut.”
Rekan pembuat film perempuan Afghanistan yang melarikan diri dari Taliban memohon kepada dunia untuk tidak melupakan orang-orang Afghanistan, memperingatkan di Festival Film Venesia pada hari Sabtu bahwa sebuah negara tanpa budaya pada akhirnya akan kehilangan identitasnya.
Sadat berharap dapat bergabung dengan saudara perempuan dan pasangannya di Jerman, dan menghidupkan kembali pekerjaan di film terbarunya, sebuah komedi romantis. Dia tetap bertekad untuk membuat film meskipun diasingkan.
“Penting untuk berbicara tentang perang Afghanistan dari perspektif Afghanistan, dan perspektif feminin,” katanya. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Tanda-tanda Kelelahan dan Stres di Tempat Kerja
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Stres berkepanjangan sering kali didapati di tempat kerja yang menyebabka...