Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 10:29 WIB | Senin, 22 Juli 2019

“Tanda Cinta” Sepuluh Perupa

“Tanda Cinta” Sepuluh Perupa
Pameran seni rupa bertajuk “Tanda Cinta” di Parak Seni, Dusun Bodeh RT 03 RW 24, Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping – Sleman, 20 Juli Maret - 20 Agustus 2019. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
“Tanda Cinta” Sepuluh Perupa
Pemilik Parak Seni Bazrisal Albara (kaus merah) bersama kolektor karya seni Oei Hong Djien (baju kotak-kotak) dan CEO Art|Jog Heri Pemad (kaus hitam berkacamata) mendengarkan penjelasan karya dari pematung Nugroho (penutup kepala hitam) pada pembukaan pameran “Tanda Cinta”, Sabtu (20/7).
“Tanda Cinta” Sepuluh Perupa
Patung berjudul Dancing (Nugroho) dan lukisan berjudul Greatest Memory (Yaksa Agus) dalam pameran “Tanda Cinta”.
“Tanda Cinta” Sepuluh Perupa
Batu Setia – cat akrilik di atas kanvas – 100 cm x 100 cm – Faizal Kamandobat – 2019.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Parak Seni, workshop-studio patung milik Bazrisal Albara, Sabtu (20/7) sore menghelat pembukaan pameran bertajuk “Tanda Mata”. Pameran dibuka oleh CEO Art|Jog Heri Pemad dan dihadiri kolektor karya seni Oei Hong Djien.

Pameran melibatkan sepuluh seniman-perupa mempresentasikan tanda cinta terbarunya dalam bentuk dua-tiga matra. Kesepuluh seniman-perupa terlibat adalah Ampun Sutrisno, Rismanto, Bazrisal Albara, Nugroho, Laksmi Shitaresmi, Watie Respati, Purwanto, Rober Nasrullah, Yaksa, Ahmad Sobirin.

Dalam sambutannya Heri Pemad menjelaskan bahwa adanya event-event seni (festival) di Yogyakarta pada bulan-bulan tertentu secara tidak langsung telah menggerakkan perekonomian masyarakat luas, yang pada gilirannya masuk dalam skema ekonomi kreatif. Besarnya dampak perekonomian tersebut telah mendorong Badan Pusat Statistik (BPS) mulai tahun ini mengukur secara kuantitatif dari berbagai sektor dalam sebuah penelitian yang komprehensif, sehingga bisa terukur dan terdokumentasi untuk bisa menentukan langkah kebijakan di masa datang dalam sektor-sektor tersebut agar terjadi akselerasi pembangunan dalam skema ekonomi kreatif.

Heri Pemad mencatat di Yogyakarta dalam satu tahun berlangsung lebih dari 400-an festival yang tersebar di berbagai wilayah dan lintas disiplin ilmu seni dengan melibatkan banyak pihak terkait.

“Peristiwa ini patut kita rayakan bersama. Ketika dulu kita mengumpulkan orang (untuk menyaksikan pameran) apalagi mengumpulkan kolektor itu susah. Sekarang, ada masanya pada opening pameran tertentu yang diselenggarakan bersama, kolektor bisa melihat ini-itu sehingga ada alasan tertentu untuk mampir," katanya.

"Ada dampak lain dari kunjungan kolektor maupun pengunjung lainnya ke Yogyakarta karena adanya Art|Jog dan event lain yang disebarluaskan informasinya melalui Jogja Art Weeks (dengan presentasi karya lukis, patung, instalasi, fotografi, video, koreografi, film, desain, fashion) yang menjadi pengalaman baru untuk kemudian datang lagi di masa-masa mendatang,” kata Heri Pemad dalam sambutan pembukaan pameran, Sabtu (20/7).

Lebih lanjut ia menjelaskan banyaknya festival tersebut patut dihitung dampaknya. Statement tersebut menjadi penting ketika masyarakat bergerak bersama-sama secara organis, sehingga BPS perlu melakukan survei penelitian atas dampak-dampak yang terjadi. Dengan demikian (adanya data yang valid dan terdokumentasi) pemerintah bisa memberikan dukungan dalam bentuk kebijakan maupun penganggarannya untuk kegiatan-kegiatan tersebut di masa datang.

Sebagai catatan dalam satu dasa warsa terakhir, bulan Mei-Agustus menjadi bulan-bulan dimana event seni-budaya banyak digelar di wilayah Yogyakarta. Dalam bulan Juli 2019 terdapat Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY), Pasar Kangen Jogja (PKJ), Jogja Video Mapping Festival, pameran seni rupa terbesar se-Asia Tenggara Art|Jog yang biasanya diikuti dengan ratusan pameran seni rupa di berbagai ruang seni yang tersebar di wilayah Yogyakarta.

Di luar itu masih banyak event seni pertunjukan yang tidak kalah banyaknya tersebar di berbagai wilayah Yogyakarta hingga akhir tahun. Beberapa waktu lalu Prambanan Jazz Festival 2019 yang diselenggarakan dalam tiga hari dikunjungi tidak kurang dari 30.000-an orang. Dampak ekonomi yang digerakkan tentulah tidak kecil mulai dari akomodasi (penginapan, makan), transportasi, komunikasi hingga keperluan lainnya yang tentunya melibatkan banyak pelaku ekonomi.

Dibanding Kota Yogyakarta ataupun Kabupaten Bantul, rumah seni (art space/house/room) di Sleman tidak terlalu banyak, Parak Seni salah satunya. Ini bisa menjadi salah satu alternatif bagi seniman-perupa untuk mempresentasikan karyanya di wilayah utara Yogyakarta selain Omah Petroek milik budayawan Sindhunata di Karangklethak-Hargobinangun, Rumah Seni Sidoarum milik perupa Nasirun, Roemah Pelantjong (Kafi Kurnia), Sanggar Semud (Ekko Rahmy), Sanggar Sejati di sebelah utara Antena Project, Saung Banon (Alexandri Luthfi), serta Studio Kalahan di Ambarketawang milik Heri Dono. Pada bulan Maret lalu Parak Seni baru saja menghelat pameran tunggal Abdul Tanda Kirno bertajuk “Tanete”.

Beragam ekspresi tanda cinta dipresentasikan dalam pameran “Tanda Cinta”. Yaksa Agus Widodo mengekspresikan tanda cinta dan kenangannya dalam series lukisan berjudul Greatest memory dengan keseluruhan obyek berupa radio transistor kuno dilengkapi dengan catatan-catatan puisi yang menyertai kenangan tersebut.

Ampun Sutrisno dengan objek binatang babi membuat lukisan panel berjudul Babi plus #series dalam lima panel berukuran masing-masing 15 cm x 15 cm. Sementara Laksmi Sitharesmi dalam karya surealisnya berjudul The Best Prayer for All dengan objek utama binatang babi dan binatang lain yang menjadi simbol shio tahun China. Laksmi seolah menyampaikan pesan cinta dalam doa terbaik untuk semua umat manusia di tahun Babi 2019.

Pada karya The Flower Garden #1-2 yang dibuat oleh Watie Respati goresan kuas pada langit-langit pegunungan mengingatkan pada karya Vincent van Gogh Starry Night. Jika biasanya membuat lukisan ukuran besar dengan obyek kendaraan berat seperti lokomotif, truk tambang, pada karya berjudul Senyuman Rismanto membuat lukisan berukuran 50 cm x 40 cm dengan objek lokomotif dan melengkapi dengan senyuman wajah di latar depannya. Sementara pada karya berjudul Cinta Tak Harus Jatuh, Rismanto membuat visual hanging stone di atas seutas tali. Senyuman dan cinta kerap hadir dalam waktu yang bersamaan dan tidak harus membuat terjatuh-jatuh bagi yang mengalaminya.

Dua karya lukisan yang dibuat sastrawan Faizal Kamandobat cukup menarik saat dirinya diundang untuk mengekpsresikan sastra cintanya ke dalam kanvas. Hasilnya karya berjudul Jalan Lingkar Jiwa serta Batu Setia cukup membuat kening berkerut memaknai cinta yang diungkapkan penyair tersebut dalam visual lukisan.

Pameran seni rupa "Tanda Cinta" akan berlangsung hingga  20 Agustus 2019 di Parak Seni, Dusun Bodeh RT 03 RW 24, Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping – Sleman.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home