Loading...
FLORA & FAUNA
Penulis: Dewasasri M Wardani 09:37 WIB | Jumat, 02 Agustus 2019

Tarsius, Si Penjelajah Malam yang Menggemaskan

Tarsius (Tarsius tarsier). (Foto: wikipedia.org)

SATUHARAPAN.COM – Tahukah Anda, Indonesia memiliki primata paling kecil di dunia? Karena paling kecil pula, tarsius, primata yang memiliki mata superbulat ini, terlihat menggemaskan.  

Tarsius, mengutip dari tn-babul.org, merupakan genus monotipe dari famili Tarsiidae, primata endemik yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Filipina.

Tarsius, mengutip dari ksdae.menlhk.go.id, merupakan salah satu dari 25 spesies primata yang paling terancam punah di dunia. Tarsius merupakan binatang nokturnal (aktif pada malam hari) dan Indonesia menduduki peringkat pertama dengan jumlah spesies tarsius terbanyak di dunia.

Sampai saat ini, mengutip dari uajy.ac.id, populasi tarsius cenderung menurun menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources atau Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) pada tahun 2012. Penurunan populasi itu dipengaruhi faktor-faktor dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal).

Jenis tarsius siau atau tarsius asli Pulau Siau, Sulawesi, adalah yang paling terancam kepunahan. Bukan sekadar diberikan status Critically Endangered oleh IUCN Red List, bahkan tarsius tumpara atau Siau Island Tarsier pun termasuk salah satu dari 25 primata paling terancam punah di dunia.

Secara fisik, tarsius seperti perpaduan antara monyet dan burung hantu, karena struktur tengkorak kepala dan wajah yang hampir serupa dengan burung hantu namun dengan tubuh seperti monyet. Selain bentuk tubuhnya, keunikan tarsius ada pada matanya. Ukuran mata tarsius lebih besar dibanding otaknya. Mata tarsius digunakan untuk melihat dengan tajam di kegelapan malam, dan memiliki kemampuan penglihatan yang sangat baik.  

Morfologi Tarsius

Primata kecil yang unik ini, mengutip dari ipb.ac.id, sering juga disebut binatang hantu, dengan melihat tampang seperti monyet kecil bermata merah besar dan bulat senantiasa menatap, yang digunakan untuk melihat pada malam hari.

Satwa dari subfamilia Prosimia ini merupakan hewan pencengkeram dan pelompat vertikal, dan juga mempunyai loncatan panjang beruntun yang cepat. Bersifat nokturnal, tarsius jarang terlihat di tempat-tempat terbuka.  

Ukuran badannya kira-kira sebesar tikus dewasa. Berat badan sekitar 120 gram saat dewasa, panjang badan sekitar 13 cm dan panjang ekor berkisar antara 15 cm sampai 20 cm. Hampir seluruh tubuhnya ditumbuhi rambut tebal dan halus berwarna cokelat keabu-abuan.

Kepala tarsius bundar dengan moncong tereduksi tanpa struktur pelindung. Bola matanya hampir tidak dapat digerakkan ke kiri dan ke kanan, sehingga kemampuan visualnya dibantu dengan kemampuan memutar kepala yang dapat mencapai 180 derajat tanpa memutarkan badannya.

Pendengaran satwa ini lebih tajam daripada fungsi organ penciuman. Telinganya tipis, membranous dan tidak berambut. Bagian atas telinga dapat dilipat untuk mengurangi daerah permukaan, kemudian seluruh telinga dirapatkan sepanjang samping kepala. Jika sedang mendengar dengan tajam telinga dibuka lebar-lebar dan silih berganti digerakkan ke depan dan ke belakang.

CH Wharton dalam laporan penelitiannya yang berjudul  “Seeking Mindanau’s Strength Creatures National Geography” (Journal Mammal, 51 (3): 225 – 230, 1974), menyatakan ekor tarsius lebih panjang daripada badannya. Pada ujung ekor memiliki bulu sepanjang kira-kira tujuh cm, biasanya digunakan untuk keseimbangan di saat memanjat dan melompat. 

Bagian bawah dari jari-jari tangan dan kaki terdapat bongkolan atau bantalan yang memungkinkan melekat pada berbagai permukaan di saat melompat dari cabang ke cabang. Semua jari berkuku dan pada jari kaki kedua dan ketiga terdapat cakar yang berguna untuk menyisir rambutnya dan penahan di saat mendarat di tempat yang licin.

MF Kinnaird, dalam bukunya, Sulawesi Utara Sebuah Panduan Sejarah Alam, Volume I (Penerbit, Yayasan Pengembangan Wallacea, Jakarta, 1997), menyatakan tarsius memiliki kaki belakang dengan panjang dua kali lipat panjang badan dan kepala yang memberikan kekuatan untuk melompat.

Tarsius memakan serangga seperti kecoa dan jangkrik hingga burung dan ular ukuran kecil. Tarsius menandakan wilayah kekuasaan mereka dengan urin dan disebut juga sebagai hewan yang setia terhadap pasangannya.

Nama tarsius diambil dari ciri fisik tubuh yang istimewa, yaitu tulang tarsal yang memanjang, yang membentuk pergelangan kaki mereka, sehingga dapat melompat sejauh 3 meter (hampir 10 kaki) dari satu pohon ke pohon lain.

Tarsius juga memiliki ekor panjang yang tidak berbulu, kecuali pada bagian ujungnya. Setiap tangan dan kaki hewan ini memiliki lima jari yang panjang. Jari-jari ini memiliki kuku, kecuali jari kedua dan ketiga yang memiliki cakar yang digunakan untuk grooming.

Tarsius, menurut Wikipedia adalah primata dari genus Tarsius, suatu genus monotipe dari famili Tarsiidae, satu-satunya famili yang bertahan dari ordo Tarsiiformes. Meskipun grup ini dahulu kala memiliki penyebaran luas, tetapi semua spesies yang hidup sekarang jumlahnya terbatas dan ditemukan di pulau-pulau di Asia Tenggara.

Di Indonesia, mengutip dari repository.ipb.ac.id, tarsius memiliki nama ilmiah Tarsius tarsier, memiliki banyak nama lokal, yakni tangkasi (Minahasa), ngasi (Sulteng), tanda-bona passo (Wana), podi (Tolaki dan Selayar), wengu (Mornene), tenggahe (Sangir), tanda-bana (Sulut). 

Tarsius bancanus disebut kera buku, singapuar (Bengkulu), krabuku (Lampung), palele (Belitung), mentiling ingkir, ingkit, linseng (Ngaju), page (Tidung), makikebuku (Karimata), singaholeh (Kutai), tempiling (Kalbar), binatang hantu dan simpalili (Melayu).

Masyarakat sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung menyebut satwa ini balao cangke (bahasa Makassar), yang artinya tikus jongkok. Nama itu mengacu pada bentuknya yang mirip tikus dan apabila satwa ini berada di atas dahan pohon posisinya seperti dalam keadaan jongkok.

Tarsius, menurut Wikipedia,  merupakan satwa insektivora, dan menangkap serangga dengan melompat pada serangga itu. Mereka juga diketahui memangsa vertebrata kecil seperti burung, ular, kadal dan kelelawar. Saat melompat dari satu pohon ke pohon lain, tarsius bahkan dapat menangkap burung yang sedang bergerak. Tarsius muda lahir berbulu dan dengan mata terbuka serta mampu memanjat dalam waktu sehari setelah kelahiran.

Habitat dan Penyebaran

Tarsius banyak ditemukan di luar hutan lindung atau area perbatasan hutan antara hutan primer dan hutan sekunder, hutan sekunder dan perkebunan masyarakat, serta areal perladangan atau pertanian.

Menurut W Sinaga dan kawan-kawan, dalam laporan penelitian  berjudul “Pengamatan Habitat Pakan dan Sarang Tarsius (Tarsius sp) wilayah di Sulawesi Selatan dan Gorontalo” (Jurnal Primatologi Indonesia 6 (2): 41-47 (2009), pohon tidur atau sarang tarsius umumnya ditemukan di sekitar hutan sekunder dan perladangan dengan vegetasi yang rapat.

JR Napier dan PH Napier, dalam buku The Natural History of Primates (Penerbit First MIT P. Cambridge, Massachusetts, Great Britain, 1986) mengatakan habitat tarsius adalah berbagai tipe hutan yaitu hutan hujan tropis, semak berduri, hutan bakau, hingga ladang penduduk.

Sedangkan C Niemitz dan FG Verlag dalam buku Biology of Tarsier (Penerbit Pustet Reagensburg, NewYork, 1984), menyebutkan tarsius juga dapat hidup di hutan primer yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dan perkebunan karet.

Menurut YG Widyastuti, dalam buku, Flora Fauna Maskot Nasional dan Propinsi (Penerbit Jakarta, Penebar Swadaya, 1993), kelompok tarsius di hutan primer lebih sering memilih tempat tidur di rongga-rongga pohon yang berlubang, terutama pohon Ficus sp, pandan hutan, bambu, dan umumnya jenis berongga, terlindung dari sinar matahari dan agak gelap.

M Shekelle M dan A Salim, dalam laporan penelitan berjudul  “Siau Island Tarsier, Tarsius sp. in: RA Mittermeieret al. (compilers), Primates in Peril: The World’s 25 Most Endangered Primates 2006 – 2008” (pp. 12, 27. Primate Conservation (22); 1 – 40, 2008), sampai saat ini telah ditemukan 16 populasi tarsius di Sulawesi, yang kemungkinan dapat menjadi spesies tersendiri dan baru lima spesies di antaranya yang sudah mempunyai nama yaitu T spectrum, T sangirensis, T pumillus, T pelengensis, dan T dianae.  Sebelas spesies lain masih perlu pemberian nama untuk keperluan konservasi.

Wirdateti dan H Dahrudin, dalam laporan penelitian berjudul  “Pengamatan Pakan dan Habitat Tarsius spectrum (tarsius) di Kawasan Cagar Alam Tangkoko-Batu Angus, Sulawesi Utara (Biodiversitas 7 (4): 382-386, 2006), menyatakan setiap sarang tarsius terdapat 3-6 individu dengan komposisi anak, remaja dan induk atau dalam bentuk keluarga.

Pola hidup tarsius selalu membentuk suatu unit sosial yang meliputi sepasang individu dewasa bersifat monogami dan tinggal bersama keturunannya dalam suatu teritorial. Sifat ini akan mempercepat pemusnahan spesies karena mereka akan sukar beradaptasi dengan kelompok lain apabila terjadi perusakan habitat dan hutan.

Konservasi

Menurut Wikipedia, satu jenis tarsius, Tarsius dentatus, terdaftar sebagai sinonim junior T dianae oleh IUCN, dan terdaftar di IUCN Red List berstatus Bergantung Konservasi. Dua spesies/subspesies lain, Tarsius bancanus terdaftar dengan status Risiko Rendah, dan tarsius sulawesi (T tarsier; terdaftar sebagai sinonim juniornya T spectrum) dikategorikan sebagai Hampir Terancam. Jenis tarsius lain terdaftar oleh IUCN sebagai Data Kurang.

Tarsius bancanus atau lebih dikenal mentilin merupakan endemik Sumatera dan Kalimantan. Mengutip dari primata.ipb.ac.id, hewan itu dikategorikan dalam status konservasi vulnerable, yang berarti rentan terhadap kepunahan oleh IUCN Redlist. Oleh CITES, tarsius ini dimasukkan dalam daftar Apendiks II. Sedangkan oleh Pemerintah Indonesia, Tarsius bancanus dan semua jenis tarsius dilindungi berdasarkan PP No 7 Tahun 1999.

Tarsius bancanus, sebagai salah satu kekayaan bumi Indonesia, bahkan ditetapkan menjadi maskot Bangka Belitung, yang perlu dilestarikan dan dipelihara. Dibutuhkan penangkaran yang dirancang secara alami di kawasan hutan Bangka Belitung.

Khusus di Bangka, mentilin masih bisa ditemui di sejumlah tempat, seperti Hutan Pelawan di Desa Namang Kabupaten Bangka Tengah.

Satu situs mendapat keberhasilan mengembalikan populasi tarisus di pulau Filipina, Bohol. Philippine Tarsier Foundation telah mengembangkan kandang besar semi-liar yang memakai cahaya untuk menarik serangga nokturnal yang menjadi makanan tarsius.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home