Loading...
INDONESIA
Penulis: Tunggul Tauladan 15:23 WIB | Sabtu, 11 April 2015

Teologi dan Lingkaran Dinamika Ekonomi

Diskusi bedah buku "“Ekonomi Politik Peradaban Islam Klasik” pada Sabtu (11/4). Dari kiri ke kanan: Dr Rizal Yaya SE, MSc, AK CA (Wakil Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta [UMY]), Prof Dr H Musa Asy’arie (Guru Besar Filsafat Islam Universitas Islam Negeri/UIN Sunan Kalijaga), Ahmad Ma’ruf SE, MSi (Wakil Ketua MPM PP Muhammadiyah) selaku moderator, dan Suwarsono Muhammad, MA (penulis buku). (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Dinamika ekonomi yang lahir hingga saat ini, jika ditarik garis ke belakang, sedikit-banyak, dipengaruhi oleh teologi. Dalam kaidah Islam, hubungan antara teologi dengan ekonomi ini bahkan lebih luas lagi, yaitu menyangkut bidang politik dan kekuasaan. Oleh karena itu, jika kita melihat fenomena teologi, ekonomi, dan politik yang terjadi saat ini, khususnya di negara-negara di Timur Tengah, maka tak dapat dilepaskan dari sejarah peradaban masa lalunya.

Menyoal peradaban Islam klasik tersebut, muncul sebuah buku berjudul Ekonomi Politik Peradaban Islam Klasik karya Suwarsono Muhammad, MA. Buku ini membahas tentang dinamika peradaban Islam klasik, yang secara umum meliputi faktor, yaitu teologi, ekonomi, dan politik. Salah satunya adalah unsur pragmatisme yang menciptakan demoralisasi politik.

Dinamika peradaban Islam inilah yang menjadi pembahasan dalam diskusi bedah buku Ekonomi Politik Peradaban Islam Klasik pada Sabtu (11/4) di Audiorium Universitas Islam Indonesia (UII), Jalan Cik Ditiro No 1, Yogyakarta. Acara yang dihelat oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah ini menampilkan dua narasumber, yaitu Prof Dr H Musa Asy’arie (Guru Besar Filsafat Islam Universitas Islam Negeri/UIN Sunan Kalijaga) dan Dr Rizal Yaya SE, MSc, AK CA (Wakil Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta/UMY).

Prof Musa Asy’arie menyinggung tentang dinamika teologi, ekonomi, dan politik pasca Nabi Muhammad SAW wafat dan digantikan dengan Khulafaur Rosyidin (empat pemimpin pertama Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW). Prof Musa membandingkan dinamika yang terjadi ketika umat Islam dipimpin oleh Abu Bakas Asy Syidiq, (573-634 M, menjadi pemimpin pada 623-634 Masehi/M), Umar bin Khattab (586-590 M, menjadi pemimpin pada 634-644 M), Utsman bin Affan (573-655 M, menjadi pemimpin pada 644-655 M), dan Ali bin Abi Thalib. (599-655 M, menjadi pemimpin pada 655-661 M).

“Ketika era kepemimpinan Abu Bakas Asy Syidiq dan Umar bin Khattab, unsur teologi masih sangat kuat. Unsur teologi ini mampu mendasari perekonomian dan politik saat itu. Namun, ketika dipimpin oleh Utsman bin Affan, perekonomian mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga melemahkan etika politik dengan pragmatisme. Saat itulah lahir berbagai konflik kepentingan soal politik dan ekonomi yang gagal dikembalikan ke era teologi dan politik yang beretika. Bisa dikatakan, demoralisasi politik kekuasaan mulai berkembang. Saat Ali bin Abi Thalib memimpin, pragmatisme telah telanjur berkembang pesat. Ali yang mencoba mengembalikan ke arah teologi mengalami kegagalan karena konflik yang semakin meluas. Puncaknya ditandai dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib,” jelas Prof Musa.

Pragmatisme dan demoralisasi politik ekonomi yang semakin meluas tersebut akhirnya melahirkan dinasti-dinasti Islam dan kerajaan-kerajaan Islam. Di titik inilah, teologi tidak lagi dipandang sebagai muara politik-ekonomi untuk kembali ke jalan yang benar, namun justru memiliki kecenderungan yang digunakan sebagai pembenaran dan pembentukan dukungan publik ketika terjadi perebutan kekuasaan. Inilah yang saat ini berlaku di negara-negara Timur-Tengah.

“Tindakan-tindakan radikalisme yang mengatasnamakan agama yang terjadi saat ini di Timur Tengah sebenarnya telah dimulai sejak terbunuhnya Ali bin Abi Thalib. Tindakan ini bukan agama, melainkan kepentingan politik kekuasaan yang mengatasnamakan agama,” tambah Prof Musa.

Di sisi lain, pragmatisme yang menciptakan demoralisasi politik juga tidak terjadi di Timur Tengah saja, melainkan juga melanda belahan dunia lainnya. Tradisi politik kekuasaan dan ekonomi yang memanfaatkan teologi untuk memberikan pembenaran dan mendapatkan dukungan publik atas politik kekuasaan dan bisnis, yang dalam sejarah ekonomi Arab klasik berbasis pada ghonimah (perampasan harta dan wilayah atas pihak yang kalah, kemudian mulai berkembang di era kolonialisme modern.

Contoh nyata dari kasus yang terjadi saat ini adalah perebutan minyak di Timur Tengah. Penguasaan atas minyak ini ditempuh dengan cara pragmatis, misalnya menyasar pemimpin negara tertentu, memburu, dan membunuhnya. Cara lain yang ditempuh adalah pertukaran antara minyak dengan senjata bagi sebuah negara di Timur Tengah yang sedang terlibat konfik. Senjata dan minyak digunakan sebagai ongkos untuk mendapatkan kekusaan secara politik dan ekonomi. 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home