Loading...
EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan 21:03 WIB | Jumat, 26 Februari 2016

The Economist: Lembong Lebih Baik Dibandingkan Gobel

Mantan Menteri Perdagangan RI, Rachmat Gobel dengan Mendag Thomas Trikasih Lembong. (Foto: Kemendag)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - The Economist, pada hari Jumat (26/2) membandingkan kebijakan dan kinerja mantan Menteri Perdagangan RI, Rachmat Gobel dengan Mendag Thomas Trikasih Lembong.

The Economist menilai di bawah kepemimpinan Gobel Kementerian Perdagangan lebih menghambat perdagangan bebas dibandingkan di bawah kepemimpinan Lembong.

“Untungnya, Gobel digantikan pada Agustus 2015 lalu, dan penggantinya, Tom Lembong, tampaknya percaya bahwa kementerian perdagangan suatu negara harus memfasilitasi dan bukan menghambat perdagangan bebas,” tulis The Economist dalam situs resminya economist.com.

Menurut data The Economist, Rachmat Gobel pernah melarang impor pakaian bekas karena, katanya, hal itu dapat menularkan virus HIV. Dia juga membatasi impor daging sapi untuk mempromosikan tujuan swasembada.

“Hasilnya rendang tidak ada di setiap panci, tetapi kenaikan harga daging sapi, pemogokan dan protes tukang daging '.”

Pandangan Gobel tersebut tetap terlalu umum di Indonesia, dan Lembong terlalu jarang.

The Economist mengakui, Indonesia sebagai negara keempat terpadat di dunia diberkati dengan kekayaan alam batubara dan minyak di bawah tanah dan, di atas itu, hutan dan perkebunan memproduksi karet dan kelapa sawit. Sedangkan potensi yang besar di daerah lain masih belum direalisasi.

“Seperti banyak negara yang bergantung pada sumber daya, proteksionisme dan rent-seeking telah berkembang. Pemerintah melindungi pemain domestik yang besar dengan mengorbankan konsumen.”

The Economist menyebutkan pada tahun 2007 Indonesia memperluas jumlah industri yang tidak dapat dimasuki investasi asing dari 83 menjadi 338, sehingga menjadi negara yang paling bermusuhan terhadap modal asing di Asia Tenggara.

Ketika harga ekspor komoditas melambung dan saat itu permintaan Tiongkok tinggi, model ini bekerja cukup baik. Ekonomi Indonesia tumbuh, dan jika perusahaan asing ingin memiliki apa yang ada di tambang Indonesia, mereka harus tunduk dengan aturan Indonesia.

Sekarang harga komoditas menurun drastis. Kelemahan Indonesia sangat terlihat jelas.

Joko Widodo, presiden Indonesia, yang sedang berkuasa saat ini menjanjikan reformasi. Dia mengatakan banyak hal yang masuk akal, misalnya tentang meningkatkan infrastruktur, mengurangi subsidi dan menarik investasi asing, terutama jenis manufaktur yang membawa nilai tambah tinggi dan menyediakan lapangan pekerjaan.

Tapi jenis perusahaan yang memproduksi pekerjaan tersebut sangat pemilih. Jika Indonesia tidak menciptakan kondisi yang tepat, mereka tidak akan berinvestasi, dan janji Jokowi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen dinilai tidak akan tercapai.

Sayangnya, rekornya telah jatuh dibandingkan dengan retorika reformisnya. Memang dia melakukan sejumlah hal-hal besar setelah menjabat, seperti pemotongan subsidi BBM dan memperkenalkan layanan satu pintu untuk perizinan usaha, yang disederhanakan.

Baru-baru ini ia juga memangkas DNI di Indonesia, menghilangkan hambatan untuk investor asing di 30 bidang ekonomi, termasuk cold storage dan pergudangan, yang diharapkan membantu menstabilkan harga pangan dan membantu nelayan menjual hasil tangkapan mereka.

Yang Lain dari Jokowi

Sayangnya, reformasi ini telah dimentahkan oleh kebijakan lain yang bersifat proteksionistis. Jokowi melakukan beberapa pembatasan dan ia meningkatkan hambatan investasi asing di 19 industri lainnya.

Pada bulan Juli tahun lalu, ia mengeluarkan sebuah aturan yang mengharuskan setidaknya 30 persen dari komponen lokal di tablet dan smartphone yang dijual di Indonesia harus diproduksi di dalam negeri.

Ini di atas kertas tidak cukup baik. Jika Jokowi ingin menjadi orang yang memimpin Indonesia untuk menuju kemakmuran berkelanjutan, maka ia perlu untuk menguatkan karakter reformisnya dengan keberanian. Dan dengan cepat.

Daftar yang harus dlaksanakan mungkin akan panjang, dan dapat dimulai dengan pemotongan DNI dan mencabut pembatasan pertanian untuk mengatasi harga beras yang tinggi.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home