Tokoh Yahudi: Indonesia Sangat Penting bagi Israel
WASHINGTON, SATUHARAPAN.COM - Pasca kontroversi pelarangan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengunjungi wilayah Palestina, Israel justru tampak agresif untuk mendekati Indonesia. Yang terbaru adalah imbauan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang disampaikan kepada para wartawan Indonesia yang mengunjunginya. Ia mengatakan sudah waktunya pemulihan hubungan dengan Indonesia.
Walau Indonesia sudah dengan tegas mengatakan tidak ada kemungkinan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, tetap menjadi pertanyaan mengapa Israel masih demikian agresif. Apa keuntungan bagi negara itu, di tengah masih cukup tingginya penolakan terhadap negara Yahudi tersebut?
Sebagian jawabannya dapat diperoleh dari seorang tokoh Yahudi-AS, Shira Loewenberg, direktur Asian Pacific Institute for the American Jewish Committee (AJC).
Menurut dia, Indonesia “sangat penting bagi Israel, baik secara simbolis maupun secara aktual.”
“Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, pengakuan Indonesia terhadap negara Yahudi memiliki nilai simbolik yang luar biasa bagi kedua negara, juga bagi demokrasi di seluruh dunia," kata dia, sebagaimana disiarkan oleh jns.org. (1/4).
"Barangkali itu juga penyebabnya mengapa hubungan diplomatik kedua negara belum dipulihkan," kata dia.
Sementara itu, Natan Sachs, seorang peneliti kebijakan Timur Tengah pada The Brooking Institution, menganggap agresifitas Israel untuk 'berbaikan' dengan Indonesia merupakan bagian dari tren negara itu untuk mempererat ikatan diplomatis dengan negara-negara di Asia.
Ia menambahkan, Indonesia di mata Israel berbeda dengan negara-negara Islam di Arab yang beraliran Suni. "Indonesia lebih pluralistik dan mereka memandang dirinya demikian," kata Sachs.
Hanya saja, dukungan terhadap Palestina sangat kuat di Indonesia, dan ini yang menyebabkan pemulihan hubungan dengan Israel, menurut Sachs, masih sulit.
"Di Indonesia banyak orang mendukung Palestina bukan karena mereka Muslim, tetapi karena sikap menentang penjajahan... dalam hal itu, banyak orang Indonesia melihat Palestina sebagai underdog dan menderita di bawah kolonialisme," kata Sachs.
Sachs menambahkan bila dilihat secara geografis, jarak antara Indonesia dengan Israel dan Palestina cukup jauh. Oleh karena itu, konfilik Israel dan Palestina sesungguhnya lebih memiliki arti simbolis bagi politik luar negeri Indonesia, dan bukan merupakan bagian utama.
Di mata kalangan bisnis Israel, Indonesia memiliki citra positif dan ingin membuka hubungan lebih jauh. Selama ini, hubungan dagang Indonesia dan Israel dilakukan melalui negara pihak ketiga, dalam hal ini Singapura.
Emanuel Shahaf, CEO Technology Asia Consulting dan Wakil Ketua Israel-Indonesia Chamber of Commerce, termasuk yang menyayangkan pelarangan Israel atas Menlu Retno Marsudi ke Israel. Dalam wawancara dengan World Politics Review, ia mengatakan hal itu memperburuk hubungan dagang yang telah terjadi selama ini.
Berdasarkan data, tahun 2008, nilai perdagangan Indonesia-Israel mencapai US$ 900 juta, terdiri dari ekspor Indonesia ke Israel USD 800 juta. Indonesia mengirim furnitur dan bahan makanan ke Israel. Sedangkan Israel mengirim barang-barang berteknologi tinggi. Tahun 2008 nilai ekspor Israel ke Indonesia mencapai US$ 100 juta.
Saat ini, menurut dia, nilainya mengecil menjadi sekitar USD 500 juta, terdiri dari nilai ekspor Indonesia ke Israel sebesar USD 400 juta dan USD 100 juta nilai ekspor Israel ke Indonesia.
Sama seperti Sachs, Shahaf sedikit pesimistis dengan adanya lompatan positif dalam hubungan diplomatik Indonesia-Israel. Menurut dia, sangat sedikit bahkan hampir tidak ada upaya Indonesia untuk menjalin hubungan.
Namun, suara optimistik datang dari Loewenberg. "Saya percaya ada potensi yang luar biasa bagi tercapainya hubungan diplomatik kedua negara dan sangat jelas ada ketertarikan atas hal ini dari kedua belah pihak, tetapi jalan masih panjang," tutur dia.
Ia mengatakan masih banyak dasar-dasar yang harus diletakkan sebelum hubungan diplomatik resmi tercipta. Namun, sementara ini, menurut dia, hubungan bisnis akan terus berlanjut.
Desember lalu, Menko Kemaritiman, Rizal Ramli, sempat mengumumkan Israel sebagai salah satu dari 84 negara yang memperoleh fasilitas bebas visa ke Indonesia. Namun beberapa jam kemudian pernyataan itu diralat. Menurut Rizal, Israel termasuk satu dari 11 negara yang dicoret dari 95 negara yang diusulkan.
Negara-negara itu dicoret dengan berbagai alasan, yaitu terlibat aktif perdagangan narkoba dan negara pengekspor ideologi ekstrem. Ada pun Israel dicoret karena Indonesia belum memiliki hubungan diplomatik.
Editor : Eben E. Siadari
RI Evakuasi 40 WNI dari Lebanon via Darat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia mengevakuasi 40 Warga ...