Loading...
OPINI
Penulis: Samsudin Berlian 00:00 WIB | Kamis, 08 Mei 2014

Tolak Tenggang

SATUHARAPAN.COM - Kelompok orang banyak membunuh ulama Syiah dan secara bergotong-royong menghancurkan lingkungan tempat tinggal keluarga dan murid-muridnya di Madura. Negara kemudian campur tangan dengan sama sekali mengusir para korban dari kampung halaman mereka. Seorang Ateis di Sumatra Barat tanpa kesalahan kriminal apa pun dipojokkan habis-habisan oleh kelompok-kelompok dan orang-orang pengaku saleh dan akhirnya negara menjatuhkan hukuman penjara kepadanya hanya karena dia mengaku ateis. Penganut Ahmadiyah dilarang beribadah di mana-mana dan diperlakukan sebagai pariah; negara melindungi penindas mereka, dan ikut mempersulit dan menyengsarakan kehidupan mereka yang dianggap sesat itu. Pemberangusan gedung gereja, pelarangan pendiriannya, penolakan pemberian izin pembangunan dan penyelenggaraan ibadahnya, terus berlangsung berdasarkan peraturan resmi yang ditetapkan pemerintah.

Semua pemaksaan kehendak yang kerap berkekerasan ini berlangsung bukan hanya karena dalam beberapa puluh tahun terakhir telah masuk ideologi berbasis kekerasan dari luar negeri, melainkan juga akibat pemupukan ideologi leluhur yang dimuliakan: tenggang.

Tenggang rasa atau tenggang hati adalah sikap dan perilaku, yang dianggap luhur, yang secara sosial dipaksakan kepada setiap anggota masyarakat agar orang tidak melakukan sesuatu yang berbeda dari kebiasaan dalam masyarakatnya itu. Melalui berbagai peraturan, tekanan sosial itu telah diberikan kekuatan legal. Dari berbagai pernyataan pejabat negara dan petinggi partai, terlihat jelas bahwa kemauan dan kebijakan politik pun menjunjung tenggang, bukan hanya dalam konsep, melainkan juga dalam praktik.

Setiap anggota masyarakat disarankan, dengan ancaman terselubung, agar menampilkan wajah religius dan budaya yang serupa dengan masyarakat umum. Pesan pamuncak yang disampaikan oleh Peraturan Bersama Tiga Menteri mengenai pendirian rumah ibadah adalah pendirian tembok-tembok pemisah. Jalan paling ideal untuk memenuhi peraturan itu adalah apabila orang Kristen tinggal dalam lingkungan Kristen, Muslim dalam lingkungan Islam, orang Buddha dalam lingkungan Buddha, orang Hindu dalam lingkungan Hindu, penganut Konghucu dalam lingkungan Konghucu. Hanya dengan demikianlah peraturan itu bisa dilaksanakan tanpa masalah, membentuk masyarakat bineka pecah belah.

Pendukung Peraturan seperti itu, serta segala macam perangkat hukum, kebijakan politik, dan kebiasaan sosial yang memuja tenggang, sering mengemukakan alasan bahwa semua itu diperlukan agar tidak terjadi gunjang-ganjing dalam masyarakat. Pernyataan itu tidak jujur karena sangat tidak sesuai dengan kenyataan. Memang, apabila orang per orang, atau suatu pihak minoritas yang lemah, menimbulkan atau dianggap menimbulkan gunjang-ganjing, mereka serta-merta akan diberangus, diberantas, dibungkam, dan dihukum.

Contoh-contoh di atas membuktikan itu. Akan tetapi, apabila ada kelompok besar masyarakat melakukan gunjang-ganjing, dengan beramai-ramai membakar, menghancurkan, mementung, dan membunuh, mereka biasanya tidak akan mendapatkan sanksi apa-apa, baik secara hukum maupun, apalagi, secara sosial. Justru, dalam pandangan sebagian orang, pelaku kehebohan atas nama tradisi atau kepercayaan atau agama masyarakat umum adalah pahlawan. Dan negara, dari reaksinya terhadap kasus-kasus kekerasan massal yang telah terjadi selama puluhan tahun, jelas enggan mengambil tindakan apa pun terhadap mereka.

Negara, termasuk para aparatus hukum, biasanya diam saja, sama sekali tidak terlihat gelisah atau khawatir, apabila yang bergunjang-ganjing menggoyahkan harmoni adalah kelompok masyarakat berjumlah besar atau bersuara lantang sementara korban kecil rentan tidak berdaya. Malah ada kecenderungan para pendukung tenggang untuk menasihati korban supaya jangan melawan jangan membantah turuti saja kemauan para pemaksa tenggang agar keadaan “tidak bertambah runcing”.

Dalam konteks praktik agama, tenggang adalah pemaksaan sosial terhadap orang per orang untuk taat kepada agama orang banyak, yang dalam kenyataan berarti pemimpin agama mereka. Apabila pemimpin itu menghormati kemajemukan, masalah pun terpendam. Apabila si pemimpin menunjukkan kegarangan narsisistik, celakalah siapa pun yang dianggap tidak bertenggang rasa.

Syiah ditekan, Ahmadiyah di haramkan, gereja dibakar, izin pembangunan gereja baru, atau bahkan izin perbaikan gereja lama, tidak diberikan, Ateis dipenjarakan, semua itu adalah wujud mentalitas tenggang: ketidaksediaan melihat orang lain berpikir atau berbuat hal yang tidak “kami” restui. Apabila “kami” adalah golongan yang tidak segan melakukan kekerasan, pembinasaan pun merekah dan merebak.

Pemimpin-pemimpin agama yang suka toleransi sudah waktunya berhenti menyuruh orang bertenggang rasa, yakni, mempertimbangkan perasaan “kami”. Oh, ya. Memang. Yang diucapkan adalah: mempertimbangkan perasaan orang lain. Tapi yang dimaksudkan adalah perasaan “kami”. Sebab, bagaimanakah perasaan orang bisa diketahui? Hanya apabila disuarakan. Dan suara siapakah yang terdengar? Suara mayoritas yang paling keras, atau suara minoritas di dalam mayoritas yang paling garang dan berparang. Akibat keadaan ini, wujud suruhan bertenggang rasa di dalam kenyataan bukanlah toleransi melainkan: apabila saya sedang sedih, orang lain jangan tertawa di telinga saya; apabila saya sedang puasa, orang lain tidak boleh makan di depan saya; apabila saya sedang berdoa, orang lain tidak boleh bernyanyi; apabila saya sedang bermeditasi, orang lain tidak boleh berdansa-dansi.

Tenggang bukan, dan tidak pernah sama dengan, toleransi. Toleransi adalah sifat atau sikap menghargai, membiarkan, atau membolehkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, atau kelakuan yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Intinya adalah membiarkan apa yang tidak saya setujui; bahkan, membela hak orang lain untuk melakukan hal yang tidak saya setujui.

Sebaliknya, tenggang berarti mengindahkan kepentingan orang atau menimbang perasaan orang. Jadi, patokannya bukan membiarkan, melainkan mengindahkan. Yang menjadi inti dalam toleransi adalah hak orang untuk melakukan yang tidak saya sukai. Yang menjadi inti tenggang adalah mengindahkan perasaan orang dengan tidak melakukan apa yang tidak dia sukai. Ketika menjadi norma, tenggang pun dipraktikkan dari sudut pandang dan kepentingan si pemangku norma, yang berarti, setiap orang harus mengindahkan perasaan pihak yang paling berkuasa, paling kuat, paling garang, dan paling lantang, dengan tidak melakukan apa yang tidak mereka sukai, apa pun itu.

Tenggang telah dipakai rejim otoriter Soeharto untuk memberangus perbedaan dan kemajemukan. Atas nama tenggang, dengan restu politik dan pembenaran hukum, kelompok-kelompok fanatik melakukan kekerasan terhadap segala pihak yang tidak mereka setujui dan semua orang yang tidak mereka sukai. Para pembela toleransi, pecinta kemajemukan, pegiat damai, pendek kata, semua orang normal pada umumnya, sudah waktunya berhenti membeo menyerukan tenggang. Justru sebaliknya, tolak tenggang yang tidak luhur itu.

 

Penulis adalah pemerhati masalah sosial, tinggal di Jakarta  


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home