Loading...
INSPIRASI
Penulis: Weinata Sairin 05:37 WIB | Sabtu, 09 April 2022

Tuhan Yang Menyelamatkan

“Tetapi aku, dengan ucapan syukur dan akan kupersembahkan korban kepada-Mu; apa yang kunazarkan akan kubayar. Keselamatan adalah dari TUHAN!” (Yunus: 2:9)
Yunus. (Foto ilustrasi: dok. Ist)

SATUHARAPAN.COM-Pada saat kita masih kecil dan ikut dalam pelayanan di Sekolah Minggu/Kebaktian Anak, cerita tentang Yunus yang dimakan ikan termasuk cerita yang amat menarik. Walaupun di tahun ’50-an teknologi multimedia belum secanggih sekarang, melalui media gambar dan model penceritaan yang atraktif anak-anak Sekolah Minggu di zaman itu cukup memahami dan menghayati kisah Yunus yang spesifik itu. Terus terang, cerita tentang Yunus yang masuk ke perut ikan untuk anak-anak usia lima tahunan memang sangat menarik dan menyisakan banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan jelas dalam perspektif berpikir seorang anak.

Dalam frame of reference anak-anak Sekolah Minggu, cerita Yunus memberikan sebuah edukasi yang amat jelas. Dalam Pasal 1 Kitab Yunus diuraikan tentang perintah Allah agar Yunus pergi ke Niniwe karena kejahatan penduduk kota telah sedemikian parah hingga sampai kepada Allah. Namun, Yunus menolak perintah itu. Ia malah pergi ke kota lain, yaitu Tarsis. Ia naik kapal dan tidur nyenyak di ruang kapal paling bawah, sementara kapal dipukul ombak besar. Nakhoda datang kepada Yunus di tengah kepanikannya, meminta Yunus berseru kepada Allahnya sehingga mereka terhindar dari kebinasaan. Ombak makin besar, penumpang panik; Yunus meminta mereka mencampakkan dirinya ke dalam laut agar laut reda. Yunus kemudian dilempar ke laut, laut kembali tenang dan Yunus ditelan ikan, bahkan ia tinggal tiga hari di dalam perut ikan.

Kisah Yunus in secara runtut memberi edukasi yang amat jelas bagi anak Sekolah Minggu. Yunus menolak perintah Allah, ia diperingatkan Allah melalui ombak besar yang menyerang kapal, Yunus secara fair mengakui bahwa ia yang menjadi penyebab ombak besar itu, dan meminta dilemparkan ke laut. Laut pun kembali tenang, sementara ia mesti hidup di dalam perut ikan. Cerita Yunus bisa dicerna dengan baik oleh anak-anak dan sangat menarik. Walau memang harus dicatat bahwa dalam angle yang lain, kisah Yunus mengandung banyak metafora.

Metafora biasanya diberi elaborasi oleh para penulis tafsiran, misalnya tentang sosok Yunus yang secara jujur mengakui bahwa ia “biang kerok” datangnya ombak besar itu sehingga ia rela untuk ditenggelamkan ke dalam laut agar banyak orang mengalami keselamatan. Tindakan Yunus yang bersedia mengorbankan diri sendiri demi keselamatan orang lain dan hidup selama tiga hari di dalam perut ikan, memberikan makna yang cukup signifikan dalam konteks relevansinya dengan Perjanjian Baru.

Sebagaimana yang kita ingat dalam memori kita, sesudah Yunus dimuntahkan ikan itu ke darat, Yunus diperintahkan Allah lagi untuk pergi ke Niniwe, sehingga akhirnya penduduk Niniwe bertobat (3:1-10). Namun, Yunus kembali tak memahami dengan baik sikap Tuhan yang mengampuni penduduk Kota Niniwe. Ia pun marah dan meminta Tuhan untuk mencabut nyawanya karena tak ada maknanya lagi ia hidup (4:3). Yunus pergi meninggalkan kota itu karena pemikirannya “paradoksal dengan pemikiran Allah”. Allah kemudian mendekati Yunus yang sering baper itu dengan cara yang spesifik.

Yunus mendirikan sebuah pondok untuk tempat berteduh dan ia duduk dinaungi pondok itu. Lalu, tumbuh pohon jarak yang menaungi Yunus hingga ia sangat bersukacita dengan adanya pohon jarak itu. Esok hari, datanglah ulat yang menggerogoti pohon jarak itu hingga layu dan tidak lagi bisa berfungsi menaungi dirinya. Yunus marah lagi dan minta agar Allah mencabut nyawanya. Di situlah Allah dengan amat kukuh memberikan jawaban “pastoral” kepada Yunus. “Engkau sayang kepada pohon jarak yang tidak engkau tanam yang tumbuh dan binasa dalam waktu satu malam. Bagaimana Aku tidak akan sayang kepada Niniwe yang berpenduduk 120 ribu orang lebih?”

Doa Yunus yang dikutip di awal bagian ini adalah doa yang ia ucapkan dari dalam perut ikan. Ia nyatakan dalam doa itu tindakan dan karya besar Allah dalam hidupnya, khususnya dalam pergumulannya dengan realitas hidupnya di tengah lautan. Dalam doa ini ia nyatakan syukur kepada Tuhan, ia akan persembahkan kurban (bukan korban!), membayar nazar. Ia men-declare, “Keselamatan adalah dari Tuhan!”

Doa yang diucapkan Yunus secara spesifik dari dalam perut ikan ini amat bagus, namun tidak tampak narasi eksplisit bahwa ia berada di dalam perut ikan! Kisah Yunus yang amazing bagi anak dan orang tua itu, bagi kita yang hidup di zaman now punya lesson learn yang amat berarti.

Pertama, pesan imperatif Allah, Titah dan Perintah Allah, bersifat definitif dan aksiomatis. Tak bisa ada tawar-menawar, apalagi deviasi. Kita harus menyesuaikan pikiran dan agenda kita dengan perintah Allah sehingga tidak terjadi paradoks dan diskontinuitas.

Kedua, tindakan penyelamatan Allah terhadap setiap (suku) bangsa adalah hak prerogatif Allah dan tidak bisa diintervensi oleh manusia. Ketiga, sebagai umat Tuhan kita harus menjadi berkat bagi orang lain dan kita harus berani “mengorbankan diri sendiri” demi kepentingan orang lain.

Keempat, kita terpanggil untuk berdoa, bersyukur kepada Tuhan dalam kondisi apa pun; dalam duka maupun suka, dalam perut ikan maupun dalam perut bumi. Kelima, cinta kasih kita kepada semua ciptaan Allah harus terus-menerus ditumbuhkan tanpa harus berhitung besar-kecil atau siapa ciptaan Allah itu.

Kelima butir yang disebutkan di atas bisa menjadi referensi bermakna bagi kita warga Gereja yang kini tengah berjuang keras melawan Omicron. Kita juga terpanggil untuk terus berdoa bagi para sahabat Muslim yang tengah menunaikan ibadah puasa kiranya puasa mereka lancar dan puasa yang mereka laksanakan makin meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home