Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 15:21 WIB | Selasa, 28 April 2020

Uji Coba Plasma Darah Penyintas COVID-19 di Indonesia Bukan Pengobatan Massal

Terapi plasma darah, yang kini tengah diteliti, diharapkan menjadi salah satu opsi pengobatan. Namun peneliti memberi beberapa catatan. (Foto: bbc.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, bekerja sama dengan lembaga penelitian dan laboratorium Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan produsen vaksin Bio Farma, memulai penelitian untuk menguji coba plasma darah penyintas COVID-19 sebagai alternatif terapi pasien.

Meski demikian, peneliti mewanti-wanti, jika berhasil, terapi plasma darah tersebut bukanlah obat massal untuk COVID-19, dan kriteria donor plasma darah masih perlu diperjelas.

Profesor Amin Soebandrio, kepala LBM Eijkman, mengatakan pengobatan COVID-19 dengan memakai plasma darah penyintas, tidak bisa dipakai untuk kalangan umum layaknya obat biasa.

"Perlu dicatat bahwa pengobatan ini sangat individual, tidak bisa dianggap sebagai mass treatment, seperti misalnya kita membuat obat 'x' dan bisa dipakai semua orang, dengan dosis yang sama misalnya tiga kali sehari satu tablet misalnya, tidak demikian," kata Amin, dilansir bbc.com, pada Selasa (28/4).

"Donornya harus dipastikan aman, produknya harus aman dan penerimanya harus dipastikan ketika menerima itu dia tetap aman. Jadi betul-betul individual, tidak bisa dianggap sebagai obat yang dipakai ramai-ramai."

Selain itu, kriteria pasien sembuh dari COVID-19, yang plasma darahnya dipakai dalam uji klinis ini, masih harus diteliti lagi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), baru-baru ini mengatakan belum bisa memastikan mereka yang sembuh dari virus corona akan kebal dari virus tersebut. Ada kemungkinan mereka bisa terjangkit kembali, kata WHO.

Ketika seseorang terjangkit COVID-19, sistem kekebalan tubuh mereka merespons dengan menciptakan antibodi, yang menyerang si virus. Lama-kelamaan antibodi ini terkumpul dan bisa ditemukan di plasma, komponen cairan darah.

Selama ini, penderita COVID-19 dinyatakan sembuh jika hasil tes swab tenggorokannya negatif selama dua pengujian, dengan reagen virus corona secara berturut-turut. Namun, pakar biologi molekuler Ahmad Rusjdan Utomo mengatakan hal tersebut tidak lagi relevan.

"Kita mulai baca laporan dari berbagai jurnal (ilmiah) itu ternyata tidak cukup kalau swab tenggorokan atau nasal, mungkin juga swab dari rektal atau anal. Karena virus ini kan clearance -nya atau salah satu jalur keluar dari tubuh adalah melalui rektum, jadi kalau dari rongga atas sudah bersih, pastikan rongga bawahnya sudah bersih apa belum," kata Ahmad.

Ahmad mengatakan, pasien COVID-19 yang sudah sembuh di China tidak langsung dilepas ke masyarakat, dan mereka harus dikarantina lagi selama dua minggu. Mereka juga dimonitor secara berkala dengan tes.

"Kelemahan (uji klinis plasma darah) karena kriterianya masih moving target, apa kriteria sembuh? Lalu apa kriteria donor? Apakah cukup dengan PCR tes dua kali, dengan periksa tenggorok, dan jika itu bersih apakah itu cukup? Karena orang bisa kena (virus corona) lagi. Ketika ia sembuh belum tentu kebal. WHO juga sudah mengeluarkan datanya," katanya.

Butuh 45 Menit

Salah satu penyintas COVID-19 di Indonesia yang sudah menyumbangkan plasma darahnya untuk uji klinis tersebut adalah, Ratri Anindyajati, atau pasien 03.

Ratri mengatakan, awalnya ia tak langsung yakin akan berpartisipasi dalam penelitian tersebut.

"Waktu awal di-approach sama Kemenkes melalui RSPAD (Gatot Soebroto) kan dibilangin, iya nih, ternyata ada penelitian bahwa plasma darah yang sudah sembuh bisa bantu yang sedang sakit. Tapi karena aku pribadi bukan orang medis sama sekali jadi begitu dikasih tahu bahwa itu nanti darah merahku diambil semuanya, terus masuk ke sebuah mesin, disaring plasma darahnya, itu takut saja sebenarnya. Itu bagaimana sih konsepnya? Mesinnya seperti apa?" kata Ratri.

Ia lalu memikirkan permintaan tersebut selama dua minggu, yang dipakainya untuk pelan-pelan membaca dokumen yang diberikan oleh pihak rumah sakit, sebelum menandatangani pernyataan yang menunjukkan kesediaannya menjadi donor plasma darah.

Pihak rumah sakit, kata Ratri, sabar menanti sampai ia siap dan bersedia menjadi donor.

"Begitu (plasma darah) kita diambil, sakitnya itu seperti ada jarum masuk, jarumnya tebal banget sih, aku belum pernah lihat jarum pengambilan darah sebesar itu," kata Ratri.

Ratri menyumbang 200 cc darah, yang tidak semuanya diambil secara langsung. Prosesnya dilakukan dalam dua kali putaran: pertama, ia menyumbang 100 cc darah.

Darah merah yang keluar masuk ke sebuah mesin, di mana terdapat sebuah selang untuk menyaring plasma darah yang masuk ke tabung lain. Darah merah yang sudah keluar lalu masuk ke tubuhnya kembali. Pengambilan darah 100 cc yang berikutnya pun dilanjutkan dengan proses yang sama.

"Jadi total aku duduk di situ 45 menitan, hampir 50 menit, tanganku kesemutan," kata Ratri.

Sementara itu adiknya dan ibunya, yang adalah pasien COVID-19 01 dan 02 di Indonesia, tidak bisa menjadi donor karena alasan kesehatan. Ia mengatakan, sang ibu telah melahirkan tiga kali, sehingga tidak bisa menjadi donor.

Meskipun awalnya takut, Ratri mengatakan ia akhirnya bersedia menjadi donor untuk kebaikan masyarakat bersama. Selain itu, ia menjadi tenang setelah diberitahu dokter bahwa menyumbang plasma darah tidak membuat kepala pusing dan reproduksinya di dalam tubuh hanya 15 hari, dibandingkan dengan donor darah yang reproduksinya bisa mencapai enam minggu.

Ratri, beserta adik dan ibunya, memilki tekanan darah rendah sehingga ia tidak pernah dibolehkan menyumbang darah.

"Memang takut, tapi akhirnya aku pikir it's for the greater good saja, dan sebenarnya the sooner vaksin untuk COVID-19 bisa ditemukan kan the sooner for everyone ...and to my own benefit, kalau aku sakit lagi dan vaksinnya sudah ada, kan itu lebih enak," katanya.

Perlu Protokol Kesehatan yang Aman

Amin Soebandrio, kepala LBM Eijkman, mengatakan saat ini pihaknya tengah menyusun protokol kesehatan yang aman bersama RSPAD Gatot Soebroto.

"Kami harus memastikan bahwa di dalam plasma darah donor tersebut terdapat cukup antibodi yang bisa menetralisir virus dalam tubuh pasien, untuk mengukur antibodi harus dilakukan dengan cara menantang dengan virusnya langsung. Jadi virus corona harus diam di dalam sel hidup, kemudian diberikan antibodi itu, kalau antibodi itu memang cukup kadarnya maka dia akan menghambat pertumbuhan virus di dalam sel," kata Amin.

Mengingat uji klinis ini, tidak akan menguji antibodi dalam plasma darah terhadap virus corona di dalam sel hidup, Amin mengatakan bahwa laboratorium untuk pengujian harus memiliki biosafety level 3, dan sudah bisa melakukan uji klinis terhadap manusia.

Di Indonesia, laboratorium sejenis ini hanya ada tiga dan semuanya berada di Pulau Jawa, yakni laboratorium milik Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan, laboratorium Eijkman, dan laboratorium di Universitas Airlangga, Surabaya.

Proses pengujian di laboratorium ini membutuhkan waktu "agak lama," kata Amin. Setelah diuji, plasma darah siap diberikan kepada pasien. Namun, tahapannya tidak berhenti sampai di situ saja,

"Setelah plasmanya siap kita mesti lihat pasiennya, itu tugas teman-teman di rumah sakit. Pertama harus memastikan pasien itu memiliki indikasi untuk mendapatkan plasma tadi. Jadi plasma ini tidak boleh digunakan untuk pencegahan, tidak boleh diberikan kepada orang yang sehat karena ia takut kena virus corona. Jadi hanya diberikan kepada pasien yang sedang dirawat karena COVID-19," kata Amin.

Potensi sembuh virus corona dengan terapi plasma darah "cukup tinggi," katanya.

"Kalau vaksin kita masih harus menunggu berbulan-bulan. Di negara maju pengembangan vaksin pun baru sampai fase uji klinis yang pertama. Jadi masih butuh waktu memastikan apakah dia cukup efektif atau tidak. Sedangkan terapi plasma convalescent ini dapat diberikan segera, dalam waktu yang relatif singkat, mungkin satu bulan dari sekarang, kita harapkan bisa mulai," katanya.

Ia menambahkan uji klinis ini akan melibatkan lebih banyak rumah sakit di Indonesia.

Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Andika Perkasa, telah mengatakan bahwa peneliti wajib menerapkan protokol kesehatan yang benar agar keamanan pasien dan donor terlindungi.

"Jangan sampai dilanggar, karena saya tidak ingin ada masalah. Kode etik dan protokol harus diikuti. Persetujuan dari pasien yang akan sukarela menjadi objek percobaan juga harus diperhatikan. Tidak boleh ada tekanan. Sehingga tidak ada masalah di kemudian hari," kata Jenderal TNI Andika Perkasa, seperti ditulis oleh akun resmi Angkatan Darat di Facebook.

Pakar biologi molekuler Ahmad Rusjdan Utomo mengatakan, uji klinis plasma darah ini sebaiknya diawasi oleh pusat pendidikan, dan hasilnya diterbitkan dalam jurnal ilmiah agar bisa dipelajari oleh berbagai pihak.

"Yang mengerjakan harusnya di pusat pendidikan supaya kriterianya bisa detail. Kalau tidak detail kriterianya jadi masalah baru nanti. Kita harus tahu subtipe antibodinya apa dan bisa menetralisir virusnya atau tidak, ini bisa rumit. Saya tidak mengatakan jangan dilakukan, saya mengatakan tolong kalau nanti mengerjakan itu di bawah supervisi pusat pendidikan. Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia misalnya. Jadi semua itu terkontrol," kata Ahmad.

Uji Coba Plasma Darah di Berbagai Negara

Di Inggris, NHS Blood and Transplant (NHSBT), meminta orang-orang yang sembuh dari COVID-19 untuk menyumbangkan darah, sehingga lembaga kesehatan itu bisa menguji coba terapi tersebut.

Profesor Sir Robert Lechler, presiden Akademi Ilmu Kedokteran dan direktur eksekutif King's Health Partners, yang terdiri atas King's College London dan tiga rumah sakit besar di London, juga berencana mengadakan uji coba berskala kecil.

Ia ingin menggunakan plasma untuk pasien yang sakit parah dan tidak punya pilihan pengobatan lain, sementara uji coba skala nasional masih berlangsung.

Sementara itu di AS, para ilmuwan menyelenggarakan proyek nasional hanya dalam tiga pekan, dan sekitar 600 pasien telah menerima pengobatan. Ikhtiar ini dipimpin Profesor Michael Joyner, dari Mayo Clinic.

Bintang film Hollywood, Tom Hanks dan istrinya Rita Wilson, yang sembuh dari virus corona, juga telah menyumbangkan plasma darahnya.

"Kami tidak hanya didekati, kami telah mengatakan, 'Kamu mau darah kami? Bisa tidak kami menyumbang plasma?' Kami justru ingin menyumbang plasma darah sekarang ke tempat-tempat yang ingin mengujinya, di mana saya harap mereka menamainya 'Hank-sin,'" katanya dalam sebuah wawancara dengan radio publik AS, NPR.(bbc.com)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home