Loading...
OPINI
Penulis: Trian Airlangga 00:00 WIB | Sabtu, 29 Juli 2017

Urgensi Komisi Nasional Disabilitas

Kasus perundungan yang menimpa MF telah menjadi perhatian luas saat Hari Anak Nasional lalu. Kini saatnya untuk mendorong Komisi Nasional Disabilitas guna memberi perlindungan lebih menyeluruh

SATUHARAPAN.COM - Hari Anak Nasional lalu secara khusus mengangkat kasus MF sebagai trigger potret perlindungan anak anak di Indonesia. Sudah 11 hari kisah MF berlalu. Namun media tetap memberitakan. Mulai dari Presiden, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Sosial, Anggota DPR RI, Para Psikolog, Praktisi Pendidikan bahkan 303 Organisasi/Komunitas/Kelompok Penyandang Disabilitas yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Hak Hak Penyandang Disabilitas (MPHPD) secara khusus menyampaikan keprihatinan kepada pihak Universitas Gunadarma, keluarga korban, para mahasiswa dan orang tua mahasiswa yang menjadi pelaku perundungan.

Pelaku melakukan perundungan terhadap MF dalam berbagai bentuk tidak manusiawi seperti mengambil barang personal dan mengganggu wilayah pribadi seperti mengambil HP, buku, merebahkan motor, menyuruh pegang kotoran kucing dan mengunci korban dalam kelas, terakhir mereka mempublikasi video perundungan 14 detik di Instagram yang viral beredar di media sosial. Meski kemudian para pelaku mengakui bahwa kejadian yang direkam dalam video itu hanyalah ‘iseng’ atau ‘main-main’ yang memang direncanakan sebagai penanda akhir semester. Pengakuan ini tersebar dari akun Instagram @Thenewbikingeregetan. Semua hal ini seharusnya sudah dinilai kasus serius oleh pihak Universitas Gunadarma.

Serupa dengan kasus di Mall Thamrin City, sekelompok pelajar sengaja merencanaan kejahatan perundungan terhadap salah satu siswi. Para pelaku sengaja merencanakan perbuatannya dengan mengundang ‘sang korban’ ke lokasi di depan pertokoan yang kala itu tutup. Alasan perundungan disinyalir karena hubungan teman antara ‘suka’ dan ‘tidak suka’ melalui media sosial.

Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan Universitas Gunadarma merespon kasus perundungan di Universitas Gunadarma sejak 17 Juli 2017 lalu. Mulai dengan investigasi kepada 12 orang tersangka pelaku menggunakan  metode wawancara, pembuktian terbalik, dan reka ulang kejadian. Salah satu hasil investigasinya, pihak Universitas Gunadarma melakukan konferensi pers pada 18 Juli. Dalam konferensi pers tersebut, pihak universitas mengumumkan dua pelaku utama yang diberi sanksi pemberhentian akademik selama satu tahun; satu pelaku diberhentikan secara akademik untuk selama 6 bulan; serta sembilan orang lainnya diberi peringatan tertulis.  Salah satu alasan para pelaku perundungan ini terungkap yaitu ada anggapan ‘MF berbeda dengan teman temannya di kelas’. Salah satu staf pengajar menyatakan bahwa setidaknya ada 20 mahasiswa penyandang disabilitas yang saat ini belajar di Universitas Gunadarma.

 

Jaminan Undang-Undang

Negara kita memiliki UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang Undang ini memberi semangat dan motivasi bagi para orang tua yang memiliki anak penyandang disabilitas, bahwa Negara dan masyarakat memiliki 3 tanggung jawab yaitu tanggung jawab melindungi, tanggung jawab memenuhi dan tanggung jawab kesetaraan. Namun seringkali yang terjadi ditengah kejadian kasus hukum yang menimpa penyandang disabilitas, khalayak lebih cenderung memilih memperdebatkan hambatan, kebutuhan khususnya atau jenis disabilitasnya.

Padahal tiga tanggung jawab yang dimaksud dalam UU tersebut menyatakan pentingnya mendahulukan pembahasan dukungan kepada mereka. Di dalamnya UU itu melengkapi dengan menyatakan dalam pasal 42 tentang pentingnya membangun Unit Layanan Disabilitas dengan memperhatikan point a sampai g dalam pasal tersebut. Pada point e dinyatakan ‘kampus melakukan deteksi dini bagi peserta didik yang terindikasi disabilitas’ dan di point g dinyatakan ‘kampus memberikan sosialisasi pemahaman disabilitas dan system pendidikan inklusif kepada pendidik (dosen), tenaga kependidikan (para pekerja di kampus) dan peserta didik (mahasiswa). Selain juga bicara tentang kebutuhan personal assistant (pendampingan), aksessibilitas (ruang gerak yang ramah) dan kemandirian.

UU No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Sosial Anak juga menyampaikan bahwa anak anak yang menghadapi masalah kesejahteraan sosial diberikan ruang pengembangan diri sampai umur 21 tahun. Dinyatakan dalam UU tersebut bahwa batas umur 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak yang dicapai pada umur tersebut.

Artinya usia anak dengan disabilitas dijamin hak haknya sebagai anak sampai berumur 21 tahun. Seperti diketahui bagi mereka penyandang disabilitas sandaran umur mejadi relatif karena mempertimbangkan perkembangan, tindakan dan perilaku. Namun bukan berarti kasus hukum terhadap penyandang disabilitas tidak bisa dibuktikan. Sudah banyak metode yang dapat digunakan dan berkembang dalam mendampingi kasus hukum yang menimpa penyandang disabilitas.

Begitu juga sanksi bagi siapa saja yang tidak dapat memenuhi tanggung jawab tersebut jelas diatur dalam UU tersebut. Untuk itu posisi pemerintah dan masyarakat diwajibkan melakukan sosialisasi, merintis membangun aksessibilitas yang dipandu dalam Kemen PU Nomor 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan yang berisi lengkap tentang perencanaan dan ukuran bangunan  yang dapat diakses penyandang disabilitas. Karena instrument yang telah lengkap inilah UU No 8 tahun 2016 membunyikan sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya. Bunyi tersebut ada dalam UU No 8 Tahun 2016 di pasal 143 yang menyatakan hak hak penyandang disabilitas tidak bisa dihalang-halangi dan pasal 145 dinyatakan bahwa bila hak hak tersebut dihalangi maka sanksi pidana kurungan 2 tahun dan denda 200 juta rupiah menanti bagi siapa saja yang melanggar.

Ada hal yang menarik didalam komunikasi antara MPHPD dan Kampus Gunadarma selama kasus ini terjadi, hubungan yang naik turun. Ketika MPHPD menjelaskan sebab dan akibat dari kasus MF, kemudian membawa Kampus membuka diri, setelah dua hari penuh tanpa keterangan kepada insan pers. MPHPD memberikan dukungan atas keberanian kampus yang secara terbuka menyampaikan apa yang terjadi. Namun di keesokan hari tepatnya pada Selasa 18 Juli 2017 siang hari Kampus melalui juru bicara bidang kemahasiswaan menyampaikan aksi kekerasan itu adalah ke’iseng’an, ke’biasa’an dan spontanitas.

Hal ini membuat reaksi keras organisasi yang tergabung dalam MPHPD. Mereka menegaskan sangat tidak layak dan tidak manusiawi video durasi 14 detik yang memperlihatkan hambatan komunikasi antara MF dengan teman temannya dinyatakan seperti itu. Apalagi setelah MPHPD bertemu dengan keluarga korban menyatakan telah dipanggil pihak kampus dan memberikan keterangan bahwa kasus perundungan tersebut telah dialami korban 2 semester.

Kisah ini mengusik LBH Disabilitas Jawa Timur, Ketua lembaga tersebut datang mewakili MPHPD melakukan aksi di depan kampus dan menemui pihak kemahasiswaan, namun sayangnya pihak kampus menyatakan menolak. Namun Hari yang tuna daksa tetap memaksakan diri agar pihak kampus mendengarkan terlebih dahulu. Beliau sangat mengapresiasi langkah kampus memberikan sanksi akedemik dan administratif serta kesediaan membuat panduan bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. Namun itu tidak lengkap tanpa penyadaran baik dari pelaku maupun orang tua pelaku.

Bagi Hari langkah tersebut menjadi sangat penting dan substansi, belajar dari berbagai kasus yang didampingi. Pengalaman kami kalau kasusnya kemudian tidak ada perhatian, maka seperti selesai begitu saja, dan akhirnya LBH mendapat laporan kejadian kekerasan berulang. Karena lingkungan kampus itu besar, dan juga ada teman teman MF yang lain. Hal tersebut perlu menjadi perhatian pihak Kampus Gunadarma.

Menurut Hari Kurniawan Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Disabilitas menceritakan dari 27 kasus penyandang disabilitas yang didampinginya baik anak, remaja maupun orang dewasa, seringkali mereka jadi korban berlapis akibat ketidakpahaman pihak pihak yang menangani proses hukumnya. Akibat perspektif para penegak hukum, lembaga pendidikan ataupun perusahaan yang sangat minim. Hal serupa terjadi pada MF dimana pihak Universitas Gunadarma tidak memahami soal disabilitas serta ‘reasonable accommodation’ atau kebutuhan layak yang dibutuhkan oleh MF. Terbukti dari 2 kali konpers kampus Gunadarma belum menyentuh persoalan substansinya.

Bahwa dalam setiap kasus harusnya ada penyadaran, tidak bisa pelaku hanya menjalani masa hukuman ‘kosong’. Makanya MPHPD  bersikeras mengajak pihak kampus memberikan sanksi sosial, apalagi mereka dalam masa usia belajar. Perlu hukuman yang edukatif, membangun jiwa mereka ke arah positif, karena itu lebih penting bagi masa depan mereka. Dan tentu hal itu bisa berdampak baik kepada keberlangsungan pendidikan di Kampus Gunadarma kedepan. Tidak ada untungnya kondisi tersebut disembunyikan.

Terakhir, harapan adalah kepada kita semua dalam memandang kasus yang dihadapi penyandang disabilitas. Hendaknya perjalanan pembahasan kasus tersebut menghilangkan stigma, stereotype, labelling yang menyebabkan kasus menjadi bulan-bulanan dan tidak menyentuh persoalan yang sesungguhnya. Sudah saatnya kita mengurangi pembahasan yang tidak perlu dengan mencari cari jenis Disabilitas, namun alangkah baiknya setelah melihat kondisinya segera membahas dukungan apa yang bisa kita berikan.

 

Urgensi KND

Di sini kita belajar pentingnya Komisi Nasional Disabilitas (KND) segera dibentuk, agar advokasi dan penyadaran bersama seperti yang dilakukan MPHPD tidak diabaikan. Belajar dari komunikasi antara Kampus Gunadarma dan MPHPD. Legitimasi Negara menjadi penting memperkuat advokasi berbagai kasus yang menimpa Disabilitas.

Pasal 131 UU No 8 Tahun 2016 menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dibentuk KND sebagai lembaga nonstruktural yang bersifat independen. Merupakan para penyandang disabilitas yang mumpuni, punya komitmen, dipenuhi dari beberapa unsur keilmuwan dan ragam disabilitas. Tentunya dengan memperhatikan perjalanan fit and proper test. Agar kedepan dalam melakukan pengawasan, sosialisasi, pendampingan kasus kasus hukum yang dialami penyandang disabilitas ada kesetaraan.

KND merupakan mandat UU No 8 Tahun 2016 yang memberikan wewenang dalam memajukan hak-hak penyandang disabilitas. Kita berharap pemerintah segera membuat produk turunan pembentukan KND tersebut, agar kasus kekerasan disabilitas tidak semakin meluas dan ada yang mengawal serta mendapat jaminan oleh negara. Sehingga ada pejabat  dan anggaran khusus guna jaminan para penyandang disabilitas di mata hukum. Harapannya kedepan dengan adanya KND Pendidikan Inklusi yang dilaksanakan Kemenristekdikti dan Kemendikbud dapat di evaluasi.

 

Penulis adalah Koordinator Masyarakat Peduli Hak Hak Penyandang Disabilitas (MPHPD)

Link Organisasi Pendukung https://goo.gl/yjmjWo

Petisi MPHPD https://goo.gl/pG9oir

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home