Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 11:10 WIB | Senin, 05 Oktober 2015

Utang Jatuh Tempo Swasta Capai Rp 609 Triliun Cemaskan Investor

Lonjakan utang swasta mulai terlihat sejak 2011 seperti tampak pada grafik ini. Utang swasta yang berwarna hitam terus meningkat melampaui utang luar negeri pemerintah. (Grafik: Forbes)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kekhawatiran terhadap tekanan pinjaman luar negeri swasta Indonesia semakin besar seiring dengan keharusan perusahaan-perusahaan itu untuk memperpanjang tempo pinjaman yang akan jatuh tempo dalam waktu 12 bulan ke depan. Utang swasta yang jatuh tempo dalam jangka satu tahun atau kurang diperkirakan mencapai US$ 42 miliar, atau Rp 609 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.500 per dolar AS.

Di mata investor, sebagaimana dilaporkan oleh The Financial Times, tekanan utang luar negeri jangka pendek ini  merupakan sinyal bahaya. Sebab, utang luar negeri pula yang menjadi 'bensin' bagi krisis keuangan Asia pada 1997-1998, ketika nilai tukar tertekan oleh membengkaknya pinjaman dalam mata uang asing di berbagai wilayah kawasan itu.

Dewasa ini, beberapa mata uang Asia, termasuk rupiah, telah melemah ke tingkat yang sama dengan masa krisis 1997-1998. Walau  utang luar negeri negara-negara Asia cukup lambat pertumbuhannya sesudah krisis 1997-1998, dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan drastis.  Di Indonesia pinjaman sektor swasta telah meningkat dua kali lipat sejak tahun 2010 menjadi US$ 169,2 miliar per Juli 2015 menurut data Bank Indonesia.

Seperempat dari pinjaman ini adalah pinjaman jangka pendek yang jatuh tempo dalam waktu kurang dari satu tahun. Sebanyak 96 persen adalah dalam mata uang asing. Rupiah telah mengalami depresiasi lebih dari 18 persen sejak awal tahun terhadap dolar AS.

"Kasus yang mengkhawatirkan Indonesia sangat jelas," kata Taimur Baig, kepala ekonom untuk Asia di Deutsche Bank Research. "Profil utang Indonesia di sektor korporasi cenderung tidak berjangka panjang. . . berarti setiap tahun sekitar 20 persen utang tersebut akan bergejolak, " kata dia.

Depresiasi rupiah yang berlangsung cepat berdampak pada menggelembungnya bunga utang bagi banyak perusahaan di Indonesia. dan pada saat yang sama para  pemberi pinjaman semakin khawatir tentang perlambatan ekonomi yang sedang berlangsung.

Murahnya pinjaman dolar AS beberapa waktu lalu telah  memikat emiten untuk menerbitkan surat utang di luar negeri, apalagi pasar utang di dalam negeri masih relatif kecil.

"Salah satu tantangan terkenal Indonesia adalah  pendalaman  pasar modal mereka," kata Brian Grieser dari  Moody's. "Pasar mungkin tidak mampu menyerap pembiayaan yang lebih besar."

Banyak juga analis yang berpendapat bahwa pemicu menggelembungnya utang adalah karena  pengembang Indonesia pendapatannya sebagian besar dalam mata uang rupiah padahal pinjamannya dalam mata uang asing.

Penelitian terbaru oleh Moody's menunjukkan lebih dari dua pertiga  utang pengembang dalam negeri adalah dalam mata uang dolar AS. Dan ketika terjadi depresiasi tajam rupiah dalam beberapa bulan terakhir, sebagian besar utang itu tidak mendapatkan proteksi lindung nilai.

Sebagai contoh, Alam Sutera Realty dan Lippo Karawaci. Perusahaan pengembang yang sudah perusahaan terbuka (Tbk) ini, memberi lindung nilai pada utangnya hanya apabila nilai tukar lebih lindung nilai ketika nilai tukar lebih kuat dari Rp 14.000 per dolar AS, padahal nilai tukar dolar AS saat ini sudah Rp 14.645, 9 per dolar AS.

Tahun lalu Bank Indonesia mengharuskan perusahaan memberi lindung nilai pada sebagian besar pinjaman luar negerinya, sebagai upaya pengamanan terhadap gejolak kurs dalam mengantisipasi kenaikan suku bunga AS.

Menurut peneliti INDEF, Dzulfian Syafrian, salah satu faktor yang menyebabkan pelemahan rupiah adalah kekhawatiran akan utang swasta. Besarnya jumlah utang swasta yang akan jatuh tempo memicu mengeringnya pasok dolar AS di dalam negeri yang kemudian memicu pelemahan rupiah.

"Jika rupiah terus melemah hingga mencapai Rp 15.000 per dolar AS, sejumlah bank akan kolaps," kata Dzulfian, sebagaimana dikutip oleh The Jakarta Post.

Sebelumnya, Guru Besar FE-UI, Iwan Jaya Azis sudah mengingatkan hal senada. Ia melihat penumpukan utang luar negeri swasta bermiripan dengan pola sebelum krisis keuangan Asia 1997-1998. Menurut dia, sistem keuangan saat ini rentan seiring dengan nilai tukar rupiah yang terus melemah karena lonjakan utang swasta dalam mata uang asing. Menurut dia, kredit bermasalah akan meningkat. "Saya khawatir tentang bank kecil dan menengah," kata dia.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home