Loading...
SAINS
Penulis: Sabar Subekti 08:53 WIB | Senin, 01 Februari 2021

Virus Nipah: 600 Kasus dalam 17 Tahun, COVID-19: 100 Juta dalam Setahun

Virus Nipah. (Foto: dok. US CDC)

SATUHARAPAN.COM-Laporan yang beredar baru-baru ini menyebutkan bahwa virus Nipah berpotensi menjadi pandemi global berikutnya. Namun data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan Nipah dilaporkan hanya menginfeksi 600 orang dalam 17 tahun.

Virus Nipah, yang pertama kali diidentifikasi pada wabah di Malaysia pada tahun 1998, menginfeksi sekitar 600 orang antara tahun 1998 dan 2015, menurut WHO dikutip Al Arabiya.

Sementara itu, virus corona menurut data hingga akhir Januari ini menginfeksi lebih dari 100 juta orang di seluruh dunia dalam waktu setahun setelah muncul pada akhir tahu  2019. Lagipula, banyak pihak kesehatan yang menyebut bahwa jumlah kasus COVID-19 yang dikonfirmasi hanya sebagian kecil dari jumlah infeksi sebenarnya di seluruh dunia.

WHO mendefinisikan pandemi sebagai "epidemi yang terjadi di seluruh dunia, atau di wilayah yang sangat luas, melintasi batas internasional dan biasanya memengaruhi banyak orang".

Nipah, virus zoonosis yang ditularkan dari hewan ke manusia, menyebabkan berbagai penyakit mulai dari infeksi tanpa gejala hingga penyakit pernapasan akut dan ensefalitis yang fatal, menurut WHO. Wabah besar disebabkan penularan dari kelelawar dan babi.

WHO mengatakan pada 2018 bahwa virus Nipah menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena menginfeksi berbagai hewan dan menyebabkan penyakit parah dan kematian pada manusia. Namun, "Virus Nipah hanya menyebabkan beberapa wabah yang diketahui di Asia," tambahnya.

Negara-negara yang pernah terkena dampak Nipah di masa lalu antara lain: Malaysia, Singapura, Bangladesh dan India. Negara lain, yang diidentifikasi WHO sebagai "mungkin berisiko terinfeksi" termasuk: Kamboja, Ghana, Indonesia, Madagaskar, Filipina, dan Thailand.

"Orang yang terinfeksi awalnya mengalami gejala termasuk demam, sakit kepala, mialgia (nyeri otot), muntah dan sakit tenggorokan. Ini bisa diikuti oleh pusing, kantuk, kesadaran yang berubah, dan tanda-tanda neurologis yang mengindikasikan ensefalitis akut," kata WHO dalam sebuah laporan.

"Tingkat kematian kasus diperkirakan 40 persen hingga 75 persen. Angka ini dapat bervariasi berdasarkan wabah tergantung pada kemampuan lokal untuk pengawasan epidemiologi dan manajemen klinis," tambahnya.

WHO menempatkan Nipah sebagai salah satu penyakit prioritas untuk penelitian dan pengembangan dalam konteks darurat kesehatan masyarakat. Daftar WHO memprioritaskan penyakit yang "menimbulkan risiko kesehatan masyarakat terbesar karena potensi epidemi.” Tetapi daftar itu tidak lengkap dan "tidak menunjukkan kemungkinan besar penyebab epidemi berikutnya."

Sebuah LSM yang didanai oleh pemerintah Inggris dan Belanda,Access to Medicine Foundation, menggarisbawahi dalam laporan pada 26 Januari bahwa tidak ada obat atau vaksin untuk virus Nipah, yang digambarkan sebagai "risiko pandemi."

Direktur eksekutif LSM, Jayasree K Iyer, yang dikutip oleh The Guardianmengatakan: "Nipah bisa meledak kapan saja. Pandemi berikutnya bisa jadi infeksi yang kebal obat."

Pada hari Minggu, seorang konsultan penyakit menular dari Yordania mengatakan tidak perlu panik atas Nipah. "Nipah tidak tahan terhadap ganasnya virus corona," kata Roya Newsmengutip pernyataan Dirar Balawi.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home