Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 09:05 WIB | Minggu, 14 Oktober 2018

Visual Sampah dan Masalah Lingkungan pada Pameran "Hip Hip Hura Hura"

Visual Sampah dan Masalah Lingkungan pada Pameran "Hip Hip Hura Hura"
Pengunjung anak-anak sedang mengamati karya tiga dimensi "Pleno Pariporno (Deforestasi)" yang dibuat Pambudi Sulistio pada pembukaan pameran "Hip Hip Hura Hura" di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No. 2 Yogyakarta, Jumat (12/10) malam. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Visual Sampah dan Masalah Lingkungan pada Pameran "Hip Hip Hura Hura"
Puplik Figure - sampah botol lem plastik, tinta plastik, kabel - Gunadi Uwuh - 2018.
Visual Sampah dan Masalah Lingkungan pada Pameran "Hip Hip Hura Hura"
Karya tiga matra berjudul "Verso" karya Hery Sudiono (depan) dan "Flag of Fighter" karya Eiwand Suryo (belakang).
Visual Sampah dan Masalah Lingkungan pada Pameran "Hip Hip Hura Hura"
Salah satu karya Gunadi Uwuh dari serie karya "Animal Synthetic".

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Permasalahan sosial-lingkungan terkait dengan eksploitasi sumberdaya alam (SDA) yang berlebihan, sampah dan polutan rumah tangga maupun industri yang semakin menambah beban lingkungan, distribusi pemanfaatan SDA yang tidak memperhatikan kelestariannya, sedikit banyak mempengaruhi kebiasaan masyarakat serta turut membentuk beragam budaya masyarakat menjadi peduli, pesimis, optimis, pragmatis, atau bahkan apatis terhadap permasalahan sosial-lingkungan yang akhir-akhir ini kerap menyebabkan bencana kemanusiaan akibat semakin menurunnya daya dukung lingkungan dalam mengakomodasi kebutuhan manusia. 

Enam seniman-perupa mempresentasikan karyanya dalam pameran visual dengan merespon permasalahan sosial-lingkungan yang muncul pada pameran "Hip Hip Hura Hura". Keenam seniman-perupa tersebut adalah N. Rinaldy, Hery Sudiono, Pambudi Sulistio, Gunadi Uwuh, Anton Yuniasmoro, dan Eiwand Suryo. Pameran yang berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) dibuka pada Jumat (12/10) malam.

Dalam tulisannya Hery Sudiono menjelaskan bahwa selama periode dari tahun 1980, telah terjadi perubahan luas politik, degradasi lingkungan, kemajuan teknologi dan inflasi ekonomi. Hal tersebut ditandai dengan penolakan tatanan sosial dan nilai-nilai tradisional, yang, pada gilirannya, berdampak pada filsafat seni dan produksi.

"Pameran Hip Hip Hura Hura merupakan sebuah perayaan eksistensi perupa yang lepas, lugas bebas bermain tanpa beban dalam keceriaan sebuah eksplorasi diantara gegap gempitanya kesenirupaan yang agung," jelas Hery Sudiono.

Karya-karya Pambudi Sulistio dalam konteks permasalahan sosial-lingkungan yang terjadi di masyarakat berbicara pada tararan kritik-kritik atas kebijakan pembangunan, setidaknya terekam dalam karya dua matranya memanfaatkan medium alluminium berjudul "Tertusuk Duri" ataupun karya berjudul "Titik Api (Deforestasi)" dalam medium daun di atas kanvas menggambarkan kebakaran hutan dan lahan akibat pembukaan kawasan hutan yang berdampak pada landscape kawasan. Perubahan fungsi lahan hutan untuk peruntukan lain telah memicu munculnya permasalahan lingkungan mulai dari terganggunya fungsi hidrologi, hilangnya biodiversity, ancaman erosi tanah serta longsor, ancaman banjir, hingga meningkatnya temperatur akibat keterbukaan lahan dan perubahan iklim mikro turut memicu kebakaran hutan-lahan yang selalu terjadi pada musim kemarau di berbagai tempat. Pada akhirnya krisis lingkungan tersebut mengakibatkan krisis sosial saat bencana alam melanda kawasan dalam wilayah yang cukup luas sebelah menyebelah.

Karya tiga matra Pambudi Sulistio berjudul "Suku Apakah (Deforestasi)", "DPR (Deforestasi)",  yang dibuat dengan memanfaatkan daun serta sampah-botol plastik di atas kanvas menjadi kritik Pambudi Sulistio atas fenomena deforestasi yang terjadi di Indonesia telah menurunkan daya dukung lingkungan secara nyata. Indokatornya adalah bencana banjir, erosi tanah oleh air, maupun kebakaran hutan-lahan yang terjadi hampir sepanjang tahun pada daerah aliran sungai (DAS) yang telah mengalami keterbukaan dan alih fungsi lahan hutan. Bahkan pada karya "Pleno Pariporno (Deforestasi)" Pambudi Sulistio menambahkan figur-figur kecil manusia dan binatang dalam bayang-bayang deforestasi yang terus berlanjut saling berebut sumberdaya hutan-alam tersisa untuk mempertahankan hidupnya.

Seniman sampah Gunadi Uwuh mempresentasikan karya dua-tiga matra dalam teknik  dan medium yang berbeda. Pada karya tiga matra berjudul "Puplik Figure" Gunadi merangkai botol bekas lem, plastik tutup botol minuman dengan kabel membentuk figur burung sementara pada "Fragment an Ant series" yang dirangkai memanfaatkan plastik tutup botol minuman, tombol keyboard PC (personal computer) membentuk figur semut.

"Sampah plastik masih menjadi masalah utama penanganan sampah di wilayah Yogyakarta. Meskipun telah dibentuk bank-bank sampah, penyerapan sampah plastik tidak sampai 1% dari sampah plastik yang ada berupa botol-botol plastik. Selebihnya yang sebagian besar merupakan kemasan makanan kecil, plastik pembungkus/kresek, plastik kemasan berlapis alluminium foil tidak diserap oleh bank-bank sampah karena tidak memiliki nilai ekonomi," jelas Gunadi kepada satuharapan.com saat pembukaan pameran, Jumat (12/10) malam.

Lebih lanjut Gunadi menuturkan bahwa sampah plastik yang tidak terserap tetap dibuang dan menumpuk di tempat penimbunan akhir (TPA).

"Untuk plastik yang tertimbun di TPA yang berada di permukaan hingga 50 cm masih bisa terurai secara alami. Yang menjadi masalah adalah yang berada di timbunan di bawah 1 meter. Hampir-hampir sampah plastik tersebut tetap utuh dan tidak terurai. Belum ada penanganan terpadu pada sampah plastik tersebut. Jalan pintasnya biasanya dibakar yang justru membuat masalah baru dengan pencemaran udara yang tidak kalah berbahayanya dari proses pembakaran sampah plastik tersebut," kata Gunadi.

Menyadari hal tersebut sejak lama Gunadi melakukan eksperimen mengolah sampah plastik kemasan menjadi karya dua matra dengan menggunakan teknik hot engraving yang menjadi ciri khas karyanya dengan membuat sampah plastik kemasan  menjadi tumpukan-tumpukan (layer) untuk selanjutnya menjadi medium karya dengan proses disolder untuk membentuk pola-desain tertentu serta memunculkan warna dari hasil engrave tersebut.

"Minimal lima layer sampah plastik. Semakin banyak layer, warna yang dihasilkan menjadi semakin acak dan menarik. Dalam proses eksekusi lebih banyak bermain bentuk dan kontur. Warna yang muncul bisa berasal dari warna pembungkus ataupun efek panas dari alat penyolder. Yang sering terjadi justru diluar dugaan saya. Lebih impresif. Yang jelas detail tetap dipertahankan," imbuh Gunadi memberikan penjelasan penggunaan teknik hot engraving pada karya serie-nya berjudul "Animal Synthetic" yang dibuat dalam ukuran mini di bawah 25 cm x 25 cm.

Mengutip data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI yang menyebutkan total jumlah sampah Indonesia di 2019 akan mencapai 68 juta ton, dan sampah plastik diperkirakan akan mencapai 9,52 juta ton atau 14 persen dari total sampah yang ada. Sampah plastik merupakan limbah yang sangat berbahaya untuk lingkungan karena memiliki usia terdaur yang lama.

Sampah organik, atau sampah yang berasal dari bahan alami seperti sayur, kulit buah, dan lain-lain akan terdaur di alam dalam hitungan hari atau minggu. Sampah kertas akan terurai dalam waktu dua sampai enam bulan.  Sampah plastik memerlukan waktu yang beragam agar dapat terurai di alam. Kantong plastik (kresek, plastik bungkus) memerlukan waktu antara 10-12 tahun untuk terdaur. 

Dengan polimer pembentuknya yang komplek, botol plastik memerlukan waktu terdaur sekitar 20 tahun, sementara styrofoam yang banyak digunakan untuk penggunaan sehari-hari baik sebagai bahan pengemas ataupun penghias membutuhkan waktu hingga 500 tahun untuk bisa hancur terurai di alam. Bisa dibayangkan, tanpa didaur ulang sampah plastik yang terus bertambah setiap hari adalah ancaman nyata bagi kehidupan manusia.

Pameran visual seni rupa "Hip Hip Hura Hura" akan berlangsung hingga 20 Oktober 2018 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No. 2 Yogyakarta.

 

BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home