WALHI: Isu Sawit Bukan Alat Negosiasi Perundingan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Negosiasi putaran ketiga Indonesia-EU Comprehensive Economic Patnership Agreement (CEPA) sedang berlangsung di Brussel saat ini yang dimulai sejak 11 hingga 15 September 2017. Salah satu isu yang belakangan menjadi sorotan kedua belah pihak terkait munculnya Resolusi Parlemen Eropa tentang Sawit.
Indonesia for Global Justice (IGJ) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendesak kepada Pemerintah Indonesia dan Komisi Uni Eropa untuk tidak menjadikan isu sawit sebagai alat pertukaran (trade-off) kepentingan di dalam perundingan Indonesia-EU CEPA.
Manager Kampanye Keadilan Iklim WALHI, Yuyun Harmono, menyatakan bahwa persoalan sawit harus dikeluarkan dari ruang perundingan. Persoalan sawit harus didudukkan dalam konteks yang lebih mendudukkan isu kemanusiaan khususnya terkait dengan perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia dalam rantai pengelolaan perkebunan sawit dari hulu hingga hilir di Indonesia.
“Persoalan pelanggaran terhadap lingkungan dan HAM, perampasan tanah, degradasi lingkungan hidup, kekerasan dan perbudakan baru di areal perkebunan sawit yang dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan multinasional sudah ada sebelum CEPA dirundingkan. Sehingga penyelesaian terhadap persoalan sawit tidak akan bisa diselesaikan melalui perdagangan antara Indonesia dan EU di bawah CEPA, justru perjanjian perdagangan dan investasi akan lebih memperparah kondisi lingkungan dan sosial masyarakat”, kata Yuyun Harmono melalui keterangan tertulis yang diterima, Kamis (14/9).
Sementara itu dari Brusels, Belgia, Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menyatakan bahwa dalam perundingan Indonesia-EU CEPA ketiga kali ini nuansanya sangat kental dengan perdebatan isu sawit. Apalagi di dalam Indonesia-EU CEPA akan mengatur bab khusus mengenai Trade and Sustainable Development (TSD) yang akan memasukan beberapa aspek perlindungan terhadap buruh dan lingkungan.
“Isu sawit akan menjadi fokus utama dalam bab Trade and Sustainable Development (TSD) dalam rangka perlindungan terhadap lingkungan. Salah satunya adalah dengan melakukan pendekatan standar produk dan skema sertifikasi. Namun pendekatan ini berpotensi mereduksi target penyelesaian konflik yang muncul di dalam praktek investasi di perkebunan sawit”, jelas Rachmi.
Senada dengan Rachmi, Yuyun menyatakan bahwa mekanisme standarisasi dan sertifikasi di dalam CEPA bukanlah solusi tepat sebagai penyelesaian konflik dan ketimpangan penguasaan lahan di perkebunan sawit. “penerapan RSPO ataupun ISPO hanyalah solusi semu di sektor Sawit karena tidak mengubah struktur penguasaan lahan yang masih di dominasi korporasi. Pemerintah seharusnya menyusun peta jalan tata kelola sawit yang berkeadilan ekonomi untuk pekebun dan petani skala kecil dan mengurangi penguasaan lahan oleh korporasi melalui percepatan program reforma agraria” jelas Yuyun.
Untuk itu IGJ dan WALHI mendesak Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa untuk tidak membawa persoalan sawit ke meja perundingan dagang dan investasi antara Indonesia dengan Uni Eropa atau yang dikenal dengan Indonesia-EU CEPA. Kemudian meminta penyusunan peta jalan tata kelola sawit yang berkeadilan ekonomi untuk pekebun dan petani skala kecil di luar skema Inti dan Plasma yang tetap menguntungkan korporasi dan terbukti gagal menyejahterakan petani dan yang terakhir menuntut segera menyusun tools Environmental dan Human Right Impact Assesment terhadap model kerjasama perdagangan dan investasi internasional yang berpotensi menimbulkan dampak buruk terhadap rakyat.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Mataram Mampu Produksi 20 Ton Magot
MATARAM, SATUHARAPAN.COM - Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) modern di Sandubaya, Kota Mataram...