Loading...
RELIGI
Penulis: Sabar Subekti 16:48 WIB | Rabu, 13 Agustus 2014

Warga Kristen Irak Tanpa Perlindungan

Warga Kristen Irak mengungsi di pingiran Irbil, ibu kota Kurdi, di Irak utara, akibat serangan kelompok NIIS yang menyerang warga Kristen. (Foto: Ist)

BAGHDAD, SATUHARAPAN.COM – Warga Kristen Irak hidup dalam pengungsian dan tanpa perlindungan. Mereka melarikan diri dari serangan kelompok jihad dan menumpang pada sebuah kamar untuk beberapa keluarga di sebuah gereja di Kurdistan. Mereka telah kehilangan harapan di negara mereka sendiri, dan menghadapi jalan panjang untuk mengungsi ke negara lain.

"Ini adalah negara kami. Kami telah menderita sebelumnya, tapi serangan oleh Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) telah menjadi situasi terburuk," kata Salwa, seorang pegawai negeri sipil berusia 40 tahun bersama neneknya.

"Saya ingin meninggalkan Irak," kata dia kepada AFP di taman gereja Saint Joseph Ainkawa di pinggiran Arbil, Irak. Salwa adalah salah satu dari puluhan ribu orang Kristen yang dalam beberapa pekan terakhir mengungsi di dekat Irbil, ibu kota Kurdi.

Dia mengatakan sebagian besar keluarga besarnya telah melarikan diri dari kota Kristen terbesar Irak, Qaraqosh pekan lalu, karena serangan ISIS yang memberi mereka pilihan yang sangat suram.

"Mereka mengatakan kami pindah agama atau melarikan diri," kata Salwa. "Hanya beberapa orang yang tinggal di sana, karena mereka terlalu sakit atau  terlalu tua untuk berjalan. Mereka terkurung di rumah-rumah mereka."

Salwa mengatakan  bahwa dia hanya memiliki sedikit harapan nasibnya akan membaik dengan adanya serangan udara Amerika Serikat terhadap posisi ISIS di daerah itu.

"IISS telah menyerang orang-orang Kristen tiga kali dalam tiga bulan terakhir saja. Kami rentan di sini, kami tidak memiliki perlindungan yang nyata. Dan saya ingin keselamatan untuk anak-anak saya," kata dia yang mengenakan  jalabiyah (jubah tradisional) warna biru saat dia duduk di pintu masuk gudang  yang sekarang dia sebut sebagai rumahnya.

Putri , Sarah, 22 tahun, sedang hamil anak keempatnya, dan terlihat putus asa. "Kami melarikan diri dari penembakan (jihad) di Qaraqosh tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian di badan kami. Kami berjalan selama berjam-jam dalam gelap. Anak-anak meratap dalam kelaparan," kata Sarah, yang berusaha tersenyum saat menggambarkan teror yang dialaminya.

Bencana Ekstrem

Seorang biarawati  usia74 tahun, yang berbicara kepada AFP tanpa mau disebut namanya, juga di antara pengungsi.  "Saya telah melihat banyak perang dalam hidup saya, tapi saya belum pernah melihat yang seperti ini. Saya memahami bahwa orang ingin meninggalkan Irak, meskipun ini  adalah rumah kami," kata dia yang mengenakan jubah putih dengan rosario kayu tergantung dari sakunya.

Dalam sebuah surat terbuka yang diterbitkan hari Minggu, Patriark Kaldean dari Babel mengatakan bahwa  ada 70.000 orang pengungsi Kristen di Ainkawa saja.

"Tingkat bencana ekstrim," tulis patriark Louis Raphael Sako, yang juga kepala  Majelis Uskup Katolik Irak.  "Sesuatu harus dilakukan untuk menyelamatkan orang-orang ini yang memiliki sejarah mereka di negeri ini sejak awal."

Faraj Benoit Camurat, kepala asosiasi Irak-Fraternite  yang berbasis di Prancis, kepada AFP mengatakan bahwa banyak yang ditanyai tentang surat baptisan dari gereja mereka. "Itu merupakan indikasi bahwa mereka setidaknya berpikir tentang pengasingan, bahwa mereka ingin pergi," katanya.

Mengajukan Visa

Warga Kristen Irak dalam beberapa tahun terakhir lebih banyak yang mengajukan visa ke Amerika Serikat dan negara-negara Barat, selain juga ada banyak warga  Muslim yang juga ingin pindah ke negara lain.

Para pemimpin agama telah bereaksi dengan kegelisahan  dengan tawaran Perancis untuk menyambut pengungsi Kristen Irak di wilayah mereka, dengan alasan bahwa salah satu komunitas Kristen tertua di dunia harus dipertahankan.

Tapi Rayyan Atto, seorang imam muda yang menjalankan usaha kemanusiaan Gereja Chaldean di Arbil, mengatakan bahwa dia mengerti keinginan masyarakat untuk pindah.

"Kami tidak ingin mereka pergi, tetapi kami memahami situasi ini. Mereka tertindas," kata Atto, menunjuk pada perempuan yang mencuci pakaian di bawah terik matahari, dan keluarganya antre untuk mendapatkan roti dan air.

"Tidak ada ruang lagi dari 22 pusat pengungsi darurat  yang menggunakan gereja dan sekolah-sekolah di sini," kata Atto. Krisis telah memperberat beban bagi penduduk biasa di Ainkawa yang menampung  35.000 orang.

Tanpa Perlindungan

Sementara itu, bagi Zoheir Yaacub, 51 tahun dan seorang  pensiunan tentara Irak, masalah yang dihadapi melampaui kekerasan serangan kelompok jihad.

"Tak ada yang peduli pada kami. Kami bahkan tidak menerima peringatan bahwa ISIS akan menyerang," kata Yaacub, yang mengenakan kemeja kotak-kotak biru tua.

Dia duduk di bawah naungan selembar plastik, dan mengangkat poster tulisan tangan yang berbunyi: "Kami ingin hidup. Apakah itu mungkin, Panglima Perang?"

"Apapun yang terjadi sekarang, kami tidak akan kembali ke Qaraqosh. Kami tidak memiliki perlindungan. Pemerintah pusat lemah, dan bahkan sekarang (Perdana Menteri Nuri al-) Maliki telah diganti. Hal-hal  itu tidak akan menjadi lebih baik," kata dia.

"Para politisi tidak peduli tentang orang-orang. Mereka hanya peduli tentang tebalnya saku mereka," kata Yaacub.

"Yang lain, kelompok (agama dan etnis), mereka semua memiliki milisi. Tapi kami tidak, dan kami tidak bisa melindungi diri kami sendiri."


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home