Loading...
HAM
Penulis: Sabar Subekti 09:59 WIB | Rabu, 30 Oktober 2019

Yazidi: Kematian al-Baghdadi Tak Berarti Tanpa Mengadili Militan ISIS

Para ulama Yazidi Irak menghadiri penggalian kuburan massal atas ratusan Yazidi dibunuh oleh militan ISIS di desa Kojo, Irak utara di distrik Sinjar pada 15 Maret 2019. (Foto: dari AFP)

BAGHDAD,SATUHARAPAN.COM- Kematian pemimpin ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi tidak akan berarti apa-apa bagi korban pemerkosaan ISIS, Jamila (19 tahun), kecuali jika militan ISIS yang memperbudaknya diadili.

Jamila, yang meminta untuk tidak disebutkan nama belakangnya, adalah satu dari ribuan perempuan penganut agama minoritas Yazidi yang diculik dan diperkosa oleh ISIS setelah serangan di tanah kelahiran Yazidi di Irak utara pada Agustus 2014.

"Bahkan jika Abu Bakr al-Baghdadi sudah mati, itu tidak berarti ISIS sudah mati," kata Jamila kepada Reuters di luar tenda yang sekarang adalah rumah sementaranya di kamp Sharya untuk mengungsikan Yazidi di daerah Kurdistan Irak.

"Ini belum dirasakan sebagai keadilan," katanya. “Saya ingin orang-orang yang membawa saya, yang memperkosa saya, diadili. Dan saya ingin suara saya didengar di pengadilan. Saya ingin menghadapi mereka di pengadilan ... Tanpa pengadilan yang tepat, kematiannya tidak ada artinya."

Dianggap Kafir

Baghdadi memimpin ISIS dari tahun 2010 ketika kelompoknya masih merupakan cabang Al-Qaeda Irak. Dia tewas dengan meledakkan bom rompi bunuh diri setelah terpojok dalam serangan pasukan khusus AS di Suriah barat laut,  seperti diungkapkan Presiden AS, Donald Trump, dalam pengumuman hari Minggu (27/10).

Didorong oleh dekrit al-Baghdadi untuk memperbudak dan membantai Yazidi, jihadi ISIS anggap Yazidi sebagai orang kafir. Para pengikut ISIS menembak, memenggal dan menculik ribuan orang Yazidi dalam sebuah serangan yang oleh PBB disebut sebagai serangan genosida terhadap Yazidi.

Bersama ribuan perempuan dan anak-anak lainnya, Jamila mengatakan bahwa dia diperbudak oleh para militan dan ditahan selama lima bulan di kota Mosul bersama dengan saudara perempuannya.

Dia baru berusia 14 ketika dia ditangkap. Tetapi masalahnya tidak berakhir setelah dia dan saudara perempuannya berhasil melarikan diri ketika para penjaga mereka sedang  pesta narkotika.

Gangguan Psikologis

"Ketika saya pertama kali kembali, saya mengalami gangguan saraf dan masalah psikologis selama dua tahun, jadi saya tidak bisa pergi ke sekolah," katanya.

Sekarang, alih-alih bekerja atau mengejar tahun-tahun sekolahnya yang hilang, dia harus merawat ibunya, yang tinggal bersama dalam tendanya yang sempit di kamp itu.

“Ibu saya tidak bisa berjalan dan memiliki masalah kesehatan sehingga saya harus tinggal dan merawatnya karena kakak saya ada di Jerman,” katanya.

Prospek pulang ke Sinjar di Irak utara bukanlah pilihan bagi Jamila, dan banyak Yazidi lainnya. Kota ini masih berada dalam kehancuran empat tahun setelah serangan ISIS, dan kecurigaan masih merebak di wilayah yang bercampur etnis.

“Sinjar hancur total. Bahkan jika kita bisa kembali, saya tidak mau, karena kita dikelilingi oleh tetangga Arab yang sama yang semuanya bergabung dengan ISIS, dan membantu mereka membunuh kami (Yazidi)," katanya.

Ribuan orang diadili di pengadilan Irak karena hubungan mereka dengan ISIS. Irak sejauh ini tidak mengizinkan para korban untuk bersaksi di pengadilan. Para pemimpin masyarakat dan kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan hal itu justru menjauhkan upaya proses penyembuhan bagi korban.

"Sangat disayangkan bahwa tidak ada satu pun korban pelanggaran yang mengerikan oleh ISIS, termasuk perbudakan seksual yang mendapatkan kesempatan mereka hadir di pengadilan," kata Belkis Wille, peneliti Irak untuk Human Rights Watch. "Sistem peradilan Irak dirancang untuk memungkinkan negara membalas dendam secara massal terhadap tersangka, tidak memberikan pertanggungjawaban nyata bagi para korban."

Langkah Awal

Bagi sebagian dari hampir 17.000 watga Yazidi di kamp Sharya, kematian al-Baghdadi adalah langkah awal ke arah keadilan, meskipun mereka takut para pejuang IS yang masih hidup.

Mayan Sinu, 25 tahun, dapat memimpikan kehidupan baru setelah tinggal di kamp, dan saat ini da dan ketiga anaknya telah mendapat suaka oleh Australia. Tetapi dia juga menginginkan para pria yang menembak kaki suaminya dan menyeretnya untuk diadili. Dia telah hilang sejak kejadian lima tahun lalu.

"Saya berharap al-Baghdadi menderita lebih dari yang pernah kita alami," kata Sinu. "Aku berharap dia (al-Baghdadi) tidak meledakkan dirinya sehingga aku bisa membantai dia sendiri dengan tangan kosong."

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home