Analisis: Intoleransi Ada di Agama Apa Saja
SATUHARAPAN.COM – Beberapa berita terbaru yang dimuat pada kolom Kabar Religi di Satuharapan.com berisi kondisi dan sikap intoleran karena perbedaan agama, seperti kasus Pastor Saeed Abedini di Iran yang diperlakukan secara diskriminatif oleh pemerintah karena ia Kristen. Gambar di awal tulisan ini juga menunjukkan sikap intoleran. Kasus-kasus seperti itu yang begitu banyak, telah mewarnai perjumpaan antara berbagai umat yang berbeda agama di berbagai tempat. Sebutlah antara lain: kasus Maluku, Poso, Kupang, GKI Yasmin-Bogor (Islam dan Kristen), kasus Islam-Ahmadiyah dan Islam Syiah di Indonesia.
Di luar Indonesia, seperti kasus pastor Abedini, serangan terhadap gereja di Mesir, penghancuran patung Buddha di Afghanistan, konflik Katolik dan Protestan di Irlandia Utara dan penyerangan Masjid Ayodya di India oleh kelompok Hindu. Jauh ke belakang, ada konflik Katolik dan Protestant pascareformasi Luther serta sebelumnya Perang Salib antara Islam-Kristen.
Intoleransi di sini diartikan sebagai pandangan dan sikap yang tidak menerima kehadiran umat agama lain di sekitar tempat pihak yang intoleran. Ada dua bentuk intoleransi, mengikuti pembagian aspek agama itu sendiri dalam hubungan dengan agama lain, yaitu: pertama, intoleransi dogmatis-ideologis, yang berhubungan dengan perbedaan ajaran yang dianut, dan pihak yang satu merasa benar sedangkan yang lain salah. Kedua, intoleransi sosial-politis, yaitu penolakan satu pihak terhadap kehadiran pihak atau agama lain di tempatnya dalam hal ini karena alasan perbedaan ajaran agama. Bentuk intoleransi ini biasanya disebabkan lebih oleh kekhawatiran terhadap penyebaran dan penguasaan daerah umat yang satu oleh umat agama lain.
Umat lain dianggap sebagai ancaman terhadap daerah “kekuasaan” dan terhadap agama umat setempat. Faktor kecemburuan sosial-ekonomis juga dapat memicu intoleransi bentuk ini. Pihak umat agama lain sebagai penduduk pendatang dianggap lebih sukses dan unggul secara ekonomis. Keunggulan ini dibuktikan oleh kemampuan membangun gedung ibadah yang mencolok dan didukung oleh penggunaan fasilitas mewah, seperti alat-alat elektronik berteknologi maju dan banyaknya kendaraan pribadi.
Pihak pendatang dengan kesuksesan ekonomi seperti itu lalu dianggap sebagai pihak yang dekat dengan penguasa yang kerap dituduh sebagai pihak yang membuat rakyat sengsara karena sikap semena-mena, monopoli dan korupsi. (Pandangan ini sangat sering terdengar pada zaman Orde Baru). Bentuk-bentuk intoleransi di atas kemudian mewujud dalam tindakan diskriminatif dan bahkan kekerasan terhadap umat agama lain. Tidak jarang, negara atau pemerintah juga mendukung sikap intoleran ini.
Intoleransi agama terjadi antara dan di dalam agama apa saja. Jadi ada intoleransi antaragama dan intraagama atau disebut intoleransi antaraliran atau denominasi. Intoleransi terjadi karena ada pihak yang berbeda. Di dalam masyarakat di mana pun saat ini, adanya pihak yang berbeda atau kondisi plural sudah merupakan kenyataan yang mutlak dan tidak terhindarkan. Seseorang yang bersosialisasi dan menikmati hasil kreasi manusia yaitu hasil teknologi, sudah pasti akan bertemu dengan pihak lain yang berbeda. Perjumpaan dengan pihak yang berbeda ini terjadi di mana saja dan melalui banyak sarana secara langsung atau tidak langsung. Seseorang bertemu atau berinteraksi dengan orang lain yang beragama lain secara langsung dan nyata di sekitar tempat tinggal, di sekolah, tempat kerja, atau bahkan dalam satu rumah atau keluarga sendiri. Di tempat dan cara yang lain, seseorang bertemu dan berinteraksi dengan orang beragama lain melalui media massa seperti tulisan dalam berbagai bentuk, televisi, radio, film dan dalam dunia maya seperti internet-website atau media online seperti satuharapan.com, dan jejaring sosial lain, seperti Facebook, Twitter, berbagai bentuk messenger. Perbedaan latar belakang agama atau ideologi yang ada dalam perjumpaan itu dapat menimbulkan pandangan dan sikap intoleran yang dapat memicu konflik.
Bagaimana pun atau dengan alasan apa pun, intoleransi adalah suatu pandangan dan sikap negatif yang berakibat buruk. Buruk baik bagi pihak yang menerima perlakuan intoleran maupun pelakunya, apalagi jika intoleransi itu diwujudkan dengan sikap diskriminatif serta kekerasan. Bagi pihak korban, tentu ada ketidaknyamanan dan bahkan penderitaan, material maupun mental-psikologis, bahkan sampai korban jiwa.
Tetapi bagi si pelaku, tentu secara psikis-mental moral-etis, mereka juga tidak nyaman dan ada pengorbanan mental, material dan bahkan korban jiwa. Ditambah lagi dengan citra negatif tentang kelompok umat dan juga agama para pelaku intoleran itu. Jadi sebenarnya, intoleransi membuat pihak-pihak yang terlibat menjadi korban, termasuk masyarakat umum dan negara atau pemerintah.
Apalagi, jika direnungkan dengan akal sehat, apakah Tuhan Allah memang menghendaki sikap intoleran itu, atau sebenarnya tidak. Tentu setiap orang beragama akan setuju untuk mengatakan bahwa Tuhan Allah tentu tidak menghendaki sikap intoleran yang berakibat tidak adanya damai sejahtera bagi semua. Kecuali tentu, terhadap tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengakibatkan penderitaan, Allah sendiri bersikap “intoleran”.
Karena kenyataan plural sudah merupakan realitas mutlak dalam masyarakat dan intoleransi tidaklah baik dan benar bagi kemanusiaan, maka sikap toleranlah yang perlu ada dan diutamakan di dalam kehidupan umat yang berbeda-beda agama itu. Toleransi di sini mengandung makna menerima, menghargai dan menghormati keberadaan, hak hidup dan beraktivitas umat agama lain dengan tanpa syarat, bersedia untuk hidup berdampingan, saling membantu dan bekerja sama secara aktif dan dinamis untuk kepentingan dan manfaat yang dirasakan bersama, yaitu kedamaian, ketenteraman serta kemajuan dan kemakmuran bersama.
Trump Minta Negosiator Hamas Kembali ke Qatar, Lanjutkan Per...
DOHA, SATUHARAPAN.COM-Para pembantu Trump meminta Qatar untuk memanggil kembali para pemimpin Hamas ...