Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 13:30 WIB | Jumat, 22 Mei 2015

Beras Plastik, Kejahatan Serius

Foto ilustrasi: beras. (Foto; Ist)

SATUHARAPAN.COM - Orang Indonesia diberi makan pipa pralon? Tentang hasil uji laboratorium tentang ‘’beras plasitik’’ yang dilakukan Sucofindo, Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi  mengatakan, "Kalau kita makan beras tersebut, sama saja kita menelan bahan plastik untuk pembuatan pipa paralon."

Ini berita yang membuat banyak orang seperti kehilangan kata-kata, yang mencerminkan bahwa rakyat Indonesia sebagai konsumen semakin tidak terlindungi. Berita tentang produk palsu, obat palsu, makanan dengan bahan bukan untuk makanan yang terus terjadi, bahkan menjadi-jadi.

Belum lagi masyarakat berhadapan dengan kondisi  di mana banyak produk yang tidak sesuai standar, tetapi  harus dibeli oleh konsumen dengan harga yang relatif tinggi. Bahkan banyak produk makanan yang tidak aman terus beredar.

Kasus ‘’beras plastik’’ sebenarnya sudah menyentuh pada tataran kemanusiaan yang serius. Kasus ini bukan saja menyangkut masalah penipuan produk, bukan sekadar masalahkesehatan, tetapi sudah menjadi ‘’penghinaan terhadap kemanusiaan,’’ di mana manusia dianggap bisa mengkonsumsi plastik, bahan yang untuk biantang pun tak pantas.

Tindak Semua Pelaku

Pemerintah, dalam hal ini kementerian Perdagangan telah menyakinkan rakyat bahwa importir dan pengedar akan menghadapi tanggung jawab hukum. Hal itu sebagai tindakan yang diharapkan segera terwujud. Namun juga diperlukan tindakan segera untuk menyelidiki seberapa banyak dan seberapa luas peredaran produk tersebut, dan ditarik secepatnya.

Ada kejanggalan yang serius dalam kasus ini yang menantang akuntabilitas birokrasi pemerintahan kita. Sejauh ini disebutkan tidak ada impor beras, tetapi yang muncul justru kasus beras palsu?

Situasi ini adalah cerminan bahwa selama ini ada ‘’mental’’ yang berkembang dalam pengelolaan kehidupan negara bahwa rakyat Indonesia bisa ditipu dengan barang-barang tidak berkualitas, bahkan palsu. Sudah menjadi berita dalam beberapa dekade bahwa beras untuk rakyat, apalagi rakyat miskin, adalah beras berkualitas buruk, bahkan sering tak layak dikonsumsi.  ‘’Hal yang keterlaluan’’ ini telah terlalu sering dijadikan ‘’hal yang biasa.’’

Dalam konteks ini, pemerintah, khususnya birokrasi, harus menjadikan kasus ini sebagai upaya koreksi yang serius. Jangan hanya menangkap importir dan penyalur ‘’beras plastik.’’ Produk ini bukan seperti narkoba dalam jumlah beberapa kilogram, tetapi berton-ton. Masuk melalui pelabuhan dengan kasat mata, dan semestinya melalui pemeriksaan karantina pertanian.

Lantas, siapa yang membuat produk itu bisa masuk secara leluasa, bahkan kita terkaget ketika sudah beredar di masyarakat? Pabean kita telah menjadi pintu yang terbuka bagi banyak penyelundupan, termasuk produk-produk yang melemahkan ekonomi Indonesia. Pihak pabean yang terlibat harus dimintai pertanggungjawaban. Demikian juga dengan pihak karantina produk pertanian yang seharusnya bertanggung jawab atas masuknya barang tersebut.

Kejahatan Serius

Masalah beras plastik ini adalah kejahatan yang serius, dan penegak hukum tidak bisa hanya melihat masaklah ini sebatas sebagai kejahatan ekonomi. Tindakan ini harus dilihat lebih jauh pada dampaknya dan tindakannya yang merendahkan martabat manusia, dan mengancam masyarakat.

Kita memang telah mencabut UU Subversi  (UU No. 11/PnPs/Tahun 1963 tentang Pemberantasan
Kegiatan Subversi) dengan UU No 26/1999. Namun dengan UU yang ada seharusnya bisa melihat kejahatan ini sebagai tindakan yang mengancam ketahanan negara.

Kerugian dari kejahatan-kejahatan ini, seperti halnya kejahatan korupsi, bukan sebatas kerugian ekonomi, apalagi hanya kerugian keuangan negara, tetapi juga melemahkan ketahanan negara. Tidak adanya UU Subversi tidak boleh menjadikan negara lemah terhadap kejahatan yang serius ini. Sebab, pencabutan UU tersebut dilatar-belakangi oleh pemerintah yang menggunakannya untuk melawan orang kritis, penentang, dan untuk mempertahankan kekuasaan.

Kita harus melihat kejahatan ini dalam semangat peringatan Kebangkitan Nasional dan mewudjukan revolusi mental. Kita semetinya melihat secara dalam kepentingan nasional. Sudah terlalu banyak kepentingan nasional dijual murah untuk kepentingan perorangan dan golongan, termasuk kerakusan para penyelundup, seperti pada kasus ‘’beras plastik’’ ini.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home