Loading...
INDONESIA
Penulis: Wim Goissler 11:02 WIB | Senin, 21 Agustus 2017

Bertemu Jokowi, 14 Tokoh Papua Bicara Penembakan Deiyai

Bertemu Jokowi, 14 Tokoh Papua Bicara Penembakan Deiyai
Presiden Joko Widodo bersalaman dengan Direktur LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy saat bertemu dengan 14 tokoh Papua di Istana Kepresidenan, Jakarta, 15 Agustus 2017 (Foto: Ist)
Bertemu Jokowi, 14 Tokoh Papua Bicara Penembakan Deiyai
Para tokoh Papua yang bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus 2017 di Istana Kepresidenan Jakarta (Foto: Ist)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Tanpa banyak diberitakan, Presiden Joko Widodo ternyata mengundang 14  tokoh Papua pada 15 Agustus lalu. Salah seorang yang hadir dalam pertemuan itu adalah Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari,  Yan Christian Warinussy.

Menurut Warinussy, salah satu yang mereka bicarakan pada pertemuan tersebut adalah kasus penembakan di Deiyai, Papua, yang telah menjadi pemberitaan luas di media internasional, namun kurang mendapat perhatian di media domestik.

Dalam keterangannya kepada satuharapan.com, Warinussy mengungkapkan dua kesan yang saling bertolak-belakang dari pertemuan tersebut. Sementara ia menilai positif akan gestur dan niat Presiden Joko Widodo dalam mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, ia tidak mendapat kesan serupa atas Menkopolhukam Jenderal (Purn) Wiranto, yang juga turut dan bahkan ikut berbicara pada pertemuan tersebut.

"Saya mendapat kesan Presiden Jokowi seorang yang baik dan bijaksana, dia sangat ingin memperoleh masukan yang konstruktif dari masyarakat Papua tentang apa yang harus dilakukannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan di Tanah Papua ke depan," kata dia lewat sebuah surat elektronik.

Namun, pada surat elektroniknya yang lain tentang pertemuan tersebut ia mengatakan, "saya baru memahami bahwa hingga saat ini pemerintah negara Indonesia di level kementerian/lembaga seperti 'bingung dalam menafsirkan apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang Berat tersebut. Hal itu tercermin dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto yang menyela diskusi kami dengan Presiden Joko Widodo dengan mengatakan bahwa kasus di Deiyai bukan merupakan pelanggaran HAM yang Berat."

Menurut Warinussy, Wiranto yang turut hadir bersama Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Teten Masduki, dalam pertemuan itu ia catat berkata, "itu kan ada orang tenggelam, kemudian ada yang meminta tolong, tapi gak ditolong lalu marah-marah dan ribut, kemudian datang aparat keamanan Brimob dan ditenangkan tapi tetap ngamuk sudah dikasih tembakan peringatan, tapi nyerang aparat, sehingga ditembak kan? Jadi itu bukan pelanggaran HAM yang Berat..."

Lebih jauh, menurut Warinussy, Wiranto mengatakan pelanggaran HAM yang Berat adalah bila negara dalam hal ini Presiden memerintahkan aparat untuk menghabisi sekelompok orang tertentu misalnya orang Papua, itu baru namanya pelanggaran HAM yang Berat.

Warinussy menilai pelanggaran HAM Berat harus mengacu pada definisi pelanggaran HAM yang berat yang diatur hanya di dalam Undang Undang Pengadilan HAM  yaitu Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000, bukan di undang undang lainnya, "termasuk pada sebuah pernyataan kosong tak berdasar hukum dari siapapun, termasuk Wiranto sebagai Menko Polhukam."

Warinussy mengatakan hal yang ia kemukakan itu mengacu pada pasal 1 angka 2 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Di sana disebutkan"....Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam undang undang ini..." 

Leih jauh, di dalam  Pasal 7 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tersebut disebutkan : ..."pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi : a.kejahatan genosida; dan  b.kejahatan terhadap kemanusiaan..." Lalu di dalam Pasal 8 dijelaskan tentang apa itu kejahatan genosida yang meliputi setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama. 

Hal itu dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, pemaksaan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain, dan menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.

Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity) dijelaskan dalam Pasal 9, yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

Tindakan atau perbuatan tersebut berupa pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; penyiksaan; perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; penghilangan orang secara paksa; kejahatan apartheid; pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; dan atau perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional. 

"Siapa pelakunya? jelas Negara, karena korban pelanggaran HAM yang berat adalah warga sipil sebagaimana dimaksud di dalam UU No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM," kata Warinussy, peraih Penghargaan Internasional John Humphrey Freedom Award Tahun 2005 dari Kanada.

Warinussy menyesalkan   Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai institusi yang memiliki kewenangan dalam menyelidiki dugaan pelanggaran HAM yang berat tersebut belum sama sekali melakukan investigasi independen dan memperoleh kesimpulan sementara ada atau tidaknya dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam kasus seperti di Deiyai dan Pomako-Tembagapura-Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

"Saya menilai, khususnya di jajaran setingkat Menko Polhukam saja masih "bingung" dengan apa itu pelanggaran HAM yang berat. Sehingga sulit bagi rakyat Papua sebagai korban-korban pelanggaran HAM di Tanah Papua bakal memperoleh keadilan dalam konteks penegakan hukum dan perlindungan HAM di dalam Negara Republik ini. Karena itu intervensi internasional sangat diharapkan dalam konteks penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Tanah Papua," kata dia.

Kendati demikian, Warinussy mengemukakan apresiasinya kepada Jokowi. Menurut dia, dalam pertemuan sekitar dua jam tersebut, Jokowi memberikan penjelasan tentang pentingnya menggenjot pembangunan infrastruktur seperti bandar udara, pelabuhan laut, jalan, jembatan dan rel kereta api demi memacu pertumbuhan ekonomi dan kemajuan Tanah Papua. 

Warinussy menambahkan, Jokowi ingin menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM melalui perubahan cara pendekatan dan beliau sangat mengharapkan dukungan rakyat Papua dalam memacu pembangunan dan penyelesaian masalah kekerasan dan pelanggaran HAM.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home