Loading...
INDONESIA
Penulis: Wim Goissler 23:14 WIB | Selasa, 17 Oktober 2017

Buku Terbaru Ramalkan Australia-RI Berperang karena Papua

Ilustrasi

MELBOURNE, SATUHARAPAN.COM - Sebuah novel berjudul Rockefeller and the Demise of Ibu Pertiwi, When Australia and Indonesia Again Go to War, baru-baru ini terbit di Melbourne, Australia. Novel ini ditulis oleh Kerry B. Collison, mantan diplomat Australia yang pernah bertugas di Indonesia pada tahun 1960-an. Buku setebal 366 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Sid Harta, Melbourne, pada September lalu. 

Bergenre fiksi berdasarkan fakta, buku ini meramalkan terjadinya konflik bahkan perang antara Australia dan Indonesia yang dipicu oleh masalah desakan kemerdekaan rakyat Papua. Gregory Copley, pemimpin redaksi Defense and Foreign Affairs Strategic Policy, yang menurunkan tulisannya di eurasiareview.com, (17/10),  menilai, "Buku fiksi karya Kerry Collison adalah sebuah bacaan penting bagi siapa pun yang ingin memahami isu kemerdekaan Papua."

Bila PBB Setuju Referendum Papua

Salah satu bagian pada novel ini menggambarkan situasi politik yang tidak stabil di Indonesia. Sejumlah provinsi menuntut memisahkan diri dari Jakarta dan kekerasan terhadap para transmigran dari Jawa meledak.

Pada saat yang sama desakan penentuan nasib sendiri rakyat Papua telah menjadi agenda di Perserikatan Bangsa-bangsa. Ada kemungkinan PBB akan mendukungnya. Dan itulah yang menjadi perdebatan pada sidang kabinet Australia, yang digambarkan pada novel ini.

Kerry Collison dan istrinya.(Foto:Ist)

Sejumlah menteri menilai, pada akhirnya Indonesia akan menarik diri dari Papua, seperti halnya yang terjadi ketika angkat kaki dari Timor Leste. Pendapat seperti ini dilontarkan oleh menteri luar negeri dan Jaksa Agung Australia.

Sebaliknya dengan menteri pertahanan. Ia meyakini Indonesia tidak dengan mudah meninggalkan Papua. Melepas Papua, menurut sang menteri, berisiko bagi RI karena akan memicu daerah lain berbuat serupa.

Perdana Menteri yang memimpin sidang menjadi gamang dan pusing untuk mengambil keputusan. Konflik dengan Indonesia berimplikasi tidak sederhana, termasuk rusaknya hubungan dagang. Sedikitnya 400 perusahaan Australia akan menderita.

Pada saat yang sama, angkatan bersenjata RI sudah melakukan langkah-langkah provokatif dengan menerbangkan sejumlah pesawat tempur mendekati Pulau Christmas. Sebelumnya, perang pernyataan diplomatik antara kedua negara (Australia dan Indonesia) telah berlangsung berbulan-bulan. Indonesia mencurigai Australia akan mendukung kemerdekaan Papua pada 
saat-saat terakhir, seperti yang mereka lakukan terhadap Timor Leste. 

Fiksi, Fakta dan Pengalaman

Kendati skenario yang disajikan adalah fiksi,  Gregory Copley menilai buku ini tak bisa dianggap sebagai angin lalu. Acap kali, kata Copley, masa depan hanya bisa disajikan dalam bentuk fiksi.Dalam konteks meramalkan masa depan Papua, Copley mengatakan, penulis buku ini memang terpaksa memilih genre fiksi karena terkendala oleh aturan hukum dalam mendiskusikan berbagai isu politik tentang Papua di Indonesia. Terlebih lagi, buku ini membicarakan sesuatu yang ekstrem yaitu tentang 'kematian' Ibu Pertiwi.

Kendati dituturkan dalam bentuk fiksi, menurut Copley, banyak rincian dalam novel ini sesungguhnya adalah fakta yang dikemas menjadi fiksi dan dapat ditelusuri jejak sejarahnya.Dalam buku ini, misalnya, Collison mengangkat Rockefeller, yang menjadi judul buku ini, nama sebuah keluarga miliarder di AS dan di Indonesia dikenal sebagai nama lembaga pemberi beasiswa.

Michael Clark Rockefeller, anak kelima dari Gubernur New York kala itu (kemudian menjadi wakil presiden), Nelson Aldrich Rockefeller, pada 19 November 1961 dinyatakan hilang (dan kemudian dinyatakan meninggal) dalam sebuah ekspedisi ke wilayah Asmat di Papua. (Catatan: pada tahun 2014, Carl Hoffman menerbitkan sebuah buku yang mengisahkan rincian pembunuhannya, dimana para tetua suku dan warga desa di sana mengakui bahwa Rockefeller dibunuh setelah ia berenang   menuju pantai pada 1961. Meskipun ada klaim ini tidak ada bukti yang ditemukan tentang kematiannya).

Isu Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice" yaitu proses penentuan nasib sendiri Papua yang kontroversial pada tahun 1969, juga dikisahkan dalam buku ini. Selain itu, di buku ini penulisnya juga mengisahkan tentang sebuah perusahaan tambang bernama Akumuga Mining, pemain utama ekonomi Indonesia di Papua yang dikelola oleh Summit Gold Mining Company dari AS (juga fiktif). Selanjutnya dikisahkan manuver-manuver dan korupsi dari pihak-pihak militer, politik dan perusahaan di Indonesia untuk memanfaatkan operasi pertambangan itu, yang telah menjadi pusat ekonomi Indonesia.

"Collison dalam buku ini memberikan latar belakang yang signifikan terhadap kegiatan, peristiwa, orang-orang dan organisasi yang  sesungguhnya, termasuk Organisasi Papua Merdeka (OPM) serta badan multinasional yang riel, Melanesian Spearhead Group (MSG)," tulis Copley.

Tentang Kerry Collison

Bobot buku ini turut ditentukan oleh latar belakang penulisnya. Kerry Collison memiliki latar belakang yang unik yang menggambarkan kedekatan maupun penguasaannya terhadap isu yang ditulisnya. Kerry Collison bergabung dengan Angkatan Udara Australia, Royal Australian Air Force/RAAF) pada tahun 1962. Dia kemudian dikirim ke Pangkalan Angkatan Udara RAAF di Point Cook, dan selama satu tahun di sana bersama beberapa temannya yang terpilih, belajar Bahasa Indonesia.

Seiring dengan berkembangnya kekuasaan Partai Komunis di Indonesia dan keterlibatan Australia dalam Perang Vietnam, pada saat itu ada ketakutan terhadap ancaman invasi Asia ke Australia. Segera setelah lulus Point Cook di usia 22 tahun, Kerry dikirim ke Jakarta sebagai Asisten Atase Udara dan juru bahasa di Kedutaan Besar Australia. Ini adalah masa-masa genting, dimana terjadi kekerasan dan pembunuhan terhadap anggota PKI dari Oktober 1965 sampai akhir tahun 1967. 

Kerry menghabiskan hampir tiga tahun di kedutaan Australia sebelum mengundurkan diri dari Angkatan Udara negara itu dan kemudian mendirikan bisnisnya sendiri di Indonesia. Langkahnya cukup tepat karena ia segera menuai sukses karena aksesnya kepada militer Indonesia serta hubungannya dengan Pemerintah Australia. Kerry telah berkiprah sebagai perwakilan komersial dan ditunjuk oleh lebih dari dua puluh kelompok internasional utama untuk mengawasi kepentingan mereka di Indonesia,  termasuk  BHP dan Endeavour Resources. 

Pada tahun 1971 Presiden Soeharto memberikan kewarganegaraan kepada Kerry. Ini adalah pertama kalinya orang asing diberi status seperti itu tanpa aplikasi. Hal ini mendatangkan keprihatinan dari pihak berwenang Australia mengingat sensitifitas data dan akses yang dimiliki oleh Collison selama masa jabatannya di Kedubes dan Angkatan Udara Australia. Kewarganegaraan Australia Collison pun dicabut. 

Karena kecewa, dia kemudian membangun kehidupan dan karier di Indonesia. Dalam beberapa tahun yang singkat Kerry berhasil  mengukir ceruk yang kuat di masyarakat Indonesia. Beberapa pencapaian yang bisa disebut antara lain menjadi  anggota pendiri Young President. Selama 18 tahun ia sudah mendirikan 20 perusahaan dan usaha patungan di Indonesia. Ia juga terjun ke bisnis properti di Cimacan, Puncak, dan di Kalimantan. Ia juga berperan dalam sejumlah bisnis televisi satelit dari Australia.

Kewarganegaraan Australia dirinya pun belakangan ini sudah dihidupkan kembali. Buku karyanya selain buku ini adalah  "Crescent Moon Rising" (The Bali Bombings) 'Indonesian Gold', 'The Fifth Season', 'In Search of Recognition', 'Jakarta', 'Merdeka (Freedom) Square', dan 'The Timor Man'. 

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home