Loading...
EKONOMI
Penulis: Sabar Subekti 10:44 WIB | Selasa, 21 Mei 2024

Dampak Konflik, Kota Bersejarah Djenné di Mali Makin Sepi Pengunjung

Masjid terbesar yang dibangun dari batu bata lumpur, Masjid Agung Djenne di Mali, menunggu untuyk diplester ulang pada hari Jumat (10/5/2024. (Foto: dok. AP/Moustopha Diallo)

DJENNE-MALI, SATUHARAPAN.COM-Kola Bah dulunya mencari nafkah sebagai pemandu wisata di kota bersejarah Djenné di Mali, yang pernah menjadi pusat pembelajaran Islam yang terkenal dengan masjidnya yang terbuat dari batu bata lumpur dan telah masuk dalam daftar Warisan Dunia dalam Bahaya UNESCO sejak tahun 2016.

Masjid Agung Djenné – bangunan bata lumpur terbesar di dunia – pernah menarik puluhan ribu wisatawan ke Mali tengah setiap tahunnya. Kini negara ini terancam oleh konflik antara pemberontak jihad, pasukan pemerintah dan kelompok lainnya.

Bah mengatakan penghasilannya cukup untuk menghidupi keluarganya, yang kini memiliki sembilan anak, dan untuk membiayai sejumlah kecil ternak. Namun belakangan ini, hanya sedikit pengunjung yang datang ke kota tersebut, dan sebagian besar ia kehilangan pekerjaan. Ketika dia membutuhkan uang, dia menjual sebagian ternaknya.

Berbicara kepada The Associated Press di luar rumahnya di kota tua Djenné, Bah mengatakan penduduk setempat yakin krisis ini pada akhirnya akan berakhir, dan bisnis akan kembali normal seperti sebelumnya. “Tetapi seiring berjalannya waktu, mimpi ini semakin terbukti hanya ilusi,” katanya. “Segalanya menjadi sangat sulit sekarang.”

Djenné adalah salah satu kota tertua di Afrika sub-Sahara dan berfungsi sebagai pusat pasar dan penghubung penting dalam perdagangan emas trans Sahara. Hampir 2.000 rumah tradisionalnya masih bertahan di kota tua itu.

Masjid Agung, yang dibangun pada tahun 1907 di lokasi masjid tua yang dibangun pada abad ke-13, diplester ulang setiap tahun oleh penduduk setempat dalam sebuah ritual yang menyatukan seluruh kota. Struktur bangunan yang menjulang tinggi dan berwarna tanah ini memerlukan lapisan lumpur baru sebelum musim hujan dimulai, jika tidak, bangunan tersebut akan rusak.

Perempuan bertanggung jawab membawa air dari sungai terdekat untuk dicampur dengan tanah liat dan sekam padi untuk dijadikan lumpur yang digunakan untuk melapisi masjid. Menambahkan lapisan lumpur baru adalah pekerjaan yang diperuntukkan bagi laki-laki. Ritual penuh kegembiraan ini menjadi kebanggaan bagi kota yang sedang terpuruk, menyatukan masyarakat dari segala usia.

Bamouyi Trao Traoré, salah satu pemimpin tukang batu di Djenné, mengatakan bahwa mereka bekerja sebagai sebuah tim sejak awal. Plesteran ulang tahun ini dilakukan awal bulan ini.

“Masing-masing dari kami pergi ke tempat tertentu untuk mengawasi,” katanya. “Begini cara kami melakukannya sampai semuanya selesai. Kami mengatur diri kami sendiri, kami mengawasi yang lebih muda.”

Konflik dengan Jihadis

Konflik Mali meletus setelah kudeta pada tahun 2012 yang menciptakan kekosongan kekuasaan, yang memungkinkan kelompok jihad menguasai kota-kota utama di utara. Operasi militer yang dipimpin Prancis mengusir mereka dari pusat kota pada tahun berikutnya, namun keberhasilannya tidak bertahan lama.

Para jihadis berkumpul kembali dan melancarkan serangan tanpa henti terhadap militer Mali, serta PBB, Prancis, dan pasukan regional di negara tersebut. Para militan menyatakan kesetiaan kepada al-Qaeda dan kelompok ISIS.

Sidi Keita, direktur badan pariwisata nasional Mali di ibu kota Bamako, mengatakan penurunan pariwisata sangat tajam setelah kekerasan tersebut. “Ini benar-benar destinasi yang populer,” katanya, menggambarkan puluhan ribu pengunjung setiap tahunnya dan menambahkan bahwa saat ini, wisatawan “hampir tidak ada lagi di Mali”.

Meskipun merupakan salah satu produsen emas terbesar di Afrika, Mali termasuk di antara negara-negara terbelakang di dunia, dengan hampir setengah dari 22 juta penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan nasional. Dengan hilangnya industri pariwisata, semakin sedikit sarana bagi masyarakat Mali untuk mencari nafkah.

Kemarahan dan frustrasi atas apa yang oleh banyak warga Mali disebut sebagai “krisis” semakin meningkat. Negara ini juga mengalami dua kudeta lagi sejak tahun 2020, ketika terjadi gelombang ketidakstabilan politik di Afrika Barat dan Tengah.

Kolonel Assimi Goita, yang mengambil alih kekuasaan di Mali setelah kudeta kedua pada tahun 2021, mengusir pasukan Prancis pada tahun berikutnya, dan meminta bantuan keamanan kepada unit tentara bayaran Rusia. Dia juga memerintahkan PBB untuk mengakhiri misi penjaga perdamaian 10 tahunnya di Mali pada tahun berikutnya.

Goita telah berjanji untuk memukul mundur kelompok-kelompok bersenjata, namun PBB dan analis lainnya mengatakan pemerintah dengan cepat kehilangan kekuatan dari militan. Ketika situasi ekonomi Mali semakin memburuk, junta pemerintahan Goita memerintahkan semua aktivitas politik dihentikan bulan lalu, dan keesokan harinya melarang media melaporkan aktivitas politik.

Moussa Moriba Diakité, kepala misi kebudayaan Djenne yang berupaya melestarikan warisan kota, mengatakan ada tantangan lain di luar keamanan – termasuk penggalian ilegal dan pembuangan sampah di kota.

Misi tersebut mencoba untuk menyebarkan pesan bahwa keamanan tidak seburuk yang terlihat, katanya, dan juga melibatkan lebih banyak generasi muda dalam ritual plesteran ulang, untuk membantu generasi baru menyadari pentingnya hal tersebut.

“Tidak mudah untuk membuat masyarakat langsung memahami manfaat melestarikan warisan budaya,” ujarnya. (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home